Sabtu, 31 Maret 2018

Taman kota dipenuhi anak-anak yang sedang bermain. Tadi siang Gilang mengajak Iqbaal bermain di taman kota dekat rumah, menemani Iqbaal bermain bersama teman-teman seumurannya.

"Tumben lo mau nemenin Iqbaal main di sini?" Ujar Jodie sambil melepaskan sweater kuningnya, lalu memasukkan sweater ke dalam tas. Jodie kegerahan, sudah hampir satu jam ia menemani Gilang di taman.

"Gue nyesel kemarin udah kesal sama Iqbaal." Kaki Gilang menjuntai lalu di ayun-ayun ke depan dan ke belakang.

Jodie diam saja, sudah tahu kelakuan temannya yang sering marah-marah ke Iqbaal.

"Kemarin gue kesal banget sama Iqbaal. Gara-gara dia gue dimarahin Bunda."

"Oh gituuu." Jodie sudah berkali-kali mendengar curhatan Gilang yang seperti itu. Gilang memang selalu bertengkar dengan adiknya.

"Semalam Iqbaal ngebangunin gue. Tapi gue pura-pura tidur aja. Pikir gue si Iqbaal paling minta di temenin ke kamar mandi terus minta di cebokin."

Iqbaal yang di bicarakan masih asik bermain. Gilang melihat pakaian Iqbaal yang kusam oleh lantai taman yang kotor, juga tubuhnya sudah di basahi keringat.

Sore ini Gilang membiarkan Iqbaal bermain hingga Iqbaal kelelahan.

"Eh lo kemaren ngapain ke rumah gue?" Gilang teringat ucapan bundanya tadi malam.

"Ga kenapa-kenapa. Gue pas lewat depan rumah lo aja, jadi pengen main. Ga taunya kata bunda lo ga ada. Yaudah deh gue balik."

"Oh kirain lo mau ngajakin gue main. Gue main kelereng kemaren."

"What?"
"Lo main kelereng?" Jodie ga percaya.

"Iya, emang kenapa Jod? Lo kayak ga percaya gitu. Gilang menatap Jodie heran.

"Kita kan udah kelas 3 SMP, Lang. Lo ngapain main kelereng? Kayak anak SD aja lo tahu ngga." Jodie tertawa lepas mengetahui kelakuan temannya itu. Bukannya belajar untuk persiapan kelulusan, Gilang justru main kelereng bersama teman-teman kecilnya.

"Yaaaa iseng aja. Dari pada ga ngapa-ngapain dirumah, mending gue main kelereng."

"Mending lo belajar, Lang. Kan bentar lagi kita ujian." Jodie mengingatkan.

Gilang hanya diam. "Iya juga yaa." Pikirnya.

"By the way tentang Iqbaal, tumben-tumbenan lo baik gini sama dia." Jodie kembali teringat tentang keheranannya tentang perubahan sikap Gilang ke Iqbaal.

"Oh ituu. Saat gue sedang kesal-kesalnya ke Iqbaal, ternyata Iqbaal beliin gue jaket."

Gilang diam sesaat.

"Iqbaal minta ke ayah untuk membelikan gue jaket karena jaket gue udah tua. Gitu kata Iqbaal."

"Sebenarnya sih harga jaketnya biasa aja. Tapi gue terharu banget. Ternyata Iqbaal sayang banget sama gue. Gue nyesal udah marah-marah sama dia."

Jodie hanya mendengarkan cerita temannya itu. Biasanya Gilang cerita melulu tentang keluhan, keluhan, dan keluhannya. Tetapi kali ini, Gilang berbeda dengan Gilang yang sebelumnya. Jodie melihat ada ketulusan kasih sayang seorang kakak ke adik kecilnya.

Seorang anak kecil berlari dari kejauhan menuju Gilang dan Jodie.

"Baanggg Gilangg... balik yukk. Nanti di cariin bunda."

"Oke dehh." Sahut Gilang bersahabat.


Jumat, 30 Maret 2018

"Ya ampun. Kamu disini, Bang?"

Gilang kecil sedang duduk di lantai belakang rumah. Gilang sedang menghitung kelereng hasil bermain tadi siang. Bunda meletakkan handuk di jemuran kemudian menduduki bangku yang berada di samping Gilang.

"Tadi Jodie kesini, nanyain Abang."

"Yaahhhh kok Bunda ga kasih tahu sih? Sekarang Jodie mana, Bun?" Gilang menghentikan hitungannya. Gilang sudah lupa menghitung hingga berapa. Gilang memasukkan kelereng-kelereng ke dalam botol toples transparan. Suara gemericing terdengar saat satu-persatu kelereng masuk ke dalam botol.

"Jodie udah pulang, Bang." Bunda berdiri lalu mengacak-acak rambut Gilang.

"Abang beresin mainanmu, kemudian masuk ke dalam. Sebentar lagi magrib!" Bunda meninggalkan Gilang yang duduk sendirian. Gilang tanpa disuruh dua kali langsung membereskan sisa kelereng yang masih tercecer, kemudian masuk ke dalam rumah.

"Adek Iqbaal mana, Bun?"

"Tadi keluar sama ayah, beliin adik kamu buku dongeng."

Ayah dan bunda berjanji jika Iqbaal sudah bisa menghapal nama malaikat beserta tugasnya, ayah akan membelikan Iqbaal buku dongeng yang baru.

Tapi bukan itu sebenarnya tujuan Gilang menanyakan Iqbaal. Gilang sedang malas melihat adiknya tersebut. Adiknya selalu membuat Gilang dimarahi oleh ayah dan bunda.

Iqbaal selalu membuat berantakan mainan yang sudah Gilang rapikan. Iqbaal rajin mengacaukan rumah, membuat rumah jarang terlihat rapi.

Pernah bunda meminta Gilang untuk merapikan mainan Iqbaal. Baru saja Gilang membereskan mainan, Iqbaal sudah membuat mainannya berantakan kembali. Kesal sekali Gilang saat itu.

"Gilang masuk kamar dulu yaa, Bun."


***


"Baanng Gilang!!"
"Bang Gilang, bangun!!"

Gilang malas membuka selimut. Apalagi ada Iqbaal disana. Gilang hanya menepis malas tangan Iqbaal. Tadi siang sepulang sekolah, Gilang sudah dibuat kesal oleh Iqbaal yang terus-menerus menangis karena ingin bertemu dengan ayah.

Sekarang sudah malam, Gilang mau tidur.  Samar-samar tadi Gilang mendengar suara motor masuk parkiran. Kemudian suara adiknya berteriak-teriak memanggil namanya.

***

Gilang sedang menuju meja makan saat ayahnya berangkat kerja sekaligus mengantar Iqbaal belajar di TK dekat rumah.

"Adikmu semalam membangunkanmu loh, Bang. Tapi abang ga bangun-bangun." Bunda melihat Gilang sekilas saat sedang membereskan dapur.

"Gilang semalam sudah tidur, Bun." Jawab Gilang sekenanya.

"Padahal adik semalam mau memberikan sesuatu untuk abang." Bunda mencuci tangan kemudian duduk di depan Gilang.

"Adik mau beri apa emang, Bun?" Gilang penasaran.

"Rahasia donk, Bang. Nanti siang saat pulang sekolah, abang tanya langsung sama adik."




Kamis, 29 Maret 2018

"Kamu lihat-lihat sendiri aja yaaa Win. Aku buru-buru banget ini." 

"Iya selow, Kal."

Baru saja tiba di kontrakan, aku langsung ngambil-ngambil pakaian dari jemuran, pilih-pilih pakaian di lemari kemudian menumpuknya di satu tempat. Ada beberapa pakaian dari jemuran yang harus di setrika dulu.

Jika saja kemarin-kemarin aku tidak di sibukkan dengan keluar masuk gang untuk cari-cari kontrakan bedeng, mungkin dari kemarin udah packing. #mungkiiinnnn

Sejak tinggal di Jakarta selama tiga setengah tahun, ini sudah kali keempat aku ganti cangkang.

"Aku pinjam helm yang ini aja, Kal." 

"Iyaaaa." Aku lagi menyetrika beberapa pakaian. Jam sudah menunjukkan pukul 6 kurang.

"Aku balik yaa, Kal."

"Iyaaa. Hati-hati yaa Win." Windy mau ke Sawarna bersama teman-teman yang lain. Katanya mau motor-motoran dari Jakarta. Aku sudah membayangkan perjalanan dia ke Sawarna naik motor, kemungkinan besar hujan-hujanan mengingat beberapa hari ini intensitas hujan sedang tinggi.

Hingga Windy hilang di pintu, aku masih menyetrika. 

***

Tanpa sempat cuci muka, aku sudah mengunci pintu kontrakan. Isi kontrakan masih berantakan, beberapa kardus dan kantong hitam besar masih menumpuk. Mungkin sepulang dari Nusa Penida aku akan membereskannya.

Rencananya aku mau naik busway saja ke arah Bandara Halim, kemudian lanjut naik angkot. Jika naik busway aku hanya perlu keluar gang menuju Jl. Tb Simatupang yang hanya berjarak 500 meter dari k4ontrakan, kemudian tinggal menunggu busway ke arah Kampung Rambutan di halte samping Mc. Donalds. 

Tapi aku yakin bangett bakal terlambat. Ga mungkin keburu. Akhirnya aku menuju stasiun Tanjung Barat, lalu turun di stasiun Cawang. Kemudian lanjut Go-Jek ke Bandara Halim. 

Selasa, 27 Maret 2018


Setelah lama tidak ngetrip bareng dengan Dramah Squad (Bang Ipay, Meta, Bang Diki, Kak Yanti, dan aku), akhirnya minggu kemarin kami memutuskan untuk camping di Loji Suaka Elang Bogor Tanggal 30 September – 01 Oktober. Awalnya sudah ada 12 orang yang akan ikut camcer ini. 12 orang cukup untuk 1 angkot dan bisa meminimalisir biaya sharecost.

Minggu, 24 September 2017
Seperti biasa, sebelum trip akan dibuat grup whatsapp untuk mempermudah komunikasi dan mempersiapkan perlengkapan, walaupun hanya sebatas camcer, nyatanya persiapan dan komunikasi tetaplah perlu untuk menghindari miss komunikasi. Di siang yang mendung, Bang Ipay membuat grup whatsapp “CamSYER(Emot gambar burung elang)” dan satu persatu menambahkan anggota ke grup. Nyatanya tidak perlu menunggu lama karena dalam beberapa menit sudah ada 12 orang yang bergabung. Seperti trip-trip biasanya, setelah saling sapa, yang dibahas selanjutnya adalah perlengkapan dan itin.

Jum’at, 29 Oktober 2017
Nyatanya, rencana camcer ber-12 orang hanyalah rencana. 3 orang teman cancel karena alasan yang tidak mungkin ditinggalkan. Total yang ikut sekarang menjadi 9 orang. Kami sudah sepakat untuk meeting point Hari Sabtu jam 2 siang di Stasiun Bogor.
Karena aku tahu bahwa kemungkinan besar akan ngaret, aku menguhubungi sopir angkot yang sudah aku sewa sebelumnya dan menginfokan bahwa kami start jalan jam 2 lewat atau paling lambat jam 3, dan sopir angkotnya menyetujui.

Sabtu, 30 Oktober 2017
Hari ini aku bersemangat karena sudah lumayan lama tidak camping bareng Dramah Squad (hahaha padahal baru bulan lalu ke Merbabu bareng). Karena meponya jam 2 siang, paginya aku menyempatkan diri untuk mengubah formasi kamar kostan, beres-beres, belanja bulanan, dan sekalian memisahkan perlengkapan yang akan di packing.
Jam 10 aku sudah menatap kostan yang apik, dan jam 11 aku sudah selesai packing. Setelah bersiap-siap sebentar, aku dan Windi langsung berjalan ke lokasi mepo. Setelah mampir sebentar ke kantor yang tidak jauh dari kostan untuk mengambil hammock dan lazybag yang paketannya baru tiba tadi pagi, aku dan Windi naik angkot merah S19 ke stasiun Tanjung Barat, kemudian dilanjutkan dengan naik commuterline ke stasiun Bogor. Tepat jam 14.00 WIB kereta tiba di stasiun Bogor. Aku dan Windi langsung ke samping KFC yang berada di seberang stasiun Bogor karena janji dengan angkot disana.
Jam 2 siang sudah ada Farras, Santana, Meta, Kak Yanti, Bang Ipay, Windi, dan aku yang berada di lokasi. Masih kurang 2 lagi, yaitu Bang Rifqi dan Bang Diki. Kami menunggu hingga lewat jam 3, cuaca pun sudah mulai mendung, kami khawatir hujan di perjalanan.
Karena ga enak dengan sopir angkotnya, aku dan Meta pun meminta maaf ke sopir angkot dan berjanji akan menambah biaya keterlambatan. Lewat jam 3 akhirnya bang Rifqi tiba, tetapi Bang Diki masih belum sampai di lokasi, ditambah kami juga kesulitan menghubungi bang Diki.
Setelah diskusi bersama akhirnya kami memutuskan jalan karena waktu sudah semakin sore, ga enak dengan sopir angkot walaupun kami berjanji akan menambah biaya, dan hujan juga sudah makin deras.
Belum lama dari kami jalan, masih di sekitaran Kebun Raya yang di sebelah kanan banyak rusa (ga tau nama daerahnya apa hahaha) Bang Diki menginfokan kalo udah sampai di stasiun Bogor. Akhirnya bang Diki menyusul naik Gojek. Angkot sempat menunggu di pertigaan Gondongan sebelum Rancamaya, tetapi karena angkot tidak boleh berhenti terlalu lama akhirnya angkot jalan lagi dan berhenti didepan rumah kosong yang halamannya lumayan luas. Sekitar 10 menit menunggu akhirnya Bang Diki sampai. Tidak menunggu lama kami langsung melanjutkan perjalanan.
Jam 7 malam kami tiba di kawasan Camcer. Sambil yang lain menurunkan barang dari angkot, Aku, Meta, dan Bang Ipay menemui abang angkot dan kembali meminta maaf untuk keterlambatan ini. Kami pun memberikan uang lebih sebagai permintaan maaf. Keputusan selanjutnya adalah : jika bapak sopir angkotnya tidak terima, maka dia tidak akan jemput besoknya.
Setelah semua daypack dan carrier diturunkan dan berdoa bersama, kami mulai menyusuri jalan. Jalannya sendiri sudah cukup jelas karena ada papan petunjuk arah. Jika ternyata kamu bingung, kamu cukup bertanya pada orang yang lewat karena warga sini ramah-ramah. Rasanya tidak sampai setengah jam jalan, kami sudah tiba di lokasi camcer. Setelah membayar retribusi Rp.20.000/orang kami mulai mencari lokasi yang kosong dan langsung membongkar carrier.
Bang Ipay, Meta, Windi, dan Kak Yanti langsung berurusan dengan logistik. Bang Diki, Farras, Bang Santana, Bang Rifqi, dan aku langsung memasang tenda, flysheet, hammock, lazybag, dan  terakhir mencari kayu bakar.
Jam 9 kurang semua sudah selesai. Bang Ipay juga sudah selesai memasak dan kami mulai berkumpul untuk makan bersama. Setelah makan bersama, kami bercengkerama hingga larut.
Malam semakin jauh, bulan sudah naik tinggi. Cuaca pun cerah semalaman ini. Rasanya sangat sayang jika kami harus melewatkan malam ini dengan mimpi. Kami melanjutkan bermain UNO dengan ketentuan yang kalah  akan di coret muka menggunakan eyebrow. Kalian tahu? Aku sudah menghabiskan 2 eyebrow dan 2 lipstik untuk permainan-permainan macam ini. Aku yang sebelumnya masih belum ngerti-ngerti juga cara main UNO memutuskan untuk ikut. Yaaaa tentu saja aku ikut karena sangat sayang jika melewatkan quality time bersembilan.
Betapa berisiknya kami malam ini. Tertawa saat satu teman di coret mukanya, bersemangat saat salah satu teman keceplosan menyebut kata “UNO”.
Waktu berjalan sangat cepat, jam 4 pagi kami memutuskan untuk tidur. Ada yang tidur di hammock, di tenda, dan ada yang tidur di depan tenda. Aku sendiri lebih memilih tidur di depan tenda dengan memakai sleeping bag.

Minggu, 01 Oktober 2017
Aku terbangun jam 7 pagi. Teman yang lain sudah mulai beranjak bangun. Aku menikmati pagi ini dari hammock. Teman yang lain pun berlalu dengan kesibukannya. Pagi hingga siang kami habiskan waktu untuk bersantai ria. Ada yang tidur-tiduran di hammock, ada yang foto-foto, ada yang bermalas ria di atas lazybag.
Menjelang siang kami menyempatkan foto-foto bersama dengan tema putih. Setelah itu kami mulai beres-beres. Yang kemarin masak kembali dengan kesibukan masak-memasaknya, sedangkan yang berurusan dengan tenda mulai menyicil membongkar tenda dan packing.
Jam 11.45 WIB kami makan siang, kemudian lanjut packing. Jam 13.30 WIB aku menghubungi sopir angkot dan menginfokan bahwa kami minta di jemput jam 3 sore. Tepat jam 3 sore kami semua tiba dan ternyata sopir angkot sudah standby. Tidak menunggu lama, kami langsung masuk angkot dan angkot langung jalan.
Tujuan kami selanjutnya bukan langsung pulang, tetapi nonton bersama di Bioskop Botani Square Bogor. Jam 16.30 WIB kami tiba di Mall Botani Square. Film yang akan kami tonton adalah “Pengabdi Setan” yang saat ini sedang ramai di perbicangkan. Kami langsung menuju XXI dan membeli 9 tiket. Jam 16.55 WIB kami mulai masuk. Kami meletakkan carrier dan daypack dibawah layer dan lansgung menuju bangku sesuai dengan tiket.
Tidak terasa kami sudah selesai menonton, sekarang sudah jam 7 malam, perut juga sudah lapar. Kami langsung menuju stasiun dengan naik Grab kemudian makan di seberang stasiun. Setelah makan, kami lansgung masuk stasiun menunggu kereta ke Jakarta.

Senin, 26 Maret 2018

Sumber foto : Google


Di sebuah kedai kopi, seorang wanita mengaduk-aduk malas kopinya yang tinggal setengah gelas. Wanita itu sebenarnya sudah tidak berminat meminumnya. Bukan karena dia sudah memesan dua gelas kopi, tetapi karena fikirannya sedang berkecamuk.

Sudah dua jam dia duduk disana. Rambutnya yang dikuncir kuda memperlihatkan raut wajahnya dengan amat jelas. Wanita itu mengenakan kemeja flanel berwarna maroon berpadu dengan abu-abu, sneakers maroon senada dengan pakaiannya, dan jeans putih yang bagian bawahnya dilipat hingga atas mata kaki.

Raut wajahnya masam. Wanita tersebut berkali-kali melihat jam, kemudian mengalihkan pandangan ke jalanan di luar kedai.

Kedai di dominasi oleh dinding kaca. Di luar sana adalah jalanan yang tidak terlalu ramai, sekitar 300 meter dari jalan utama. Hanya sedikit kendaraan yang berlalu-lalang. Tidak ada jalan pintas di sekitar jalan tersebut. Jalanan di depan kedai hanya dilalui oleh orang-orang yang kebetulan memiliki keperluan di sekitar situ. Ujung jalan adalah jalan buntu. 

Di seberang kedai adalah area hijau yang luas dengan pohon palem, pinus, juga beberapa pohon asam jawa yang teduh. Di bawah pepohonan tersedia kursi juga meja yang ditata secara unik oleh pemilik kedai. Saat malam tiba, lampu-lampu berwarna kuning dan putih akan menghiasi langit-langit. Lampu-lampu tersebut menjuntai dari pohon satu ke pohon lainnya.

Awalnya kedai itu hanyalah kedai kopi biasa. Tetapi karena kegigigan pemilik kedai, dalam waktu kurang dari dua tahun, kedai yang dulunya kecil menjadi dikenal luas oleh remaja-remaja ibukota. Pemilik kedai sangat paham dengan peluang-peluang. Terbukti dengan pelanggan setia yang dari waktu ke waktu terus saja bertambah.

Andai saja tidak hujan sejak sore, kursi-kursi di seberang kedai pasti sudah di penuhi oleh anak-anak nongkrong, dan wanita tersebut tidak akan duduk berlama-lama menatap jalanan dari dalam kedai itu.

***

Pintu kedai dibuka perlahan oleh seorang laki-laki. Wanita itu melihat laki-laki tersebut tanpa senyum. Dia sudah menunggu selama hampir tiga jam lamanya.

"Sorry, Jod. Tadi hujan deras." Nama wanita itu adalah Jodie. Gilang langsung duduk di bangku kosong depan Jodie.

Jodie hanya memutarkan bola mata lalu melemparkan pandangan ke luar jendela.

"Ya kali gue hujan-hujanan kesini." Gilang berucap santai, sambil mengeluarkan handphone dari saku lalu meletakkannya ke atas meja.

"Terus menurut lo, gue ga hujan-hujanan gitu?" Mata Jodie menatap Gilang dengan penuh kekesalan.

"Bukan sekali ini aja lo kayak gini, Lang. Lo ga ngehargain waktu gue tau ga?"

"Loh, kok lo jadi marah-marah? yang penting kan gue datang." Gilang tidak terima dimarahi seperti ini. Alisnya berlipat. Dia yang awalnya mau berdiri untuk memesan kopi, lalu menahan diri. Gilang melihat Jodie yang melipat tangan di pinggang.

"Mungkin lo punya banyak waktu luang. Jadi lo bisa ngulur-ngulur waktu sesuka lo. Tapi banyak orang yang waktunya udah di jadwalin, Lang. Ga semua orang mesti ngikutin waktu lo!!!"

Jodie membuka lipatan tangannya, lalu merapatkan kursinya ke meja.

Jodie mendekatkan wajahnya ke Gilang.

"Gue punya kesibukan, Lang. Kalo aja gue tau lo bakal telat kayak gini, mending gue ngerjain kerjaan gue yang lain."

Gilang emosi, dia tidak terima dimarahi hanya karena kesalahan yang menurutnya hanyalah kesalahan kecil. 

"Jod, lo tau kan di luar hujan? Gue nunggu hujan reda dulu lah." 

"Kan ada jas hujan." Jodie menatap tajam.

"Kok lo ngatur-ngatur gue? Kalo lo ga terima ya lo tinggal pulang aja, atau ga usah datang sekalian. Hidup lo terlalu ribet, Jod." Gilang mulai emosi. Dari tadi Gilang berusaha menahan diri, tetapi Jodie selalu memojokannya.

Orang-orang di seberang meja diam-diam memperhatikan mereka. Gilang menyadari itu. Gilang menatap mereka penuh marah. Orang-orang di seberang meja gelagapan melihat tatapan tajam Gilang.

"Gue commit sama ucapan gue ya, Lang. Kalo gue bilang datang, gue akan datang. Hujan bukan alasan buat gue." Jodie menjawab dengan penekanan ucapan. 

Gilang tidak menjawab, hanya melihat Jodie sekilas lalu memalingkan wajah ke arah luar jendela.

"Mending lo cari kesibukan deh, Lang. Biar hidup lo dipenuhi jadwal-jadwal. Biar lo tau gimana rasanya ngebuang waktu sia-sia kayak gini." Jodie sudah geram dengan cara berfikir Gilang. Bukan sekali ini saja Gilang terlambat. Gilang sudah berkali-kali melakukannya. Tetapi untuk kali ini Jodie sudah terlalu kesal.

Gilang hanya mengangkat bahu, malas berdebat lebih jauh. Tidak lama kemudian Gilang memesan dua gelas minuman dingin.

"Yaudah, gue minta maaf udah buat lo nunggu lama." Gilang memberikan segelas cappuccino dingin ke Jodie.

Jodie menghela nafas melihat kelakuan temannya ini. Bagaimana mungkin Gilang bisa begitu santai menghadapi kemarahan Jodie.

Jodie mengambil gelas tersebut lalu meminumnya. Emosinya perlahan-lahan mulai stabil. Jodie tidak mau larut lama-lama dalam kemarahan. Hari ini ada hal yang lebih penting untuk dibahas oleh mereka.

#30DWCJilid12
#30daywritingchallenge
#Squad10
#Day5

Minggu, 25 Maret 2018

Hasil foto sebelum dan setelah dibersihkan.
Sumber foto : Galeri Kalena


Apakah kamu memiliki handphone dengan kamera yang buram, padahal handphone kamu memiliki resolusi kamera yang besar? Bisa jadi kamera handphonemu mengalami goresan di lensa sehingga sensor kamera gagal menangkap objek dengan baik.

Sebenarnya bukan masalah besar jika handphone tersebut bukan baterai tanam dan lensa kamera luar menempel di casing handphone. Untuk handphone-handphone yang bisa bongkar pasang casing belakang dengan mudah, kalian cukup membeli casing handphone yang baru. Berbeda penyelesaiannya jika handphone kamu merupakan baterai tanam dengan body handphone yang menyatu kuat dengan partisi yang lain.

Sumber foto : Google

Aku akan menceritakan pengalamanku saat lensa handphoneku baret-baret, dan bagaimana aku menyelesaikan masalah di handphone tersebut. Semoga saja yang aku ceritakan ini bermanfaat.

Saat aku ke Gunung Gede beberapa minggu yang lalu, hasil foto kamera handphoneku naudzubillah enggak banget. Awalnya aku kira karena basah terkena pias-pias air, mengingat saat itu hujan selama pendakian. Apalagi selama ngetrip, handphoneku sering banget tidak digunakan dalam keadaan kering dan bersih. Setelah ku cek tenyata ada banyak baretan di lingkar kamera.

Permasalahannya, handphoneku adalah handphone dengan baterai tanam. Aku pun searching di Google juga Youtube mencari tahu bagaimana cara menghilangkan baret-baret tersebut.

Dari hasil pencarian, banyak yang menyarankan untuk menggosok lensa dengan menggunakan pasta gigi dan cotton bud

"Gampang itu mah." Fikirku. Pasta gigi dan cotton bud mah selalu ada. Yaa kali begituan enggak ada.

Aku mengikuti petunjuk penggunaannya, yaitu cotton bud yang sudah diberi pasta gigi kemudian digosokkan ke lensa secara pelan-pelan memutar searah jarum jam.

Aku lakukan berkali-kali hingga gumoh, tetap saja lensanya tidak berubah. Besoknya aku coba lagi karena mungkin harus dilakukan rutin seperti minum obat, fikirku. Tapi tetap saja hasil kameranya tidak mengalami kemajuan, tetap buram-buram juga.

Saat itu aku berfikir jika memang tidak bisa di perbaiki, aku akan ke tempat service handphone meminta diganti bodynya dengan body yang baru. 

Tetapi itu pilihan terakhir. Aku terus mencari cara. Kalaupun gagal dan lensanya justru semakin rusak, toh akan tetap di ganti baru.

Hingga akhirnya di pencarianku yang entah ke berapa kali, aku menemukan solusi di forum diskusi Asus. Ada yang menyarankan menggunakan metal polish. Metal polish yang aku gunakan saat itu adalah Autosol karena di forum diskusi beberapa orang menggunakan produk tersebut.

Aku tidak jualan yaaa. Ini hanya pengalaman pribadi. Ada banyak metal polish yang beredar di pasaran.

Aku membeli metal polish di minimarket 24 jam. Kemudian aku coba gosokkan persis seperti menggosokan pasta gigi di lensa kamera. Aku juga menggosoknya pelan-pelan memutar searah jarum jam.

Metal polish yang aku gunakan berbentuk cream seperti pasta gigi. Hanya saja aromanya sedikit menyengat. Saat aku menggosokkan cotton bud ke lensa, cream yang semula berwarna putih mulai kusam ke abu-abuan pertanda begitu banyak kerak yang berhasil diangkat.

Setelah aku gosokkan metal polish tersebut berkali-kali, lensaku yang awalnya baret-baret menjadi mulus kembali. Yang semula di lensa seperti ada kerak menempel, sekarang sudah tidak ada lagi.

Dan setelah aku coba dengan tes foto, hasilnya foto-foto kembali jernih dan tajam. Tidak buram seperti saat sebelum dibersihkan menggunakan metal polish.


#30DWCJilid12
#30daywritingchallenge
#Squad10
#Day4

Sabtu, 24 Maret 2018


Sungai di hulu rumah masa kecilku. Dulu belum ada jembatan gantung.
Jika mau menyeberang, harus menaiki rakit atau getek.
Sumber foto : Galeri Kalena.


Rumah Masa Kecil


Aku lahir dan tinggal di desa kecil, di sebuah rumah sederhana bersama nenek, kakek, ayah, ibu, dan kedua adikku. Saat itu si bungsu belum lahir. Rumahku sekitar 1 kilometer dari perkampungan, di bagian hilir kampung. Jika di perkampungan sudah bisa menikmati aliran listrik, rumahku tidak. Jika rumah-rumah lain di kampungku kebanyakan adalah rumah panggung, rumahku tidak. Tetapi aku sangat suka dengan rumahku, rumah masa kecilku.

Rumahku beralaskan semen dengan dinding semi permanen. Di depan rumahku ada rumput jepang yang sangaaatttt rapi. Ibu dan nenek begitu rajin merawatnya. Di depan rumah juga ada 3 pohon sawo yang sering aku dan teman-teman kecilku gunakan untuk bermain rumah-rumahan. Pohon tersebut kami gunakan sebagai rumah, dahannya sebagai ruang tamu, dahan lainnya dijadikan sebagai dapur. Karena ada 3 pohon sawo, jadi ada 3 rumah yang kami gunakan untuk bermain dan berkunjung ke rumah masing-masing.

Di sekitar rumahku sangatlah asri. Di samping kiri rumahku adalah hamparan sawah yang luas, juga pohon kelapa yang berbaris rapi di tepian sawah. Saat itu aku sering ke sawah memancing belut, memetik genjer, menangkap ikan, dan mencari keong.

Kakek dan ayah juga menanam berbagai buah-buahan. Ada sawo, alpukat, sirsak, 3 jenis mangga, durian, duku, manggis, jambu, dan banyak sekali pohon kelapa. Oh iya perihal kelapa, aku bisa memanjat pohon kelapa loh. Bagaimana caranya kok aku bisa memanjat pohon kelapa, itu akan aku ceritakan di bagian lain.

Sungai depan rumah masa kecilku.
Sumber foto : Galeri Kalena

50 meter depan rumahku adalah sungai yang berair dangkal. Airnya sangat jernih saat musim kemarau. Dulu aku suka mencari udang di balik batu, dan entah kenapa dulu aku bisa menangkapnya dengan mudah. Sekarang aku tidak yakin apakah aku masih bisa mencari udang semudah dulu.

Saat masih kecil aku pernah menyeberang sungai yang lebar. Tujuanku saat itu sebenarnya sangat sederhana, ingin mengambil buah jambu monyet yang ada di seberang sungai. Dari sekian banyak buah-buahan yang ditanam oleh kakek dan ayah, entah mengapa mereka tidak menanam jambu monyet juga.

Airnya dangkal untuk ukuran orang dewasa dengan batu-batu yang sangat licin. Aku bisa melihat bebatuan di dalam air walaupun aku berada di permukaan. Karena itu bukan kali pertama aku menyeberang sungai, mencapai seberang sungai bukanlah hal yang sulit buatku. Saat aku tiba di seberang sungai, entah bagaimana ceritanya ibu melihatku lalu kemudian berteriak menyuruhku pulang. Saat aku sudah tiba di rumah kembali, aku langsung dimarahi oleh ibu.

“Siapa yang ngajarin kamu nyeberang sungai?”
"Kalau kamu terhanyut gimana?”
“Besok-besok jangan ulangi lagi!”

Tentu saja esok lusa aku tetap melakukannya. Hanya saja tubuhku sudah tidak sekecil saat ibu mengetahui lalu kemudian memarahiku.


Pindah

Saat kenaikan kelas 2 SD aku dan keluarga pindah ke ibukota kabupaten. Sedangkan nenek dan kakek tetap di kampung mengurus hewan ternak juga kebun. Biasanya setiap weekend kami akan pulang ke kampung. Atau jika tidak, nenek akan ke kota menjenguk cucu-cucunya.

Di kota kabupaten lebih ramai. Ada bioskop walaupun aku tidak pernah menonton di dalam bioskop. Ada banyak kendaraan lalu-lalang di depan rumah. Aku yang biasanya hidup di daerah yang sunyi dan tenang, harus beradaptasi dengan lingkungan yang riuh dengan bunyi knalpot motor. Saat itu jalanan di dominasi oleh motor RX King, Supra, juga Astrea.

Masa itu, orang-orang lebih suka tinggal di pinggiran sungai. Setiap 50 meter akan ada pangkalan. Tiap pangkalan ada rakit. Sungai menjadi bagian penting saat itu. Bukan hal aneh saat aku melihat rakit yang terbuat dari balok-balok kayu melintas di tengah sungai. Orang-orang membawa kayu ke kota melalui jalur air untuk kemudian menjualnya ke depot kayu. Sungai di belakang rumahku jauh lebih besar dibanding sungai di kampung. Jika di kampung aku bisa mandi tanpa takut tenggelam. Sungai disini nyatanya dalam.

Selepas pulang sekolah, aku biasanya memancing di belakang rumah. Terkadang memancing bersama adikku. Jika sedang bosan memancing, kami akan menangkap ikan di pinggiran sungai menggunakan tudung nasi besar berbahan plastik yang ada di dapur.

Sudah sering aku dimarahi ibu karena menggunakan tudung nasi tersebut. Saat itu aku tidak begitu mengerti jika makanan di meja makan tidak ditutup menggunakan tudung nasi, kucing akan berpesta pora. Saat itu aku tidak begitu paham apa hubungan antara tudung nasi dan kucing.

Selepas memuaskan diri mencari ikan, aku dan teman-teman akan ke arah hulu sungai untuk menghabiskan sore dengan lompat air. Lompat air disini adalah mencari tempat tinggi, bisa jembatan kuning, batu besar ataupun beton yang bisa digunakan untuk melompat.

Jika ada gedebong pisang, aku dan teman-teman akan berenang ke tengah untuk berlomba mendapatkan gedebong pisang tersebut. Gedebong pisang adalah pohon pisang yang disusun menjadi rakit. Mendapatkan gedebong pisang ini adalah kebanggaan tersendiri saat itu. Siapa yang berhasil mendapatkannya, gedebong pisang tersebut akan menjadi rumahnya di sungai. Gedebong tersebut akan dibawa ke pangkalannya untuk digunakan bermain air bersama teman-teman yang lain.

Masa itu, jembatan kuning masih berbentuk seperti jembatan biasa,
Di foto ini adalah jembatan kuning yang sudah diganti menjadi lebih bagus.
Kamu coba lihat di pinggiran sungai. Ada rakit?
Sumber foto : Display profil WhatsApp adikku

Ada banyak jenis permainan di sungai. Kami suka melempar batu ke dalam sungai untuk kemudian mencarinya beramai-ramai. Selain melempar batu, aku juga membangun gunung batu di sungai. Batu-batu besar dari pinggir dibawa berenang ke tengah sungai kemudian ditumpuk hingga tinggi. Jika sudah tinggi, aku akan menghabiskan sore berdiri di tumpukan batu tersebut. Berdiri di tengah sungai yang dalam dengan tumpukan batu di bawahnya merupakan salah satu kebanggaan kami waktu itu.

Yang sering kami lakukan juga adalah berenang melawan arus. Siapa yang lebih dulu tiba di pangkalan sebelah hulu sungai, dialah pemenangnya. Sebenarnya tidak ada hadiah dalam kemenangan, hanya saja ada kebanggaan saat berhasil memenangkan permainan.


Takut Sungai

Seperti yang sudah aku katakan, sungai di belakang rumahku ini lebih besar dan lebih dalam dibandingkan sungaiku di kampung. Saat musim sedang kemarau, air di belakang rumah akan berwarna hijau kebiru-biruan. Saat matahari menjelang terbenam, bulir-bulir keemasan seolah melukis sungai. Matahari mengintip lalu bersembunyi di balik jembatan kuning. Indaaahh sekali. Di saat-saat itu banyak anak-anak seumuranku mandi di sungai menggunakan ban dalam mobil, berhanyut-hanyutan ke hilir, juga berenang menyeberang sungai ke kelurahan seberang. 

Tentu saja aku tidak mau melewatkan suasana itu. Aku menyeberang sungai bersama teman-teman yang lain. Menyeberang sungai kali ini tanpa dimarahi oleh ibuku, karena ibuku tahu aku sudah lihai berenang, bahkan dalam beberapa hal aku terlihat lebih lihai dibanding teman-temanku yang laki-laki.

Walaupun sungai itu lebar, tetapi kami masih bisa menebak-nebak siapa yang sedang mandi di seberang, atau berteriak memanggil-manggil orang di seberang. Saat aku menyeberang sungai juga ada ibuku sedang mandi di pangkalan bersama tetangga-tetangga sekitar rumah. Menyeberang sungai juga tidak sering kulakukan, hanya beberapa kali saja. Itupun hanya saat sungai sedang cantik-cantiknya.

Kemarahan ibu dan ayah adalah saat aku berhanyut-hanyutan ke hilir bersama adikku. Itu kulakukan hampir setiap hari. Bahkan terkadang aku berhanyut-hanyutan hingga melewati banyak pangkalan. Pukul 3 sore aku dan adikku mandi di sungai dan baru pulang menjelang magrib. Ayahku benar-benar marah.

Aku tidak terima saat itu. Aku hanya bermain di sungai, apa salahnya? Ayah tidak mengerti. Aku bisa berenang. Apa yang ayah khawatirkan?

Belakangan saat usiaku semakin bertambah, aku semakin paham. Saat aku sudah kuliah, adik bungsuku yang masih SMP sedang gila-gilanya bermain di sungai persis sepertiku. Ia bermain lompat air, lempar  batu, membuat gunung batu, menyeberang sungai, juga berhanyut-hanyutan di hilir. Saat adikku melakukan itu semua, aku khawatir. Aku takut adikku tenggelam ataupun bertemu binatang buas.

Apalagi setiap tahun selalu ada yang meninggal di sungai. Warga sepakat bahwa meninggalnya orang-orang tersebut karena hal mistis. Warga-warga pinggir sungai juga percaya hantu banyu.  Selain itu juga beberapa kali ditemukan adanya buaya muara. Semakin lama aku semakin khawatir adikku kenapa-kenapa.  Aku melakukan banyak hal persis seperti yang ayah dan ibu lakukan. Aku memarahi adikku dan memintanya untuk tidak perlu berlebihan. Aku memintanya untuk mandi seperlunya saja, berenang seperlunya saja.

Saat itu, sebelum aku menyadari kekhawatiran orangtuaku, entah mengapa tidak ada kekhawatiranku di sungai. Aku terkadang mandi hingga langit gelap. Aku mandi jam 7 malam atau jam 5 pagi tanpa perasaan takut.

Jika kamu tanya sekarang apakah aku berani mandi di sungai belakang rumah, apalagi sendirian. Maka aku jawab tidak. Aku rindu mandi di sungai belakang rumah, tetapi aku takut. Ternyata kalimat “Awas jangan sering-sering di sungai, ada hantu banyu” mensugesti diriku.

Selain itu, kehidupan di daerah tempat tinggalku sudah semakin maju. Jika dulu orang mengambil air di sungai menggunakan ember, sekarang rumah-rumah pinggir sungai sudah menggunakan air PDAM atau mengambil air menggunakan mesin penyedot air. Sekarang rakit sudah sulit ditemukan. Pangkalan sudah sepi. Bahkan pangkalan tempatku biasanya mandi sekarang sudah tidak ada lagi.

Jumat, 23 Maret 2018

Sumber foto : Google


Menjadi perantau yang jauh dari orangtua itu memang menyenangkan. Tidak ada yang membangunkanku di pagi buta untuk ke pasar membeli sayur, atau meminta diantar ke rumah saudara nenek saat aku sedang asik-asiknya menonton FTV.

Tidak ada wajah masam jika pulang terlambat, tidak ada yang mengomeli jika harus karaokean bersama teman-teman hingga larut malam. Apalagi semakin bertambah usiaku, ibu dan ayah memberikan kebebasan juga kepercayaan kepadaku. Mereka menganggap anaknya sudah cukup dewasa untuk mengerti mana yang baik dan buruk.

"Dang lupa nabung, Nak!" Itu pesan yang selalu ibu sampaikan di balik telepon.

"Jaga kesehatanmu, Nduk!"

"Dang sering-sering makan mie. Dang telat mengan!"

Apalagi semenjak merantau, kebebasan serasa ku genggam sendiri. Bebas menentukan untuk berteman dengan siapa saja, kemana saja, belajar mandiri dan berjuang sendiri.

Sumber foto : Google

Lalu apa aku menjadi lalai dengan kebebasan? Bukankah orang tua jauh? Lagipula aku jalan kemanapun dengan uangku sendiri kan? Toh jalan dengan jujur atau berbohong pun ibu dan ayah tidak akan tahu?

Jujur saja, aku sering melakukan kesalahan. Dulu aku pernah berbohong untuk bisa jalan. Tetapi sekarang itu menjadi hal yang aku takutkan dan aku hindari. Aku takut, jika suatu saat terjadi sesuatu padaku dalam keadaan aku yang berbohong.

Kini setiap aku melakukan perjalanan, aku berusaha untuk menghubungi orang tua di kampung. Aku juga bersyukur ibu dan ayah mengizinkan. Selagi itu kegiatan yang positif, ibu dan ayah akan selalu mendukung.

Aku percaya, dengan izin dan doa mereka bisa jadi alasan cerahnya perjalanan, selamatnya aku dari mulai masuk hutan hingga kembali ke empuknya kasur kamar. Aku percaya bahwa doa-doa merekalah yang mengudara di atas kepala menjagaku yang susah diatur dan ceroboh ini.

Bahkan, jika suatu saat terjadi sesuatu yang buruk pun, setidaknya mereka tahu bahwa aku tidak berbohong.

Saat aku memutuskan merantau sendiri, berarti ada tanggung jawab yang sudah harus kupikul. Dan dari sekian banyak tanggung jawab, kepercayaan orangtua tetap nomor satu.

Hingga kini, yang aku takutkan sebagai perantau adalah "Bagaimana jika kepercayaan ibu dan ayah padaku hilang?"

Kamis, 22 Maret 2018

Sumber foto : Google


Awalnya aku bingung tema apa yang akan aku ambil pada challenge menulis di hari pertama ini. Hingga akhirnya beberapa orang menyarankan untuk menulis tentang apa saja yang ada di fikiranku. Jika aku tetap bingung, tulis saja kebingunganku tersebut.

Karena yang ada di fikiranku seharian ini adalah challenge menulis ini hahaha, jadilah aku sedikit memberitahu siapa diriku dan mengapa aku mengikuti challenge menulis. Doakan saja besok atau lusa ide di kepalaku mulai berkembang, atau semoga saja aku mengingat kenangan-kenangan lama yang bisa aku tuangkan dalam tulisan.

Aku Kal!
Aku pemalas yang suka gunung dan pantai tetapi malas membersihkan peralatan setelah melakukan perjalanan. Aku pemalas yang suka membeli sayur-mayur untuk kemudian layu di dalam kulkas. Aku si pemalas dengan tempat tidur dipenuhi buku-buku, kertas-kertas, gitar, selimut, kabel data, laptop, juga bingkai foto yang didalamnya ada foto aku, ibu, ayah, dan ketiga adikku. Bahkan jika sedang beruntung, akan ada setrika, hanger, juga tumpukan pakaian yang membuat tempat tidurku seperti tempat penitipan barang.

Aku lebih memilih membagi dua wilayah tempat tidurku hanya karena merasa tidak punya cukup waktu untuk meletakkan barang-barang tersebut di tempat seharusnya. Aku menyalahkan waktu yang kenapa dalam sehari hanya ada 24 jam. Kenapa tidak dibulatkan saja menjadi 30 jam?

Dengan diriku yang pemalas seperti ini, menulis selama 30 hari berturut-turut mungkin akan sulit kulakukan. Sebelum aku ikut challenge ini, aku memastikan kesiapan diriku terlebih dahulu.

Sumber foto : Google

Ternyata kompromi dengan diri sendiri betul-betul tidak mudah. Jika ditanya siap atau tidak, aku akan bilang tidak. Aku dihantui keraguan apakah aku bisa menyelesaikan challenge ini dengan baik atau justru lalai. Aku paham dengan moodku yang selalu berubah-ubah. Aku juga paham dengan sifat burukku yang belakangan ini suka mengulur-ulur waktu.

Tetapi di sisi lain aku ingin naik tangga. Aku ingin kembali menjadi Kalena yang bersemangat. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Aku percaya bahwa challenge ini merupakan jembatan untuk mendapatkan ilmu baru di bidang kepenulisan, mengenal lebih banyak penulis-penulis yang menginspirasi, juga membuang sifat malas yang sudah berkerak di tubuh ini.

Dan akhirnya, keinginan untuk naik tangga tersebut membuatku memutuskan untuk mengikuti challenge ini. Siap ataupun tidak, aku akan menjalaninya. Mungkin aku memang perlu dipecut untuk mau menulis. Semoga saja pecutan ini juga menjadi jalan untukku mengusir kemalasan.

Ohh ya, yang aku lakukan untuk membangun mood menulis di challenge hari pertama ini adalah mematikan lampu utama kamarku, menjauhkan handphone, menyiapkan segelas kopi, kemudian menghidupkan lampu tumblr yang membuat kamarku remang-remang.

#30DWCJilid12
#30daywritingchallenge
#Squad10
#Day1

Senin, 19 Maret 2018

Sumber foto : Google

i.
Rinduku adalah ombak di pantai belakang rumahmu; riak sepanjang hari, riuh sepanjang waktu.

ii.
Setiap kali aku merindukanmu, kusimpul kamu dalam tulisan. Jam berganti hari, hari berganti bulan. Kamu tumbuh menjadi lembar-lembar halaman.

iii.
Rinduku serupa amphibi. Bisa hadir di nyataku, bisa juga dalam mimpi.

iv.
Betapa liarnya rindu. Ia menyusup diam-diam, lalu mencuri wajah manismu.

v.
Ku beritahu padamu, saat ini rinduku beterbangan di langit-langit rumahku. Mereka sedang berkompromi bagaimana caranya tiba dan masuk di hatimu. Mereka gesit dan sesak membentuk populasi. Malam nanti, populasi rinduku migrasi ke tempatmu. Mereka akan beramai-ramai terbang menujumu. Sambutlah!

vi.
Jangan rindu, rindu itu berat. Aku dan kamu ga akan kuat. Biar Dilan saja.✌️😄✌️. Yang ini just for fun. Cukup segini dulu rindu-rinduannya, jangan banyak-banyak. Kena galaubetes berabe.

Minggu, 04 Maret 2018


Menonton final Piala Gubernur Kaltim antara Sriwijaya FC vs Arema FC di MNC TV malam ini,  mengingatkanku saat menonton pertandingan SFC beberapa waktu yang lalu. Bedanya, malam ini aku hanya menonton di depan televisi bersama teman-teman. Ada Neli juga, yang selanjutnya akan aku ceritakan sebagai teman menonton di GBK beberapa waktu lalu.

Yang akan aku ceritakan bukan tentang bagaimana gol-gol bisa terjadi, bukan juga tentang pemain bola yang menari-nari di atas lapangan hijau. Apalagi tentang pemain yang memporakporandakan benteng pertahanan lawan. Bukan itu. Permainan itu biarlah jadi urusan Bung Jebret. Bung Jebret lebih ahli tentang mengomentari permainan.

Ceritaku amat sederhana. Tentang kesempatan, kesempatan kedua.


🍂 Minggu, sekira Pukul 09.50 WIB
Sesuai rencana, aku dan Neli akan ke Stadion Gelora Bung Karno hari ini untuk menyaksikan pertandingan antara PSMS Medan vs Sriwijaya FC. 15 menit kemudian aku dan Neli sudah tiba di GBK.

Sejak pertama turun dari halte busway sudah ada beberapa suporter mengenakan pakaian Persija, The Jakmania. Ada yang berpakaian warna hitam, putih, merah, dan orange dengan tulisan Persija di bagian depan atau belakang pakaian. Beberapa suporter juga melilit syal klub kebanggaan di leher.

Hari ini ada dua pertandingan. Pertandingan pertama yaitu PSMS vs Sriwijaya FC  untuk memperebutkan juara 3, dimulai Pukul 15.30 WIB. Setelah itu dilanjutkan pertandingan Persija vs Bali United untuk menentukan juara 1 dan juara 2 pada Piala Presiden tahun ini. Rencananya jika suasana kondusif, selepas menonton Sriwijaya FC, kami sekalian mau menyaksikan klub mana yang menjadi juara.

Semakin mendekati stadion semakin ramai. Kami melihat ada barisan yang panjaaaanngg banget, di dominasi orange. Orange dimana-mana. The Jak dimana-mana. Aku mulai membayangkan "jangan-jangan ini antrian beli tiket nih". Dan taraaaaaa... saat aku tanya ke petugas dimana tempat mengantri tiket, petugas itu menunjuk ke arah barisan yang mengular tersebut.

"Yosudah, Yuk. Nak makmanokan." Tidak butuh waktu lama untuk kami sama-sama paham.

"Kan sudah tau yang final hari ini Persija. Tuan rumah, final, klub besar. Ya rame lah." Kata-kata itu langsung terbersit di fikiranku. Membuatku batal mengeluh. Melihat tatapan dan garis wajah Neli, aku yakin kami sependapat. Aku dan Neli saling pandang, sama-sama nyengir.

Sebelum cerita lebih jauh, aku infokan dulu 4 pilihan membeli tiket :

Kategori 3: Rp.75.000
Kategori 2: Rp.100.000
Kategori 1: Rp.150.000, Rp.175.000, dan Rp.200.000
VIP: Rp.300.000

Sebenarnya ada opsi pembelian secara online di loket.com (hanya menjual tiket Kategori 1 yang Rp.175.000 dan tiket VIP seharga Rp.300.000) ataupun membeli tiket yang dikoordinir oleh korwil (ini mungkin bisa aku lakukan jika aku suporter Persija). Sedangkan sisanya akan dijual langsung di loket. Karena kami ingin membeli tiket yang harganya dibawah itu, kami memutuskan untuk membeli tiket di loket stadion saja. Rencananya aku dan Neli akan membeli tiket Kategori 3. Opsi kedua kami adalah membeli tiket Kategori 2 jika tiket Kategori 3 sudah habis.

Kembali lagi ke aku dan Neli.
Kami langsung menyisiri antrian hingga tiba di barisan paling belakang. Antrian tersebut menggunakan area pejalan kaki dengan lebar sekitar 2 meter. Jarak antara antrian paling depan dan antrian paling belakang yaitu sekitar 300 meter, dengan 3 barisan yang saling merapat. Tentu saja ini hanya perkiraan, karena ada yang justru lebih dari 3 baris dan menumpuk. Asalkan  mereka berada di area pejalan kaki tersebut, berarti mereka masuk di dalam antrian.

Aku dan Neli sudah mengantri di barisan paling belakang. Ada yang datang sudah dari jam 6 pagi, itupun mereka masih mengantri. Maka sangatlah wajar jika kami berada di buritan antrian ini, tidak mungkin protes, ngedumel juga percuma. Mau cepat dapat tiket, datang lebih awal. Tidak mau ribet, beli tiket online. Sesederhana itu.


🍂 Sekira Pukul 10.30 WIB
Ada yang duduk di dalam antrian, ada yang mengantri sambil bermain game online, ada yang menunggu sambil melakukan swafoto. Langit memang sedang memihak, matahari diselimuti awan.

Tiba-tiba antrian yang dari tadi rapi mendadak bubar dan berlarian ke depan. Tidak tahu kenapa. Aku dan Neli awalnya tetap tidak mau keluar dari antrian karena ada beberapa suporter yang secara patuh tetap berdiri di antriannya. Tetapi semakin lama antrian malah buyar. Tidak ada lagi antrian. Kami bingung. Beberapa kali aku menonton pertandingan SFC di stadion langsung, tapi tidak pernah mengalami antrian semacam ini.

Aku dan Neli kemudian berjalan ke arah mereka berlari, yaitu loket pembelian tiket. Ternyata disana sudah ricuh. Loket dikelilingi suporter membentuk lingkaran. loket tiket berada diantara kerumunan.
Aku dan Neli melihat dari kejauhan, tidak mau mengambil resiko, bersama beberapa suporter lain yang juga melihat dari kejauhan.

Kerumunan suporter di sekitar loket

Saat itu yang kami dengar adalah teriakan-teriakan meminta loket dibuka, meminta tiket keluar. Kami tidak tahu loket sudah dibuka atau belum, tiket masih ada atau tidak. Kami tidak mendapatkan info apapun. Bertanya ke suporter lain, mereka juga tidak tahu. Sesekali ada oknum yang melempar botol air mineral ke arah loket. Di lingkaran dekat loket, ada suporter yang berusaha menenangkan.

Aku dan Neli yang sudah tidak mungkin untuk masuk di kepadatan suporter, akhirnya memilih meminggir. Oh iya, ada 2 loket yang disiapkan oleh panitia, ticket box utara dan timur. Lagi-lagi aku tidak tahu pasti yang mana utara dan timur. Mengecek kompas? Mana kepikiran.

"Loket satunya dimana ya, Pak?" Aku hanya bertanya itu ke seseorang petugas. Tidak lama kemudian, kami berjalan ke loket yang satunya, loket utama. Aku tidak tahu loket utara atau timur. Aku bilang loket utama karena loket ini jauh lebih ramai, lebih padat, lebih berdesak-desakan, dan dekat dengan pintu masuk ke stadion.

Di loket utama ini, para suporter saling berdesakan dan saling dorong. Ada beberapa yang terdesak hingga ke pagar pembatas dan akhirnya memilih keluar dari antrian dengan menaiki pagar, beberapa pingsan, beberapa melempar-lempar botol air mineral.

Aku dan Neli berada di sisi lain pagar, tempat beberapa suporter melepaskan diri dari antrian. Tempat ini merupakan tempat yang teduh dengan didominasi pepohonan. Beberapa The Jak yang sedang duduk-duduk atau berbincang-bincang, jelas berbanding terbalik dengan suasana di sisi lain pagar pembatas yang berdesak-desakan dalam antrian tersebut. Mereka yang berdesak-desakkan itu berada 30 meter di depanku, dipisahkan oleh pagar berwarna kehijauan.

Aku sempat mengobrol dengan beberapa The Jak saat itu. Ternyata mereka banyak yang belum kebagian tiket. Mau masuk ke antrian tapi terlalu berdesak-desakan.

Karena aku dan Neli memakai baju Sriwijaya FC, suporter Persija yang kami ajak ngobrol memberitahu jika ada Singa Mania di sekitar sini. Singa Mania merupakan salah satu kelompok suporter SFC yang identik dengan warna hijau.

Tidak butuh waktu lama, kami bertemu dengan Singa Mania. Gayung bersambut, kami disapa dengan ramah. Aku dan Neli sudah duduk bergabung bersama mereka. Kami kemudian berkenalan dengan seseorang, mungkin koordinator. Dia sedang mendata nama-nama yang membeli tiket. Semua didata berdasarkan korwil. Aku dan Neli tidak bergabung di korwil-korwil tersebut. Jelas bukan prioritas mereka. Tetapi kami meyakinkan, kami adalah orang Sumatera Selatan yang kerja di rantauan, ingin menonton Sriwijaya FC. Tidak ada maksud lain, kami hanya ingin bergabung untuk menonton pertandingan bersama-sama.

Rejeki bertepuk dua tangan. Hap! Nama aku dan Neli didata untuk pembelian tiket. 

Bersama Singa Mania

Selanjutnya kami sudah berkelakar dan mengobrol banyak hal. Aku merasakan suasana kampung halaman. Di kiri kanan kami orang-orang mengobrol menggunakan bahasa Palembang, mengobrol dengan logat khas kedaerahan. Dari obrolan inilah akhirnya kami tahu bahwa suporter ini menumpang truk dari Palembang hingga ke Jakarta hanya untuk mendukung Sriwijaya FC di GBK. Mereka tidak begitu banyak, tidak mencapai 50 orang. Yang menumpang truk dari Palembang juga tidak semuanya, karena ada juga beberapa suporter seperti aku dan Neli, pendukung SFC yang sedang merantau di sekitar Jakarta.

Saat sedang asyik mengobrol itulah, koordinator memberikan kepada kami tiket Kategori 1 Tengah D. Saat itu yang ada di fikiranku hanyalah ingin menonton. Dengan antrian seramai itu, aku sudah tidak menargetkan tiket Kategori 3 lagi.

Masing-masing aku dan Neli mendapatkan satu tiket. Kami sumringah, senang bukan kepalang karena mendapatkan tiket ini tanpa harus ikut antrian nan melelahkan di sisi lain pagar pembatas itu. Itupun jika aku ikut mengantri, ikut berdesak-desakan diantara pemburu tiket yang lain, bukan jaminan aku bisa mendapatkan tiket dan menonton dari dalam stadion.

Dua tiket sudah ada di genggaman, kemudian langsung ku masukkan di dalam tas. Aku berinisiatif sendiri menyimpan tiket tersebut di dalam kantong tas bagian depan, tiketku dan tiket Neli. Sesuatu yang belakangan sedikit aku sesali.


🍂 Sekira Pukul 13.10 WIB
Aku kebelet ingin buang air kecil, Neli juga ternyata sama. Jadi aku dan Neli menyingkir sebentar dari rombongan dan berjalan menuju toilet.

Di perjalanan menuju toilet itulah, aku mendadak ingin melihat tiket di dalam tas. Saat aku membuka tas, tiket tersebut hanya ada satu. Aku panik. Aku cek lagi, hanya ada satu tiket. Hingga seluruh isi tas aku keluarkan, yang aku temukan hanya satu tiket. Tidak lebih.

Saat itu aku langsung lemas, dan panik. Oh Tuhan!

"Tiket itu harusnya ada di dalam tas, Nel. Aku benar-benar memasukkannya di dalam tas ini. Aku yakin."

"Aku bahkan sempat mengeceknya, Nel. Sesaat setelah aku memasukannya ke dalam tas, aku sempat mengeceknya lagi. Benar ada dua tiket, Nel. Aku mengeceknya, ada dua." Aku meyakinkan Neli supaya Neli percaya.

Neli diam, air mukanya yang barusan ceria mendadak berubah. Jelas saja Neli tidak habis fikir bagaimana mungkin tiket tersebut bisa hilang. Orang lain saja di jam sekarang masih banyak yang berusaha mendapatkan setidaknya satu saja tiket, sedangkan aku yang telah mendapatkan tiket justru menghilangkannya. Ceroboh sekali.

Aku ingat sesuatu.

"Tadi aku membuka kantong depan saat mengambil powerbank, Nel. Apa mungkin tiket tersebut ikut keluar, tercecer, lalu ada yang mengambilnya?" 

"Aku sangat ingat, Nel. Aku membuka kantong depan tas hanya dua kali. Pertama saat mengecek tiket, memastikan bahwa ada dua tiket yang ku simpan, kemudian aku membuka kantong tas lagi hanya saat mengeluarkan powerbank."

Disitu aku langsung berkesimpulan bahwa tiket tersebut hilang saat aku membuka kantong depan, mengeluarkan powerbank yang tidak aku sadari justru ikut membuat satu tiket keluar dan tercecer. 

"Anggap saja tiket yang hilang itu punyaku, Nel." Aku berucap pelan. 

"Kita cari tiket itu. Jika tidak ditemukan, biarlah aku nobar diluar stadion saja. Diluar stadion ada layar besar, nanti aku bisa nonton disana bersama yang lain." Ucapku berbesar hati.

Sebenarnya aku sudah sesak, mataku sudah berbayang. Aku mengangkat kepala, mengerjap-ngerjapkan mata.

"Aku ga mau, Yuk. Nanti kita coba cari tiketnya, kita cari solusinya." Neli tetap ingin menonton bola dari tribun GBK, bersama-sama, bukan sendirian seperti ucapanku barusan.

Tidak berapa lama setelah aku menyadari bahwa tiket tersebut hanya sisa satu, aku sudah bersama rekan-rekan Singa Mania.

"Kok biso ilang, Yuk?"
"Aku dak jingok, Yuk."
"Aku dak tau, Yuk."
"Maaf aku dak tau, Yuk."

Jawaban mereka sejujurnya membuatku sedih. Beberapa menit yang lalu kami sedang berkelakar dengan mereka, sekarang mataku sudah berair. Aku tidak bisa menyalahkan siapapun, karena ada banyak orang disana. Menuduh salah satu dari mereka? Itu tidak mungkin. Selain mereka, ada banyak orang yang berlalu-lalang disini. Aku memang ceroboh.

Koordinator yang tadi membantuku membeli tiket tahu, melihatku menangis. Air mata yang kutahan tidak bisa kubendung. Aku berdiri ke pinggiran rombongan, membelakangi mereka. Tidak habis fikir mengapa menangis karena kehilangan tiket. Mengapa tidak menangis karena kehilangan pacar, gitu?

Koordinator yang tadi membantuku membeli tiket tidak bisa menjanjikan apapun. Aku tahu itu. Dia sudah membantuku mendapatkan tiket sebelum aku menghilangkannya. Dia sudah baik. 

"Lihat nanti ya, Yuk. Soalnya tadi sudah didata. Tergantung rekan-rekan yang masih di perjalanan."

Di sekitar mereka membuatku seperti berada di kampung halaman


🍂 Sekira Pukul 14.30 WIB
Aku yang sebelumnya berisik, hanya memilih berdiam diri. Aku tetap bergabung, tetapi tidak seceria sebelumnya.

"Aku dak kelema'an samo Ayuk, tiket ilang karna aku minjam powerbank Ayuk." Ujar Dian pelan.

"Idak kok, itu karna aku bae yang ceroboh." Ucapku meyakinkan Dian. Bukan dia penyebab tiket tersebut hilang. Lain kali aku akan lebih hati-hati.

Dian adalah salah satu dari beberapa suporter yang menumpang truk dari Palembang ke Jakarta. Tadi handphonenya kehabisan baterai.

Langit begitu mendukung sepanjang hari ini, langit cerah dengan sedikit awan yang mengurangi terik. kami merasa beruntung karena hari-hari sebelumnya dilintasi hujan, entah paginya, siangnya, malamnya, atau justru seharian. Suasana teduh, dibawah rimbunnya pepohonan, aku masih duduk bersama Singa Mania. Mendengarkan mereka bercerita, sesekali ikut di dalam obrolan. Hingga rombongan di sebelahku mendadak ramai.

Info yang aku terima bahwa Singa Mania yang dalam perjalanan dari Palembang ke GBK mengalami masalah di perjalanan. Ada 3 bus yang diisi oleh seluruh suporter. Jika sesuai jadwal, seharusnya rombongan tiga bus tersebut sudah tiba sedari tadi. Tetapi faktanya mereka masih di Lampung. Sekarang sudah pukul setengah 3, satu jam menuju pertandingan. Bagaimana mungkin mereka bisa tiba tepat waktu. Menyeberang Selat Sunda saja belum. Seandainya bus paling depan tetap memaksakan, mereka akan tiba di GBK malam hari. Tidak ada lagi pertandingan SFC di jam itu.

Aku memiliki peluang kembali mendapatkan tiket. Tergantung aku mau mengambil kesempatan itu atau justru menyia-nyiakannya. Neli berbaik hati mau membantu. Aku sangat menghargai keinginan Neli untuk menyenangkan hatiku. Yang mendata adalah orang yang berbeda dengan koordinator sebelumnya. Kami harus meyakinkan kembali dari awal. Aku adalah suporter SFC, asli Sumatera Selatan yang sedang merantau, kami mengobrol menggunakan bahasa Palembang, Neli memanggil aku dengan sebutan "Ayuk". Kurasa itu sudah sangat meyakinkan. Semuanya jelas, tujuan juga hanya satu. Tiket masuk.

Hari ini aku melihat banyak orang-orang baik. Namaku didata. Walaupun itu bukan kepastian bahwa aku memiliki tiket. Nanti dikabari lagi.


🍂 Setengah jam menuju pertandingan
"Yuk Kal. Yuk Kalll. Tiketnya dapaatt." Neli setengah berteriak menghampiriku dengan memperlihatkan tiket kuning panjang di tangannya.

Aku yang awalnya diam, berubah 180 derajat menjadi ceria. Senang? Pasti. Sekarang tiket itu sudah ada di tanganku. Tiket Kategori 1 Tengah D, persis seperti tiket yang sebelumnya hilang.

Ini tiket yang diinginkan banyak suporter

Waktu sudah semakin sedikit. 15 menit lagi pertandingan dimulai. Rombongan sudah mengajak untuk masuk ke stadion. Aku dan Neli sudah bersiap-siap seperti yang lain, kemudian berjalan bersama-sama menuju pintu pemeriksaan tiket. Sejak saat itu tiket masuknya aku jaga dan kupastikan tidak hilang kembali.

Sepanjang perjalanan menuju pintu masuk stadion, ada beberapa orang yang menanyakan dimana kami bisa mendapatkan tiket. Kemudian beberapa orang berniat untuk membeli tiket yang sekarang ada di tanganku.

"Dari pagi ga dapat tiket, Mba." Ujar salah satu dari beberapa orang yang berniat membeli tiketku.

Aku kasihan? Jelas iya. Aku merasakan saat-saat aku yang ingin menjadi bagian dan bergabung dengan suporter-suporter lain, justru harus rela tidak masuk stadion karena kehilangan tiket.

"Maaf, tiket aku hanya ada satu, Bang. Aku ingin menonton langsung di dalam (stadion)." Hanya ucapan itu yang bisa aku keluarkan.

Di hari ini aku bersyukur, di saat supporter lain harus berbesar hati mendukung klub kesayangannya dari luar stadion, aku mendapatkan tiket masuk justru dengan dua kesempatan.

🍂🍂🍂

Saatnya mendukung Sriwijaya FC

Pertandingan berjalan lancar. Sriwijaya FC mendapatkan juara 3 setelah berhasil mengalahkan PSMS dengan 4 kali gol. Suporter Sriwijaya FC kali ini tidak sebanyak pertandingan yang sebelumnya juga beberapa kali aku saksikan langsung di stadion GBK ini. Aku memakluminya, mengingat 3 bus suporter yang masih di Lampung sudah tidak mungkin berada di stadion ini sekarang. Sedikitnya suporter tidak mengurangi semangat kami. Gol demi gol yang diberikan menjadi hadiah malam ini.

Salam manis dari kami berdua. Sampai jumpa :)


Follow Kal di @kalenaefris