Jodie dan ibunya menikmati makan malam berdua tanpa banyak mengobrol. Ia melahap makanan seperti orang yang berhari-hari tidak bertemu makanan enak. Biasanya tidak begitu. Ibu menasehati supaya makan dengan tidak terburu-buru, tetapi Jodie yang hanya mengangguk dengan mulut dipenuhi makanan dan lalapan.
Setelah menyelesaikan makan malamnya, Jodie berjalan pelan-pelan menuju kamar, melanjutkan istirahat yang tertunda karena perut keroncongan. Langkahnya kaku saat melangkah seperti tidak memiliki engsel lutut, paha dan betisnya terasa kencang saat ia berdiri dari kursi meja makan. Baru saja ia akan membuka pintu kamarnya, terdengat ketukan dari pintu depan.
"Assalamu'alaikum, Buuu, Jod!!!" Ketukan kembali terdengar. Jodie mendengar suara orang yang begitu ia kenal.
"Aduhhh gimana nih? Ketahuan gue!" Bukannya membuka pintu depan, Jodie justru terlihat panik. Ia bingung antara bergegas membuka pintu kemudian menyalami ayahnya yang baru pulang setelah 2 bulan bekerja di luar pulau, atau justru masuk ke dalam kamar dan berpura-pura tidur.
"Siapa Jod?" Ibu berteriak dari dapur.
"Ayah, Bu!!!"
Terdengar pintu kembali diketuk, kali ini lebih keras dari sebelumnya.
"Kenapa ga dibuka, Jod? Kan kasihan ayah diluar baru pulang kerja." Ibu mengomeli Jodie sambil berjalan tergesa-gesa menuju ruang depan, membuka pintu, lalu menyambut suaminya.
"Maaf lama ya, Mas. Saya tadi sedang mencuci piring di dapur." Ucap ibunya seraya mengiringi suaminya berjalan masuk ke dalam rumah dengan tas besar di tangan kanan.
"Jodie mana, Bu?" Tanya sang ayah saat menyadari Jodie tidak menyambut kedatangannya, sambil meletakkan tas besar di samping kursi ruang tamu.
"Tadi sih ada disini, Mas. Mungkin sudah masuk ke kamar untuk istirahat."
"Ahhh, tumben sekali Jodie tidak menyambut saya."
"Maklumi saja, Mas. Jodie itu baru turun gunun, bisa saja ia keletihan. Jadi biarkan Jodie istirahat. Mas istirahat dulu, saya mau buatkan minuman. Mas pasti lelah kan?" Ucap ibu seraya berjalan hendak menuju ke dapur.
"Apa? Turun gunung katamu? Sang ayah terkejut. Bagaimana bisa ia tidak tahu jika anak satu-satunya naik gunung tanpa sepengetahuannya. Ibu yang awalnya mau ke dapur terperanjat, membalikkan badan melihat suaminya yang mendadak marah.
"Anak itu naik gunung tanpa izin dari saya maksudmu? Nada sang ayah mulai meninggi. Ia melempar secara kasar jaket kulit yang sejak tadi bergelantungan di bahu kanannya, kemudian berjalan ke kamar Jodie.
Jodie yang berada di kamar mendengar secara jelas obrolan ibu dan ayahnya, juga saat ayah marah sambil menyebut-nyebut dirinya. Ia tidak menyangka ayahnya akan kembali malam ini. Bukankah seharusnya ayah kembali minggu depan? Kenapa harus malam ini? Apa yang harus ia katakan tentang perjalanannya yang tanpa diketahui ayah? Apa yang akan ayah lakukan jika tahu ia mendaki gunung bersama Gilang, sahabat terbaik Jodie satu-satunya yang justru tidak disukai oleh ayah.
Pintu kamar digedor dengan keras. Membuat Jodie panik.
"Jodie!!! Buka pintu!!! Pintu digedor semakin keras. Dengan ragu-ragu Jodie berjalan menuju pintu kemudian membuka pintu kamar. Ia melihat ayahnya berkacak pinggang dengan mata memerah yang sedang menatapnya tajam seolah ingin memakannya bulat-bulat.
"Kemana kamu saat ayah tidak ada???" Tanya ayahnya tajam membuat Jodie bingung harus menjawab apa. Di satu sisi ia ketakutan menghadapi ayahnya yang sedang marah, tetapi di sisi lain ia merasa yang ia lakukan bukanlah hal yang salah.
"Jo...die ke gunung, Yah." Jawab Jodie tanpa berani menatap wajah ayahnya. Iya tahu ayah akan sangat marah.
"Ayah tidak pernah sekalipun mengizinkan kamu naik gunung!!!" Ucap ayahnya dengan suara yang sangat berat, ucapan yang disampaikan dengan penuh penekanan. Tangan ayahnya memukul-mukul pintu lemari dengan geram.
"Kamu anak satu-satunya. Siapa yang akan bertanggung jawab jika kamu kenapa-kenapa di gunung, HAH?" Pertanyaan itu meluncur tajam dengan suara yang terdengar semakin berat. Ada kekhawatiran sekaligus kemarahan di dalamnya.
Jodie terdiam, fikirannya kacau. Seperti ayah, Jodie merasakan kemarahan karena tidak terima atas ucapan-ucapan ayahnya, juga ketakutan karena ucapan ayahnya seperti menjelma pisau tajam.
"Kamu jalan sama siapa? Gilang? Temanmu yang tidak berguna itu?"
Dada Jodie panas, kepalanya merasakan gemuruh. Ia tidak terima dimarahi ayahnya seperti ini.
"Jodie sudah besar, Yah!!! Jodie punya dunia sendiri!!! Jodie bukan anak kecil lagi yang bisa mengikuti semua kemauan ayah!!!"
KAMUUUUUUUU!!!" Dalam sekejap tangan ayahnya melayang di udara, hendak tertuju ke wajah Jodie. Jodie menutup mata dengan kedua telapak tangannya, tidak berani melawan ayah lebih dari itu. Ia sudah pasrah jika pukulan itu mendarat di wajahnya.
"CUKUP MAS!!! CUKUPPP!!!" Teriakan itu menahan gerakan tangan ayah. Sekejap Jodie membuka matanya yang sudah basah oleh air mata. Ia melihat ibunya jongkok di belakang ayah. Ibunya menarik-narik lengan ayah sambil menangis.
"Jangan pukul lagi anak kita!!!" Ibu menarik-narik tangan ayah. Ayah tidak bergeming. Tangannya sudah turun, berada di genggaman ibu. Tetapi hatinya kacau. Ia begitu marah kepada Jodie, tetapi ia juga menyesali emosinya yang meledak secara tiba-tiba.
"Saya yang salah, sudah mengizinkan Jodie pergi ke gunung bersama Gilang." Ucap ibunya sesenggukan. Jodie merasa sakit sekali saat melihat ibunya menangis seperti itu. Dengan posisi duduk, tangan ibu tidak pernah melepaskan genggamannya dari tangan ayah, begitu takut tangan tersebut akan menyentuh Jodie.
"Kamu tidak seharusnya mengizinkan Jodie berjalan dengan anak tidak berguna itu!!!" Ucap ayah dengan tajam dan penuh penekanan, melepaskan paksa tangannya dari genggaman ibu, kemudian berjalan keluar kamar.
Jodie yang melihat ayahnya keluar langsung mendekati ibunya kemudian menangis dalam pelukan. Jodie sesenggukan menjelaskan semua yang ia rasakan. Jodie memiliki dunia sendiri yang tidak bisa diatur semaunya oleh ayah. Jodie bebas berteman dengan siapa saja, termasuk Gilang. Gilang tidak seburuk yang ayah fikirkan. Gilang menjaga Jodie, Gilang yang memastikan Jodie selalu baik-baik saja. Gilang adalah teman yang baik buat Jodie. Hanya karena tampilan Gilang yang urak-urakan dan rambut setengah gondrongnya, bukan berarti Gilang anak tidak berguna seperti yang ayah ucapkan.
"Nanti jika ayahmu sudah tenang, ibu akan coba jelaskan." Ibu mengusap matanya yang basah, kemudian menenangkan Jodie yang dari tadi memeluk erat ibunya.
"Sekarang sudah larut malam, Nak. Kamu istirahat, ya!"
Ibunya melepaskan pelukan kemudian berjalan keluar dari kamar Jodie. Jodie membaringkan tubuhnya. Air mata kembali menetes. Hatinya sakit, bahkan lebih sakit dari kedua kakinya. Ia memikirkan banyak hal hingga tertidur. Ia tertidur dengan mata sembabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar