Dingin menusuk tulang. Jaket yang Jodie gunakan tidak bisa menghalau dingin secara menyeluruh. 8 derajat celcius, bahkan sarung tangan dan kaos kaki tebal yang ia gunakan tidak bisa menutupi dingin yang menggerogoti tubuhnya. Jodie sudah masuk ke dalam tenda saat para lelaki memutuskan untuk bermain domino. Ia memilih beristirahat demi fisik yang fit untuk summit beberapa jam ke depan.
Dengan tubuh yang sedikit bergetar karena dingin, ia membuka carrier kemudian mengeluarkan sleeping bag. Setelah masuk ke dalam sleeping bag, perasaan hangat sedikit demi sedikit mulai mengalahkan dingin yang sebelumnya ia rasakan. Ia melihat Jessica yang sudah menutupi seluruh tubuhnya dengan sleeping bag. Tidak ada satu bagian tubuh pun yang terlihat. Seperti Jessica tidak mau ada celah dingin masuk ke dalam sleeping bag kemudian mengganggu kehangatannya.
Jodie menatap langit-langit tenda, fikirannya sudah beralih ke sosok diluar tenda yang sekarang sedang bermain domino bersama Gilang, Agung, dan Acen. Sayup-sayup ia bisa mendengar apa yang dibicarakan oleh mereka di depan tendanya. Ia ikut tertawa dalam hati saat mereka tertawa. Ia tahu siapa yang kalah dalam permainan domino tersebut. Ingin rasanya ia ikut menertawakan kekalahan salah satu dari mereka walaupun dari dalam tenda, tetapi itu tidak ia lakukan karena ia yakin 100% Gilang akan mengomelinya jika tahu bahwa ia ternyata belum istirahat.
Tiba-tiba telinga Jodie berdengung panas, ia mendengar Mahen menanyakan perihal Jodie ke Gilang. Dadanya gemuruh, nafasnya naik turun. Kenapa Mahen menanyakan tentangnya? Apakah Mahen... Ahh, Jodie menutup wajahnya dengan kedua tangan, tidak berani memikirkan lebih jauh, ia takut perasaannya justru akna menyakitinya nanti.
Ia membuka telinganya lebar-lebar. Sayup-sayup suara mereka mulai menghilang. Permainan domino selesai.
Jodie memiringkan tubuhnya, memunggungi Jessica. Diluar angin gunung sudah mulai mengguncang-guncangkan tenda, di dalam tubuhnya diguncang-guncangkan oleh perasaannya sendiri.
Jodie tidak ingat kapan ia tidur. Ia terbangun mendengar Gilang menyebut-nyebut namanya. Ia melihat ke samping, tidak ada Jessica di sampingnya. Ia membuka sleeping bag. Brrrrrrrr... dingin menyerobot kasar masuk melalui pori-pori kulitnya. Untuk sejenak ia masih berada di dalam tenda untuk menyesuaikan dingin. Setelah ia merasa dingin tidak setega pertama membuka sleeping bag, ia langsung keluar tenda.
"Nih susu. Lo minum mumpung masih hangat!" Gilang memberikan segelas susu ke Jodie.
Jodie meraih minuman tersebut tanpa menyahut. Kemudian ada kehangatan masuk ke dalam tubuhnya tepat sesaat setelah susu tersebut ia minum.
Jodie menatap sekeliling dengan gelas di dalam genggaman. Di sebelah kanannya ada Jessica yang sedang memperhatikan Gilang dan Acen mengobrol sambil mempersiapkan kebutuhan untuk summit, sesekali Jessica terlihat ikut dalam obrolan. Kemudian di hadapan Jessica ada Agung dan Mahen yang sedang memasak air dan makanan selama summit nanti.
"Nih!" Mahen memberikan sebungkus roti cokelat untuk Jodie. "Setengah jam lagi kita summit, kamu harus menyentuh kalori walaupun sedikit. Supaya fisikmu kuat, Jod."
"Terima kasih." Jodie mengambilnya, kemudian langsung memakannya.
***
Mendaki di jam seperti ini terasa sangat dingin. Jodie sudah mengenakan celana berbahan polar, jaket polar, sarung tangan, dan mengenakan kaos kaki dua lapis. Tetapi dingin rasanya tetap saja mampu menembus hingga ke dalam kulit. Sesekali tangannya memperbaiki letak headlamp. Tetapi lebih sering ia meletakkan tangan di dalam saku jaket.
Ia berjalan di tengah-tengah team. Mahen di depannya dan Gilang di belakangnya. Ia merasa dilindungi oleh dua orang yang menurutnya penting, tetapi dengan perasaan berbeda. Di summit ini Jodie berbunga-bunga. Mahen memperlihatkan perhatiannya ke Jodie. Awalnya Jodie merasa canggung saat Mahen menjulurkan tangannya saat ada jalur menanjak yang curam ataupun pohon besar melintang. Tetapi semakin lama Jodie merasa nyaman. Ia justru senang.
Jalur pendakian semakin lama semakin menanjak. Team beberapa kali berisitirahat dan memastikan jarak antara yang satu dan yang lain selalu rapat. Acen yang berada di paling depan barisan selalu menghitung. Jessica yang terlihat paling kepayahan diantara yang lain.
"Semangat, Jess. Kita berjalan pelan-pelan saja. Tidak usah terburu-buru. Kita ga akan saling meninggalkan, kok!" Acen menyemangati Jessica yang sedang bersandar di sebatang pohon besar.
"Makasih ya guys, kalian udah mau nuungguin gue. Gue ga enak. Gara-gara kalian nungguin gue, jadinya kita ga keburu menikmati sunrise di puncak."
"Ga usah di fikirkan, Jess. Yang penting kita tiba di puncak bersama-sama. Ada kok yang ga kalah indah dibandingkan dengan sunrise. Lo ga usah khawatirin itu."
"Emang ada? Bukannya pendaki selalu nargetin buat dapat sunrise di puncak ya?"
"Ada donk. Kamu sepertinya lupa dengan samudra awan yang akan terlihat seperti permandani. Kamu bisa memandang samudra awan tersebut sepuas hatimu."
Teman-teman yang lain mengamini ucapan Acen barusan. Mereka meyakinkan Jessica bahwa ada hal lain yang teramat indah sudah menunggu di atas sana, samudera awan. Hal yang membuat Jessica terharu. Semangatnya kembali tumbuh.
Jessica kemudian berdiri, lalu melanjutkan pendakian. Ia berjalan di belakang di belakang Acen dan di depan Gilang.
Langit perlahan-lahan mulai terbuka, pepohonan sekarang sudah berada di bawah mereka, begitupun dengan samudera awan. Jodie marasakan bahwa mereka berada di atas samudera awan tersebut.
"Break ya guys!" Jodie berteriak.
"Oke!" Sahut yang lain.
Kiri kanan dipenuhi batu-batu besar. Sisa pendakian mereka sekarang adalah jalur pasir. Pucak sudah terlihat dari sini, tetapi mereka tidak mau memaksa diri. Mereka memutuskan istirahat sebentar sambil menikmati samudra awan di belakang mereka yang nampak berwarna kemerah-merahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar