Kamis, 21 Desember 2017

Selamat sore dari Malang kami yang begini-begini saja.


Banyak yang bilang Surabaya itu kota yang panas. Tapi dari pertama menginjakkan kaki di Surabaya, aku dan Meta disambut oleh gerimis. Semakin lama gerimisnya makin ramah, dari yang awalnya datang hanya rintik-rintik kecil nan manja, ehh makin kesini rintik yang datang makin banyak, dan puffff... jadilah hujan. Khusus puffff itu plesetan Choco Crunch. Ga lucu tapi boleh ketawa, selow.

Motor basah, carrier basah, bedak luntur, kaki buluk, muka lecek, hati kosong (aiihhh) kami lalui dengan semangat 45.

"Met, kita stop makan yuk!" Semangat 45-ku kalah oleh lapar.

"Hayok, aku juga udah lapar."

Motor jalan pelan-pelan. Kami melihat ada beberapa warung di sebelah kiri jalan. Kami awalnya memilih-milih warung makan. Tetapi makin lama hujan semakin deras, kacamataku semakin buram.

"Yang mana aja deh, Met. Warteg juga ga apa-apa." Kacamataku masih nempel, tapi aku turunkan ke lubang hidung. Kaca helm juga sudah ku buka. Aku melihat tanpa kacamata, kabur di kejauhan. Intinya, mataku ga nyaman.

"Itu warkop, Kal. Warkop aja ga apa-apa ya!" Tangan Meta menunjuk warkop yang jaraknya sekitar 20 meter di depan.

Meta melihatnya jelas. Sedangkan aku hanya melihat bangunan dengan atap di kejauhan. Kursi, jendela, pintu semuanya blur. Apalagi chiki-chiki yang digantung, semuanya blur. Semakin dekat aku baru tahu kalo itu warkop lengkap dengan kursi dan meja panjangnya, dengan seorang bapak sedang duduk memunggungi jalan, sendirian. Juga dengan keripik, torabika, serta keluarga chiki-chikian berjejer rapi minta dibeli.

Aku memarkir motor persis di depan warkop.

"Kita makan di dalam aja ya Kal. Biar sekalian nanya-nanya." Aku mengangguk.

Aku dan Meta masuk ke dalam warung. Di dalam sudah ada 3 orang separuh baya sedang menonton dengan kopi (ga tau hangat atau enggak) di atas meja.

Setelah memesan makan, aku dan Meta mulai nanya-nanya spot wisata di Malang. Kami memang sudah memiliki tujuan, itupun referensi dari Hasfi di Alfamart tadi pagi. Tapi bertanya ga ada salahnya, kan?

"Waduh, apa ya Pak?" Si ibu bingung, menatap Si Bapak di depannya. Ask the audience bahahaha.

"Anu, di Malang ada museum Mbak'e." Ujar si bapak dengan logat Jawanya.

"Ke alun-alun Malang saja, mbak." Si ibu mulai ada ide.

"Di Malang ada kolam pemandian, Mbak'e."

Aku cengok. Meta cengok.

Pelajaran baru yang aku dapat untuk saat ini adalah bertanya ke orang itu sah-sah saja. Tetapi pastikan kita bertanya ke orang yang tepat. Jika ingin mencari tempat wisata keluarga, tanya ke ibu-ibu atau bapak-bapak. Jika ingin mencari tempat wisata yang hits, tanya ke anak-anak muda yang penampilannya nampak matching dari atas hingga bawah. Walaupun ini tidak menjadi patokan 100% benar, tetapi 80% mendekati benar. HeuHeuHeu.

"Mbak-mbak ini dari mana ya?" Si ibu mulai kepo eaaaa.

"Kami dari Jakarta, Bu. Tujuan sih Surabaya. Tapi ga taunya di Surabaya ga ada tempat wisata. Tadi ada yang nyaranin kami buat ke Malang, makanya kami ke Malang." O em ji, Meta aktif sekali. Tanpa ditanya Meta dengan senang hati menceritakan perjalanan kami ke mereka.

Aku cuma mendengarkan, sambil melanjutkan makan.



* * *


Hujan menyisakan gerimis. Kami sudah melanjutkan perjalanan ke Malang.

Tadi aku sempat mendengar obrolan mereka di warkop bahwa arah Malang itu macetnya panjang.

Sekarang kami memasuki daerah macet.

"Met, macetnya masih panjang atau enggak?"

"Wait, aku liat dulu."

Tangan Meta krasak-krusuk di belakang. Tadi Meta memang sempat melihat Maps untuk memastikan jalan.

"Kalo disini sih merah, Kal." Merah berarti macet.

"Merahnya panjang." Lanjut Meta.

"Oke, Met." Terima kasih cantik, kamu jujur sekali.

"Disini ada jalan alternatif, Kal. Kita mau lewat jalur alternatif ga? Agak lebih jauh sih, tapi ga macet."

"Boleh, Met."

"Gangnya ada di depan." Motor melaju pelan-pelan.

"Yaaahh... Gangnya kelewat, Kal."

Di depan ada gang kecil.

"Kita coba lewat sini, ya!"

Motor masuk ke gang kecil, keciiill banget. Cukup satu motor lewat teras rumah orang, lewat jemuran orang, terus ketemu gang gedean, ga lama ketemu gang kecil lagi.

"Liat di Maps, Met. Jalannya udah dekat belum?"

"Disini sih dikit lagi gangnya."

Ga menunggu lama kami sudah berada di jalur alternatif. Jalannya aspal yang cukup buat 2 mobil berpapasan.

Sepanjang jalan kami membahas tempat wisata yang akan kami datangi. Awalnya kami memutuskan mau ke Museum Angkut Malang. Kemudian setelah Meta searching biaya tiket masuk yang ternyata mahal, akhirnya kami beralih ke Museum Malang Tempo Doeloe saja.

"Di depan belok kanan, Kal!"

"Oke!"

"Belok kiri, terus luruuss aja ikutin jalan!"

Dari yang sebelumnya jalan macet, kemudian jalan aspal kecil yang ramai rumah penduduk, hingga kami masuk persawahan, lalu hutan, lalu persawahan lagi.

"Ini jalannya benar, Met?"

"Kalo di Maps sih benar, Kal."

"Ohh, okee."

Setelah melewati sawah, hutan, lapangan, kampung kecil, sawah lagi, hutan lagi, tapi lapangan enggak lagi bahahahaa, akhirnya kami menemukan peradaban jalanan yang lumayan ramai.

"Di depan belok kanan, Kal!"

Di depan ada gapura yang inti tulisannya menginfokan bahwa kami memasuki wilayah militer. Tapi kami cuek aja, toh banyak motor lewat.

Hingga di depan ada beberapa laki-laki berseragam melambaikan tangan ke tengah meminta kami berhenti. Ternyata jalan di depan hanya boleh dilalui oleh anggota.

"Tapi itu ada orang pake kaos biasa boleh masuk, Pak?"

"Itu mereka anggota, ada stiker juga di motornya, Mbak."

"Tapi petunjuk di Maps lewat sini, Pak!" Kami kekeuh.

"Disini orang umum ga boleh masuk, Mbak."

Kami malu. Ehh salah, aku ga tau Meta malu atau enggak. Aku ralat : aku malu. 

Aku memutar balik motor.

"Mbak sekarang balik lagi ke jalan tadi, kemudian ambil kiri. Ada pertigaan ambil kiri lagi, kemudian mbaknya lurus aja!"

Kami manut. Kami mengikuti petunjuk dari si Bapak. Petunjuk di Maps otomatis berubah.

"Kok di Maps ada jalannya ya, Kal?"

Terus kami tertawa. Menceritakan ulang kejadian barusan, kemudian tertawa lagi.

"Di depan belok kanan, Kal!"

Jalan berubah menjadi jalan kecil yang cukup dilalui 1 mobil. Jadi kalo ada mobil dari arah berlawanan, berarti masing-masing mobil harus menurunkan sebelah rodanya di pinggir aspal.

Jalanan sepi, hanya motor kami saja. Hutan dan langit-langit diatas kami rimbun. Suasana berubah dingin. Jalanannya adem... Adeemm banget kayak tatapan matanya. Elah nih bocah.

"Ini jalannya benar, Met?" Aku nanya lagi.

"Kalo di Maps sih benar, Kal!" 

Setelah sekitar 1 kilometer melalui jalan yang sepi, akhirnya kami beralih ke jalan batu bata yang disusun rapi. Jalan perumahan.

Huahahahaha.
Huahahahaha.
Huahahahaha.
Kami sebenarnya lewat jalan mana sih?

Aku dan Meta cuma bisa ketawa.

"Kita dimana, Met?"

"Ga tau, Kal. Huahahahaha orang ngikutin Maps kok."



* * *


Setelah hampir 1 jam melewati jalur alternatif berupa gang kecil, jalanan sepi, persawahan, perumahan, hingga beralih ke jalan ramai penduduk, akhirnya kami masuk ke jalan utama, Malang kota. Yeaayyyyy!!!!!!!

"Di depan ambil kanan ya, Kal!"

"Oke." Aku membelokan motor ke kanan.

Tiba-tiba motor oleng.

"Kal!!"

"Kal!!"

"Kallll!!!"

Tanganku refleks mencengkram stang, mengendorkan gas. Kakiku turun mencari keseimbangan. Tanganku memegang stang kuat-kuat. Semuanya refleks.

"Astagfirullah Kal!!"

Motor sudah di pinggir. Aku dan Meta masih di atas motor.

Kami berdua baik-baik saja.

Kami turun melihat ban motor. Pecah ban!

Di seberang kami ada tempat cuci motor, tetapi tidak bisa isi angin, apalagi nambal ban.

"Tempat nambal ban-nya jauh ga, Mas?"

"Engga kok Mba, kalo jalan paling 15 menit nyampe. Kalo naik motor paling 5 sampe 10 menit."

Aku melihat jam, sekarang sudah jam 4 lewat.

"Motornya kita naikin aja, Met. Yang pecah kan ban depan."

Akhirnya aku dan Meta menuju tambal ban dengan naik motor. Aku duduk agak mundur, meta duduk di besi belakang motor. Motor jalan pelan-pelan. Ga sampe 10 menit, kami sudah tiba di tambal ban.

"Ini ban dalamnya mending ganti saja, Mbak" kata si Bapak tambal ban.

"Loh kenapa, Pak?"

"Ban-nya sudah ndak layak, Mbak."

Meta melihat aku, mengangkat alis, meminta pendapat tanpa bertanya. Aku mengangguk pelan, mengedipkan mata, tanpa berucap. Meta mengerti.

"Yaudah ganti aja, Pak." Ujar Meta.


* * *


"Pak, Museum Malang Tempo Doeloe jauh ga dari sini?"

"Museum? Itu mah dekat Mbak, paling 300 meter dari sini." Aku dan Meta saling pandang, senyum.

Kami berjalan mengikuti petunjuk dari si Bapak. Selagi ban di tambal, kami mau menikmati tempat wisata yang bisa dijangkau. Siapa sangka tempat yang akan kami tuju justru dekat dari sini.

Benar saja, ga lama kami sudah berada di depan Museum Malang Tempo Doeloe.

Tapi... Loh loh kok ga ada tulisan "Museum Malang Tempo Doeloe"?

Bentuknya seperti rumah yang bangunannya di dominasi kayu klasik.  Sebelah kiri bangunan ada toko souvenir berupa gelang dan kalung etnik, tas batik, pakaian batik, hingga oleh-oleh bertuliskan Malang. Sebelah kanan ada bangunan dengan 1 sisi terbuka sedangkan 3 sisi dindingnya tertutup. Disana ada beberapa ABG sedang duduk dengan mangkuk-mangkuk berisi makanan.

"Inggil" tulisan besar yang di ukir ada di beberapa tempat. Aku dan Meta kembali saling pandang.

"Ini warung kuliner?" Pikirku dalam hati. Mungkin Meta memikirkan hal yang sama tetapi aku tidak menanyakannya. Terlalu sepele, nanti juga tahu.

Kami masuk ke toko berisi oleh-oleh Malang. Setelah melihat-lihat dan mencoba, Meta tergoda untuk membeli rok batik.

Setelah selesai transaksi, kami keluar toko kemudian melihat ke arah teras bangunan.

"Ayok masuk, Met." Kami udah kepalang disini.

Kami disambut oleh bunga sedap malam di tengah teras, kursi dan meja jati yang kelihatan sudah berumur, mesin tik di sebelah kiri teras, kemudian sebuah spanduk berwarna cokelat kayu bertuliskan Museum Malang Tempo Doeloe.
Okee, berarti ini benar Museum. Lalu, Inggil itu apa? Rumah makan?

"Bunga ini ngingetin aku waktu masih kecil tau Met." Celotehku sambil memegang bunga sedap malam.

Meta sedang duduk di kursi teras. Kepalanya setengah terangkat ke samping, matanya melihatku setengah terpicing seolah bilang "masaa?"

"Jadi dulu waktu kecil, ibuku selalu beli bunga ini untuk di rumah. Sekarang sih enggak lagi." Aku tersenyum kecil. Aku jadi kangen ibuk.

"Masuk yuk!" Aku mengajak Meta masuk ke dalam museum.



Suasana di dalam sepi, hanya beberapa ABG yang tadi kami lihat duduk di depan. Mungkin karena kami tiba disini sudah sore. Dinding bangunan dihiasi begitu banyak barang-barang tempo dulu. Mulai dari kumpulan mesin jahit, radio-radio, telepon jaman dulu yang nomornya mesti diputar-putar, foto bangunan-bangunan jaman dulu, hingga kumpulan uang jaman dulu.

Bangunan di dalam sini sudah semi permanen. Sebelah kanan bangunan ada beberapa pintu dan tiap-tiap pintu ada ruangan dengan tempat makan.

Semakin masuk ke dalam bangunan, kami melihat kumpulan topeng bertingkat tersusun rapi yang membentuk setengah lingkaran. Di belakangnya terdapat ruangan luas dengan meja dan kursi tertata rapi.

Tetapi kosong, tidak ada orang.

Setelah puas melihat sekeliling, kami kembali keluar.


Tanya sendiri dia lagi mikirin apa. Aku cuma moto, suerr!


Jadi kesimpulan dari apa yang aku lihat adalah tempat ini merupakan tempat kulineran dengan nama "Inggil" yang mengambil tema museum, atau Museum Malang Tempo Doeloe yang juga ada tempat untuk kuliner di dalam dan luar bangunannya.

Apapun itu, jika kamu ingin merasakan kulineran di Malang sekaligus wisata sejarah, tetapi dengan suasana tempo dulu yang kuat, serta bisa langsung beli oleh-oleh khas Malang, tempat ini bisa dijadikan referensi.



* * *


Sekarang sudah jam 5 sore. Aku dan Meta memutuskan keluar museum dan mencari tempat wisata lain sekitar sini.

"Coba kita searching Google, Met!" Aku dan Meta sama-sama disibukkan dengan handphone.

"Disini itu dekat kampung warna-warni, Kal!!" Ujar Meta bersemangat, matanya membulat, berbinar.

Aku cengok. Cengok senang. Aku sering melihat kampung warna-warni di Google, di Instagram, ataupun dari cerita teman. Tapi saat di Malang kami justru lupa, bahkan ga masuk dalam list perjalanan kami.

Anggap saja bonus.

Kami tiba kembali di tempat tambal ban. Motor telah pindah tempat pertanda sudah sudah siap digunakan.

"Pak, Kampung warna warni dimana ya?" Meta to the point nanya.

"Disitu, Mbak!" Beberapa orang disitu kompak menunjuk ke satu arah.

"Deket kok, ndak sampe 5 menit."

Aku dan Meta saling pandang. Senyum yang berarti "Kita kesana!". Motor tetap kami titip di tambal ban. Ga pake ba bi bu kami langsung jalan ke arah yang ditunjuk oleh si bapak.

Benar saja, jaraknya sangat dekat. Malah lebih dekat jika dibandingkan dengan jarak antara tempat tambal ban ke Museum Malang Tempo Doeloe.

Setelah berjalan sekitar 200 meter, warna warni rumah terlihat dari seberang. Kampung Jodipan!

Jadi, kampung ini sama seperti kampung-kampung pada umumnya. Ada anak-anak kecil yang bermain, rumah padat dengan kehidupan sehari-harinya, juga gang-gang kecilnya.

Bedanya, kampung ini di cat berwarna-warni, dinding yang dilukis dan dipenuhi graffity, langit-langit gang yang dihiasi payung-payung, bunga-bunga sintetis bergantungan, tangga yang di cat berwarna warni, serta warga kampung yang ramah. Kampung warna warni ini juga ramai wisatawan, sangat berbanding terbalik dengan museum tadi yang sepi pengunjung.

Kami keliling kampung dari pojok satu ke pojok satunya, dari gang satu ke gang lainnya. Keluar dari gang ini, muncul lagi ke gang tadi.

"Aduh ini gimana sih?" Meta bingung.

"Itu gang yang tadi, cuy."

"Ke jembatan lewat gang satunya!" Kalo ga salah sih. Kalopun salah, paling aku dinyinyirin sama Meta bahahahaa. Untungnya aku benar. Kami kemudian menyeberangi sungai melalui jembatan yang berwarna kuning.

Jadiii... Aku dan Meta disini ngapain? Kami menghabiskan sore disini. Ga munafik sih, disini banyak banget spot foto Hahahaha. Lalu kami disibukkan dengan keliling, foto, keliling, foto, keliling, foto sampe langit perlahan gelap.

"Udah Magrib, Kal. Yuk, cuss!"

Apa bedanya kampung ini dengan kampung yang lain? Kreatifitasnya!


* * *


Langit mulai gelap. Kami sudah di atas motor. Kami belum mandi, belum makan, dan dekil. Aku dan Meta terakhir mandi itu hari Jum'at pagi, dan sekarang Sabtu malam.

Tapi bukan itu yang kami fikirkan. Kami memikirkan malam ini.

"Malam ini kita tidur dimana?"


~ Bersambung. Kelanjutannya klik di sini ~


Hidup ini dipenuhi kejutan. Menyenangkan!

Rabu, 13 Desember 2017

Coban Sewu atau air terjun Tumpak Sewu

Aku berusaha tidur, tapi mata dan tubuh ga mau kompromi. 

"Matahari kapan nongol yaa?" Aku ngebatin.

"Biar angetan dikit" ngebatin lagi (2)

"Coba tadi bawa jaket" masih ngebatin (3)

"Jaket dimasukin ke bagasi buat apa coba?" ngebatin (4) 

Aku melihat ke kanan, di sebelah kanan ada si Bapak baru bangun tidur. Ga enak juga ngeliat ke kanan mulu. Padahal pemandangan di luar bagusss. Ada pucuk-pucuk pohon, gunung, rumah, sungai, juga sawah. View-nya ga jauh beda seperti saat stalking ig-nya traveler-traveler hits yang ada foto-foto pemandangan dari atas. 

Ga lama, si Bapak ngajak ngobrol. 

"Di Surabaya ga ada tempat wisata, Neng. Mending Neng ke Malang saja!"

Fix! Si bapak adalah orang ke sekian yang bilang bahwa Surabaya tidak ada tempat wisata.

Obrolan berlanjut ke tempat-tempat wisata di Malang. Si Bapak awalnya memberi opsi ke waterpark, taman bunga, dan museum di Malang. Dikira jalan-jalan cantik sama emak-emak sepuh kali ya buahahaa. Setelah aku jelaskan bahwa kami membawa perlengkapan dan tas gunung, akhirnya si bapak bilang ke Gunung Arjuno saja, kebetulan searah jika mau wisata ke Malang.

Tepat jam 7 pagi obrolan aku dan si bapak terputus karena pesawat sebentar lagi mendarat di Bandara Juanda Surabaya. Meta yang duduk di samping kiri menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

"Met, aku udah ngobrol sama bapak sebelah aku. Katanya mending kita ke Malang aja, terus mampir di Gunung Arjuno."

"He em, he em." 

Kesalahan aku pagi ini adalah ngajak ngobrol orang yang nyawanya belum ngumpul.

Untungnya tidak lama dari itu nyawa Meta sedikit-sedikit mulai terkumpul, sudah bisa diajak diskusi, jawabnya enggak heem heem lagi kayak cewek yang ngambek gegara janji jalan sama cowoknya dan ternyata si cowok lama jemput.

Dari awal aku dan Meta emang tidak mau ribet. Destinasi nantinya juga tidak dibuat kaku. Semua bisa saja berubah tergantung waktu, kondisi, dan tempat. Ini yang bikin aku demen, karena sejatinya perjalanan itu akan menyenangkan jika dinikmati. Elah sok bijak banget nih terong rebus dingin! Buahahaa

So, opsi sementara untuk kami hingga hari Minggu ke depan adalah ke Gunung Arjuno (walaupun agak sedikit ragu karena peralatan ga safety), kemudian lanjut ke Malang kota.



* * *

Aku dan Meta celingukan setelah keluar dari Bandara. Tujuan wisata boro-boro jelas, kami hanya mengantongi daerah utama yang akan didatangi, yaitu arah Malang.

"Mau kemana Mbak? Ayoo bapak antar." Tiba-tiba ada bapak-bapak nawarin taxi-nya.

"Engga, Pak. Makasih."  Tolakku pelan-pelan, pake logat Jawa. Refleks.

"Emang Mbak berdua ini mau kemana?" Si bapak mulai pocecif eaaa. Enggak enggaak, maksudnya si bapak mulai aktif menggunakan teknik marketingnya.

"Kami di jemput, Pak." Fix, aku bohong.

Meta dari tadi sibuk sama handphone. Dari hasil searching Meta di Google, kami disarankan ke Terminal Bungurasih dulu, terus lanjut naik bus ke Malang.

"Itu Damri ke Bungurasih, Kal!" Di jendela bus ada tulisan yang ga gede-gede amat, juga ga kecil-kecil amat. Lumayan bisa di lihat lah oleh cewe mata minus ini. Kami langsung ke Damri yang jaraknya sekitar 10 meter. Deket!

"Loh Mbak, katanya tunggu jemputan?" Aku dengar si bapak yang nawarin taxi ngomong.

Aku cuma bisa senyum ke si bapak, senyum ga enak, sambil terus jalan ke arah Bus Damri.

"Kalo mau ke arah Malang, kami naik Damri tujuan apa ya Pak?" Tanya Meta ke laki-laki separuh baya yang berdiri persis di depan pintu bus, mastiin aja takut-takut yang di Google salah.

"Naik Damri Bungurasih ini, Mbak!"

Aku dan Meta kompak langsung naik ke dalam bus.

"Kita duduk di belakang supir aja yaa Met!" Setelah meletakkan carrier, Aku dan Meta langsung menempati kursi persis di belakang supir. Alasannya simpel aja cuy, biar gampang kalo mau nanya-nanya.


* * *

Meta: [send pict] biaya mit Surabaya Kal (biaya ke Surabaya, Kal)

K A L: Jadi tini nyak bayar pigha di niku?? (Jadi nanti aku bayar berapa ke kamu??)

Meta: Bagi rua hena 😏 (Bagi dua itu 😏)

K A L: 😌 (ekspresi males ngitung)

Meta: Jadi niku byr di nyak xxx (Jadi kamu bayar ke aku xxx)

K A L: Yuuuu 🙆 (Iyaaa/Okee)

K A L: Gham haga trip cantik api backpacker? (Kita mau trip cantik atau backpacker?)

Meta: Backpacker gawoh (Backpacker aja)


Kesimpulannya... kami berdua Meta ke Surabaya, tiket PP sudah pesan, destinasi dibahas di hari H, bawa tenda, fleksible, dan backpackeran.


* * *


Ga tau yaa ini Damri-nya yang jalan cepet atau jarak ke terminalnya yang deket. Belum setengah jam kami sudah di terminal Bungurasih. Karena jarak Surabaya - Malang yang lumayan jauh, dan supaya bisa bebas keliling-keliling mengingat waktu liburan juga cuma 3 hari, jadinya aku dan Meta memutuskan untuk menyewa Motor. Pertanyaan selanjutnya adalah sewa motor dimana?

Kami sudah keluar terminal. Langit sudah mendung sejak pertama turun dari bus. 


"Kal, ada nih!" Meta ngasih liat handphonenya. "Ehh tapi ga ada no teleponnya, mesti e-mail cuy."

Agak ribet sih kalo by e-mail. Apalagi buat kami yang tahu bulat bin dadakan.

"Wait Met, aku cari di ig dulu!" Aku langsung searching di ig pake hastag #sewamotorsurabaya . Aku merasa cari jasa penyewaan melalui hastag instagram ini cenderung lebih ampuh. Aku jadi ingat kamu pengalaman cari-cari homestay dan sewa mobil di Jogja melalui hastag dan terbukti ampuh.

"Ada nih, Met. Kita hubungi aja!" Aku bacain nomor teleponnya dan Meta yang menelepon.

"Met, aku lapar! Kita sarapan dulu yuk, sambil nelponin yang punya motor!" Meta setuju, ia juga sudah lapar.

Kami masuk ke gang kecil yang cukup dilalui 1 mobil. Kiri kanan merupakan tempat penitipan motor. Aku iseng-iseng nanya penyewaan motor, mereka malah nawarin penyewaan mobil.

Lurus terus dari tempat penitipan motor ada sekumpulan pedagang sayur-sayuran, buah-buahan, dan warteg.

"Aku pengen lalap pete, Met. Kamu mau ga?"

"Mau, Kal."

Aku ke tukang sayur cari jualan pete tapi ga nemu. Ke tukang sayur yang lain penjualnya bilang ga ada. Ke tukang sayur gerobak ga ada juga. Terus ke penjual ikan. Ini ke penjual ikan cuma iseng pengen lihat-lihat ikan doank, suerrr.

"Mau ikan apa Mba?"

"Saya cari pete, Bu." Aku senyum, ibunya bingung. Aku menjauh.

"Herannn, orang Surabaya pada ga doyan pete kali ya?" Aku ngebatin.

Akhirnya kami makan di warteg yang ga jauh dari situ. Tanpa pete!

Ga perlu nunggu waktu lama nih perut terisi juga, sarapan yang nikmat walaupun nikmatnya ga haqiqi karena tanpa pete. 

Meta masih terus usaha telpon-telponin penyewaan motor.

"Ga di angkat, Kal"

"Coba penyewaan yang ini, Met!" Aku kasih alternatif lain. Tentunya hasil hastag mujarabnya igeh, #sewamotorsurabaya. HeuHeuHeu.

"Ga diangkat-angkat juga" Meta meletakkan handphonenya.

Sebelum sarapan tadi Meta sempat ngeluarin hasil berburunya, rujak buah. Tapi tadi karena lapar, kami memilih sarapan dulu.

Sekarang kami makan rujak buah. Lebih tepatnya buah yang sudah di potong-potong, kemudian di coel-coel dikit di bumbu rujak.

Teg !!!

Meta cengok, aku shock.

"Aaaaa Metaaa. Behelku copot!" Aku refleks pegang geraham, satu Behelku sebelah kiri goyang-goyang.

"Ya ampun Kaalll. Issshhh.. Kamu baru konsul kemarin loh!" Meta ngomel, secara Meta paham banget tentang behel. Katanya dia 4 tahun pake behel, dan sekarang sudah lulus dari dunia perbehelan.

"Kirain ga bakal copot, Met."

"Lagian kamu, kenapa gigit melon? Itu kan keras!" Meta bawel.

Huahahaha.
Huahahaha.
Huahahaha.

Tadi aku shock, sekarang ketawa. Mungkin Meta akan berfikir "Random banget nih bocah, baru aja panik, sekarang udah ketawa-ketawa."

"Udah biarin aja." Aku pindah nguyah sebelah kanan, tapi ga mau makan melon. Trauma baahahaa.

Handphone Meta bunyi. Ternyata telepon dari penyewaan motor, tapi ga tau penyewaan motor yang mana.

"Halooo... iya tadi saya telepon mau sewa motor Pak... iyaa... harga sesuai yang di cantumin kan Pak? iyaa... oh gitu... iyaa antar aja... iyaa... kami tunggu di terminal Bungurasih ya pak... iyaa... makasih." Telepon ditutup.

"Emang sewa motor yang mana Met?"

"Ga tau yang mana ngaahahahaa"

"Lah itu tadi, bilang sesuai yang di cantumin?"

"Biar ga di tembak harga aja, Kal."


* * *


"Kita mau mandi ga, Met?"

"Boleh."

Ehh pas kamar mandi umum udah dapat, kami berubah fikiran.

"Aku ga jadi mandi ahh, Met! Ribet."

"Aku juga engga, paling entar cuci muka doank."

"Ho oh, sama."

Kami sudah keluar dari warteg, sudah ga lagi mikirin perut. Cuaca yang sedari tadi mendung sudah mulai gerimis. Kami keluar ke jalan utama mencari jas hujan untuk Meta tapi ga nemu-nemu.

"Met kita ke Alfamart itu aja yuk, sekalian belanja!"

"Pak, nanti tolong antar motornya ke Alfamart yang seberang Gudang Garam Tbk yaa! Setengah jam? Okee.. iyaa pak." Meta baru saja menelpon tempat penyewaan motor menginfokan lokasi terbaru kami.

Minimarketnya lumayan besar. Yang menyenangkan adalah depannya luas dan lebar. sepertinya memang tempat kebanyakan orang-orang menunggu, berteduh, juga titik temu. Di sebelah kiri kanan minimarket masing-masing terdapat 1 buah lubang colokan yang langsung aku dan Meta manfaatkan untuk mencharge handphone masing-masing.

Hujan makin deras, beberapa pengendara motor mulai memarkirkan motornya dan memasuki area minimarket sekedar untuk berteduh.

Setelah belanja-belanja kebutuhan selama liburan serta bergantian ke toiletnya Alfamart, aku dan Meta mulai ngobrol (sedikiitt) serius. Kami mau kemana?

Ga perlu lama-lama, di pojok sebelah kanan minimarket, aku dan Meta sudah membombardir pertanyaan-pertanyaan ke mas Hasfi, cowok berkacamata usia sekitar dua puluhan yang baru saja kami kenal.

Berawal dari pertanyaan yang hanya mengerucut ke destinasi wisata sekitar Malang, Mas Hasfi memberikan referensi tempat wisata yang bisa dibilang jalurnya searah. Dari sekian banyak referensi tempat wisata yang mas Hasfi sebutkan, setelah ngintip-ngintip Google tentang sejarah dan keindahan tempat wisatanya, akhirnya kami fokus ke Alun-alun Malang, museum di Malang, masjid Tuban, air terjun Tumpak Sewu, dan pantai Tiga Warna.

Gunung Arjuno akhirnya kami skip karena setelah menimbang, memikir secara seksama, dan menyimpulkan, ternyata kami ga safety untuk ke gunung.

Belanja indomie kebutuhan trip kali ini


* * *


"Mbak Meta ya?" Seorang lelaki berbadan sedikit berisi, kulit sawo matang, dengan tinggi sekitar 168 cm, usia sekitar 30 tahun tiba-tiba nanya.

"Bukan, Mas. Meta yang itu." Sambil nunjuk cewek yang duduk dekat colokan sebelah kanan.

Meta duduk ngedeprok di dekat colokan sebelah kanan minimarket. Aku setengah membungkuk memegang handphone di dekat colokan sebelah kiri minimarket. Dan si Mas penyewa motor ujuk-ujuk datang nebak bahwa aku adalah Meta.

"Tapi ga apa-apa ke aku aja, Mas. Kami berdua kok yang mau sewa."

Eng ing eng... ga pake lama dan ga pake ngopi, kunci motor Mio GT beralih ke tanganku. Setelah Meta menyerahkan KTP dan KTM (Kartu Mahasiswa), aku dan Meta langsung siap-siap menggunakan jas hujan. Meta memakai jas hujan dari mas penyewaan motor, aku juga memakai jas hujan yang sudah ku siapkan.

Jam 11 tepat kami memulai perjalanan ke Malang. Sesuai petunjuk dari Mas Hasfi, kami hanya perlu luruuuuuusssss terus ngikutin jalan hingga bertemu jalan seperti bundaran kemudian ambil ke arah kanan.

Pekepekepekepekepek ! Suara jas hujan. Hujan memang sudah ga deras lagi, hanya gerimis kecil. jadinya jas hujan plastik 10ribuan ini mulai berisik banget tertiup angin.

Sejam di perjalanan hampir ga ada kendala karena selain petunjuk ke arah Malang juga terlihat jelas, kami juga sesekali bertanya ke sesama pengendara motor sekedar untuk memastikan. 

"Loh, kok jalan di tutup?" Kami sekarang tiba di Sidoarjo, jalan di depan kami di tutup. Sekitar 7 meter di depan kami ada tanda panah, dan petunjuknya mengarahkan kami untuk menggunakan jalur alternatif ke arah kanan.

"Di depan banjir." Sekilas aku mendengar percakapan sesama pengguna jalan.

Baru juga motor jalan pelan-pelan ke kanan, kami melihat beberapa pengguna motor tetap menggunakan jalur yang di tutup.

Dan kami nakal. Kami lewat jalan yang di tutup. Motor kami jalan pelan-pelan.

Baru sekitar 600-700 meter motor kami jalan, di depan kami samar-samar terlihat jalan mulai tertutup air. Jalanan penuh kenangan genangan!

"Gimana nih, Met?" Aku bingung, Meta juga sama.

"Mau balik lagi, Kal?"

Motor tetap jalan pelan-pelan.

"Itu jalan!!!" 

Di sebelah kiri ada jalan tanah bergelombang dan menanjak dengan lebar sekitar 4 hingga 5 meter.

"Jalan yang banjir kan lurus, kayaknya jalan sebelah kiri itu jalan alternatif. Kita lewat situ aja ya!"

"Iya kita coba aja. Hati-hati ya, Kal. Jalannya begini ni ni ni begitu soalnya."

Motor mulai belok kiri, di belakang kami juga ada beberapa pengendara motor yang juga belok kiri. Setelah motor menanjak sekitar 15 meter, kami melihat hamparan lumpur yang sangaaaatttt luas. Lumpur Lapindo!

Sekarang kami yakin bahwa jalur yang kami lalui adalah benar. Di sebelah kiri, kami disajikan hamparan lumpur berwarna cokelat ke abu-abuan bercampur air, dan sebelah kanan kami adalah jalan raya yang tergenang air. Kami melihat beberapa mobil truk yang tergenang hingga ban mobil tersebut tidak terlihat.

Aku meminggirkan motor sebentar, sekedar untuk melihat lumpur lapindo dengan lebih dekat. Meta sudah lebih dulu turun dari motor. Meta memandang jauh, dan lekat-lekat.

Aku mendekat, mengambil handphone kemudian merekam ekspresi muka Meta.

"What do you think?" 

 "I don't know" Meta menjawab. Matanya tetap melihat jauh. Entah apa yang Meta fikirkan, alisnya naik turun.

"Sedih yaa." Aku cuma bisa bilang gitu.

Aku dan Meta terbawa suasana. Berita yang berisi tuntutan, demo, juga kesedihan masyarakat Sidoarjo beberapa tahun ke belakang kembali menjadi jelas di kepala.

Di depanku dan Meta sebelumnya merupakan 16 desa dengan 3 kecamatan di wilayah Sidoarjo, yang kemudian pada Mei 2006 terjadi musibah menyemburnya lumpur di lokasi pengeboran Lapindo.

Semburan lumpur makin meluas hingga menyebabkan tergenangnya kawasan pemukiman, pertanian, serta perindustrian. Jika dilihat dari atas, kawasan lumpur lapindo seperti kolam dengan luas mencapai 640 hektar.

"Kita lanjut yuk, Kal!" Setelah foto sebentar, kami kembali melanjutkan perjalanan ke Malang.

Sepanjang perjalanan kami kembali di guyur hujan. Kami sudah kembali ke jalan aspal. Jika tadi kami tidak nakal dan masuk ke jalan yang ditutup, mungkin kami hanya tau bahwa lumpur lapindo berada di Sidoarjo. Hanya sebatas tahu.

Lumpur Lapindo sejauh mata memandang

* * *


"Mas, numpang tanya. Arah ke Malang yang mana ya?" Tanyaku di lampu merah.

"Oh masih jauh, Mbak. Dari sini Mbak ambil kanan, terus luruuussss ajaa ikuti jalan!"

"Yang ini Mbak jangan lurus. Kalo lurus nanti masuk tol mbaknya!" Ujar mas-nya sedikit kencang. Hujan masih deras, tapi suara mas-nya terdengar jelas.

"Makasih ya, Mas"


* * *


~ Bersambung. Kelanjutannya klik disini ~

Saat Meta dan aku menghabiskan petang di Malang 👯

Rabu, 18 Oktober 2017



Aku masih di kereta kak.
Nanti kalo semua udah ngumpul, tinggal aku doank, aku di tinggal aja.

Gpp kok

Send 

Suara announcer menggema di dalam gerbong menginfokan bahwa Commuter Line memasuki Stasiun Depok. masih ada 4 stasiun lagi menuju Stasiun Bogor dengan jarak masing-masing stasiun yang lumayan berjauhan. Perkiraan masih sekitar 30 menit lagi, tapi aku sudah merasa ga enak sama teman-teman yang lain. Terakhir aku baca di grup WhatsApp Salaka Lovers, sudah ada yang berada di lokasi meeting point (mepo).

30 menit yang terasa begitu lama akhirnya berlalu. Setengah berlari aku keluar stasiun Bogor menuju KFC yang persis berada di seberang stasiun. Setelah melewati Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), dari kejauhan aku melihat salah satu teman dengan kaos merah lengan panjang bertuliskan Mt Ciremai.

"Lah.. katanya kamu ga jadi ikut, Pank?"
"Rencananya gitu kak, tapi di ajak Bang Econ motoran, ya udah gue ikut."
"Terus teman yang lain udah di KFC belum?"
"Ga tau kak, gue belum ke sana (tempat mepo)"

Setelah berlalu dari Opank, tidak jauh dari depan parkiran aku melihat sekumpulan remaja dengan style pendaki sedang duduk di pojok teras KFC dengan carrier yang berserakan di sekitarnya. Itu pasti mereka, pikirku.

Benar saja, di sana sudah ada Kak Atin, Bang Mamat, dan rekan-rekan lain yang belum aku kenal sebelumnya. Setelah berkenalan masing-masing, kami mulai di sibukkan dengan obrolan seputar pendakian. Opank yang tadi bertemu di kaki lima sudah tiba di KFC dan berbaur dengan kami.

Ternyata, kekhawatiran bahwa aku orang terakhir yang tiba tidak benar. Nyatanya masih ada beberapa rekan yang masih berada di perjalanan. Yaahhh setidaknya ini membuatku tidak terlalu menyalahkan diri sendiri, walaupun tetap saja datang ngaret yang ku lakukan bukan suatu yang bisa dibenarkan.

Setelah hampir setengah jam, aku dan Opank memutuskan untuk sarapan di warteg yang tidak jauh dari titik mepo. Setelah selesai sarapan, Aku, Opank, dan Bang Mamat berjalan kaki ke pasar tradisional yang berada sekitar 1 km untuk belanja logistik selama pendakian.

"Mba Kal, nanti rencananya mau masak apa?" Tanya bang Mamat setengah berteriak. Kami sedang berjalan kaki mencari celah kemacetan.

"Sayur sop, sambal jengkol, dan tumis-tumisan Bang." Sahutku dengan setengah berteriak juga. Mobil dan motor di sepanjang jalan berjalan merayap. Trotoar di penuhi pedagang kaki lima. Klakson bersahut-sahutan pertanda tingkat kesabaran masyarakat yang masih kurang. Mungkin mereka terburu-buru, tetapi membunyikan klakson di daerah macet tidak akan berpengaruh apapun pada laju jalan, selain kebisingan.

Waktu menunjukkan Pukul 11.30 WIB. Kami memasuki pasar dan mencari logistik mulai dari bawang, cabe, minyak sayur, sayur sop, hingga buah-buahan. Bang Mamat mulai melakukan tawar menawar menggunakan Bahasa Sunda. Tidak begitu lama 2 bungkus sayur sop, 2 bungkus sayur asem, sedikit cabe, bawang, daun bawang, dan sedikit daun seledri di dapat hanya dengan harga 15ribu saja. Wooowww, harga yang sangat murah menurutku.

Setelah satu persatu kebutuhan di beli, kami segera kembali ke mepo karena rekan-rekan yang sebelumnya masih di perjalanan sudah mulai berkumpul.

***

Angkot yang di dominasi warna hijau berbaur di tengah kemacetan. Bogor selain di kenal sebagai kota hujan, juga terkenal dengan kepadatan lalu lintasnya. Sudah 2 jam kami berada dalam angkot yang di sewa menuju ke Ci Melati. Kami di bagi menjadi 2 angkot. Angkot pertama berisikan Aku, Meta, Ci Yanti, Kak Atin, Bewok, dan Deni. Angkot kedua berisikan Bang Mamat, Haris, Mukhlis, Didi, Goblin, Dian, dan Heru. Kemudian Econ dan Opank mengendarai motor menuju ke tempat yang sama dengan tempat yang akan kami tuju.

Jam sekarang menunjukkan Pukul 14.28 WIB. Perkiraan sekitar 30 menit lagi kami tiba di Villa Abah, titik awal pendakian.


"Bang Deniiii..." suara Meta memenuhi angkot "Nanti abang jalannya jangan jauh-jauh dari akuh yaa, secara abang yang paling banyak beli cemilan." Terlihat Bang Deni mengangguk menahan tawa di balik buff yang dia kenakan. 

"Mending entar abang bareng akuh ajah." Aku juga menimpali "Eeemmmm entar abang mau akuh masakin apah?" Suaraku memenuhi angkot.

"Sama akuh aja bang!" Meta ga mau kalah.

"Baek-baek sama Meta. Pokoknya abang jangan lupa ngucap kalo dekat-dekat Meta!"

Kali ini Bang Deni lepas kontrol. Dia hanya bisa tertawa mendengar suara-suara cempreng kami. Di sampingku Meta terlihat sedikit memanyunkan bibirnya.

"Emang abang yakin ga mau di deketin akuh?" Canda Meta di lanjut dengan simpul senyum. Teman-teman di dalam angkot sudah tertawa dari tadi. Aku cuma bisa tersenyum melihat kelucuan travelmate ku ini, tidak pernah berubah, selalu lucu dan menyenangkan.

Sepanjang perjalanan kami berisik perihal apa saja. Ada banyak hal-hal tidak penting yang kami bahas sekedar mengisi waktu di dalam angkot.

Tidak terasa kami sudah memasuki jalan cor beton menanjak yang hanya cukup dilalui 1 mobil. Sebelah kanan terlihat Tempat Pemakaman Umum, lalu di sebelah kiri peternakan ayam dengan aroma khas ayam yang menunjukkan bahwa kami akan segera tiba di Villa Abah.

***


"Sis.." panggil ku ke Meta yang sedang menatap pemandangan kota Bogor. Meta yang menyadari aku sedang merekam video langsung mengeluarkan senyum manisnya.

"Haiiii... for the first time, I wanna try.. Salak Mountain.." ucap Meta sumringah seraya tangannya menunjuk ke arah belakang, tempat yang nanti akan kami daki. Refleks tanganku membaca alur tangannya Meta, dan merekam pemandangan Gunung Salak di belakang yang terlihat setengah berkabut.


Jumat, 13 Oktober 2017

"Bangun.. sahur..!!"
"Bangun bangun.."
"Bangun udah jam 3.."
"Bangun.. sahur.."

Suara ini bukan dari jalan kompleks, gang sempit, ataupun broadcast. Tapi teriakan dari Pos 3 Gunung Sindoro.

Tidur malam ini sangat nyenyak, dingin juga tidak terlalu menjamah. Suara yang awalnya terdengar samar-samar sudah semakin jelas, di luar tenda sudah ada beberapa yang bangun. Tadi ada yang menepuk tenda kami, perlahan menyuruh bangun mengingatkan waktunya sahur. Oh iyaa, saat ini aku sedang mengikuti Trip ke Gunung Sindoro bersama rekan-rekan komunitas Backpacker Jakarta.

Kembali lagi ke cerita, setelah sekitar 5 menit di dalam tenda menyesuaikan dingin karena melepas sleeping bag, aku kemudian keluar tenda untuk ikut membangunkan rekan-rekan yang lain.

Bang Ipay dan Bang Ucup sudah berurusan dengan logistik. Ada yang sibuk mengeluarkan matras dari dalam tenda untuk alas sahur, kemudian mengalasinya lagi dengan kertas nasi. Ada yang menyeduh air panas, ada juga beberapa lelaki berdiri berbagi rokok sekedar mengusir dingin. Tidak menunggu lama, kami semua sudah berkumpul untuk sahur bersama.

Minggu, Sekira Pukul 05.00 WIB

"Jalurnya benar ga sih?"
"Iya kok jalurnya kayak sempit banget?"
"Ini kayak jalur babi deh"
"Udah.. ini jalurnya benar kok" 

Jalur hanya cukup buat 1 orang dengan kiri kanan ilalang. Sudah sekitar 1 jam kami menanjak beriringan, saling mengingatkan untuk berhati-hati. Langit masih gelap, headlamp di kepalaku sudah sedikit remang, tetapi masih cukup jelas untuk melihat jalur.

Tidak berapa lama kami bertemu jalur berbatu. Sebagian dari kami langsung break untuk meluruskan kaki dan mengatur nafas. Menanjak saat berpuasa memang lebih susah. Aku mengatur langkah kaki sudah dari Pos 3, membuatnya seirama mungkin menghindari hentakan-hentakan tak berarti. Matahari belum kelihatan, satu persatu kami mulai melanjutkan summit. Aku menanjak sedikit demi sedikit, melewati batu demi batu. 

Pemandangan di punggung kami sepanjang jalur sangaaattt indah, tidak berapa lama langit yang awalnya hitam mulai berubah kemerahan. Matahari mengintip sedikit demi sedikit. Aku, Ipay, dan Angel yang saat itu berjalan beriringan langsung berhenti dan menikmati pemandangan. Setelah puas di hipnotis merahnya langit, aku dan Angel menyempatkan diri untuk foto-foto, sedangkan Ipay melanjutkan perjalanan.


Minggu, Sekira Pukul 07.45 WIB

Jalur sangat terbuka. Di ujung sana rekan-rekan sudah hampir tiba di puncak. Tenggorokan sudah kering meminta istirahat. Niatku untuk mempertahankan puasa masih kuat, hanya sedikit istirahat rasanya cukup untuk memulihkan tenaga.

Setelah melewati jalur sedikit demi sedikit, aku tiba di puncak. Yeaayyyyyyy, finally lelahku terbayarkan. Plang merah bertuliskan 3153 Mdpl sudah di depan mata. Pemandangan sangat terbuka 360°. Terlihat Gunung Sumbing yang begitu perkasa, kemudian terlihat awan berarak serupa lautan, langit juga sangat cantik berwarna biru. Di puncak sudah ada sekitar 10 rekan sependakian, sedangkan sisanya masih di jalur menuju puncak.

Setelah beristirahat sebentar, kami berfoto bersama walaupun team belum lengkap. Satu persatu rekan memang mulai tiba di puncak. Dari puncak teriakan penyemangat di ucapkan bergantian untuk memotivasi rekan yang masih di jalur. 


Minggu, Sekira Pukul 09.30 WIB

Beberapa dari kami mulai turun dari puncak. Aku, Angel, dan Bang Agus Mulyono berjalan beriringan. Jalur turun memang lebih cepat. Jalur juga sangat jelas, sepanjang turun kami nyatanya tidak melalui jalur babi ataupun jalur ilalang yang aku dan Angel sempat lewati. Sekitar 1 jam perjalanan, kami tiba di Pos 3.


Kerongkonganku sudah kering, matahari sudah perlahan naik, tetapi Pos 3 dan sekumpulan tenda membuat semangatku kembali. Farras yang sudah tiba di Pos 3 lebih dulu berbaik hati menawarkan hammock yang sudah di pasang tidak jauh dari tenda. Dan benar saja, tempatnya teduh dengan view Gunung Sumbing yang bersih tanpa awan. 

Di Pos 3 masih terbilang sepi bahkan sudah ada beberapa yang tidur di tenda. Rekan yang lain kebanyakan masih di atas. Karena masih banyak waktu, aku memilih untuk tidur di hammock di temani Joox yang di putar pada mode offline.


Minggu, Sekira Pukul 13.30 WIB

Aku, Ipay, Angel, dan Farras berjalan beriringan. Jalur yang kami lewati sudah tanah dengan kiri kanan pepohonan dan rumput liar, bukan lagi bebatuan. Langit cerah seharian ini. Kami barusan melewati jalur serupa lorong pertanda sebentar lagi tiba di tempat ojek gunung Pos 1.

Ojek gunung sangat berguna saat ini, mengingat efisiensi waktu dan tenaga di bulan puasa harus tetap di pertimbangkan. Kerongkongan memang sudah kering dari tadi, untung saja jalur menurun yang belum ku lewati berupa jalur tanah yang sudah terbuka lebar, membuat perjalanan menjadi lebih ringan.

Langkah demi langkah di lewati, jalur tanah semakin terbuka lebar hampir 3 meter. 100 meter di bawah sana beberapa motor sudah mengantri siap mengangkut kami turun. Tidak butuh waktu lama karena 15 menit ke depan kami sudah tiba di basecamp.

Minggu, Sekira Pukul 15.10 WIB

Bus yang kami tumpangi bergerak keluar basecamp. Alhamdulillah semua rekan pendakian tiba di bawah dengan selamat.

Aku dan beberapa rekan yang masih puasa sudah membeli bekal di basecamp untuk berbuka di bus.

Sebagian rekan asik bercanda di bus, saling melempar banyolan, dan membahas perjalanan masing-masing.



Sabtu, 07 Oktober 2017

"Kal, ke Pari yuk.."

Ajakan itu datang tiba-tiba dari Bang Yusuf (baca : Ucup), teman traveling yang sebelumnya sudah beberapa kali ngetrip bareng.

Pembahasan ke pantai memang sudah beberapa kali di obrolin di salah satu grup trip WhatsApp, tapi wacana tinggal wacana. Belakangan aku sempat berfikir bahwa wacana adalah salah satu teknik meramaikan grup tanpa memikirkan tuna wisata yang betul-betul butuh liburan. Ga lucu tapi boleh ketawa

Dan ajakan mantai blesss, berlalu gitu aja.

Kamis, 04 Mei

"Pagi Kal, ikut ke pulau ga?"

Tekadku mulai diragukan. Aku mulai goyah tanpa penopang serupa dia. Iyaa dia yang ninggalin aku saat lagi sayang-sayangnya. lah... kurang fokus ni bocah

Akhirnya ku iyain tuh ajakan. Aku juga emang belum pernah ke Pulau Pari, so ga ada salahnya kalo aku ikut mantai weekend ini. Lagian juga helloo siapa aku yee kan? Mau aku ikut atau ga ikut sekalipun ga akan ngaruh ke jenis kapal yang akan di naikin. Tetap aja kapalnya meniti kubik-kubik air. Bukan mentang aku ikut, jadinya pake jet pribadi yang sudah tiba di Pulau Pari sebelum kutek di kuku kering. Elah jujur amat. 

Intinya adalah : mau aku ikut ataupun ga ikut, ga akan ngaruh ke rekan-rekan yang lain. #merendahmaksimal

Perihal niat awal yang ga mau kemana-mana sampe habis lebaran? I think itu bisa ku pikir-pikir ulang. :v

Karena Bang Ucup udah sering ke Pulau Pari, jadilah aku sang pengintil yang ga lagi ribet kepo-kepoin Google untuk sekedar tanya start penyeberangannya dari dermaga mana, biaya, estimasi waktu, hingga opsi perjalanan dari Tanjung Barat ke dermaga.

"Kal, hari Sabtu abang jemput jam 3 pagi ya" muncul notif di layar handphone. Ada pesan Whatsapp dari Bang Ucup

"Jam 3 pagi bang?" Busyet pagi banget hahahaha "Emang kapal berangkat jam berapa?"

"Berangkat jam 7 sih. Tapi kita mesti ke pasar dulu beli keperluan selama di pulau."



Sabtu, 06 Mei

Rencana berangkat jam 3 pagi justru ngaret jadi jam 03.45 WIB. Yaaaa sebenernya masih jam 3 sih hehehee. Ngeles

Semalaman aku emang ga bisa tidur. Hingga jam 1 pun mataku masih ga mau merem. Akhirnya setelah mukaku di tutup bantal, perlahan aku mulai tidur, lumayan tidur 1,5 jam untuk memberi jeda tubuh istirahat setelah lelah seharian bekerja. Untungnya Bang Ucup juga jemput jam 03.45 WIB jadi aku masih punya waktu untuk sekedar mandi. Mandi jam 3 cuy, kamu bisa bayangin donk dinginnya gimana? :v Ga usah berlebihan bayanginnya bisa? faktanya aku mandi pake air hangat. Hahahahaa

Kami naik motor arah Pasar Minggu sekalian belanja kebutuhan di pulau. Di Pasar Minggu sebenernya hanya belanja sayuran, soalnya kebutuhan lainnya sudah disiapkan Bang Ucup dari malam. Jadi emang kebiasaan selama ngetrip dengan Bang Ucup adalah tetap makan makanan sehat, dan menghindari mie instan.

Ga jauh dari pedagang sayuran yang memenuhi jalan saat subuh, kami juga janji bertemu dengan Om Bintar untuk berangkat bareng ke pelabuhan Kaliadem.



Jalanan Jakarta sepagi ini masih teramat sepi. Aku menikmati suasana ini, memandang gedung tinggi di pagi hari. Bias-bias merah memantul di balik menara. Carrier yang ku gendong memang sedikit merepotkan, aku merasakan carrier berdiri miring di motor. Saat ku upayakan supaya tidak miring, itu artinya beban carrier sepenuhnya di punggung dan pundakku karena aku harus menggendongnya tanpa menempel di jok motor. 

Lupakan masalahku dengan carrier. Aku kembali memandang sekitar, langit yang indah dan udara bersih yang amat berbanding terbalik saat siang terlalu sayang untuk dilewatkan.

Perjalanan tidak memakan waktu lama, Aroma khas laut yang teramat kuat beradu oksigen beradu amis mulai menjamah hidung dengan kasar, pertanda bahwa kami sudah hampir tiba di pelabuhan. Karena jalanan yang lancar membuat kami sudah tiba di pelabuhan jam 6 kurang. Kami memutuskan memarkir motor di dekat pintu masuk dermaga.

Kapal jalan jam 8, sekarang jam 6 kurang, dan aku lapar.

"Kal, sarapan dulu gih."

"Iya, Bang." Aku nurut, itupun setelah nyicip bubur ayam yang dibeli Bang Ucup rasanya enak.

Sambil menunggu rekan yang lain, kami sarapan bubur ayam aroma ikan. Iyaaa aroma ikann, kan di pelabuhan. HeuHeuHeu


~Bersambung ~


Follow Kal di @kalenaefris