Selasa, 31 Juli 2018

Curug Cikuluwung emang lagi famous sih belakangan ini. Di explore instagram, postingan teman, hingga beberapa akun komunitas traveling silih berganti memposting keeksotisan yang membuat aku jadi makin penasaran sama curug ini.

Rejeki bertepuk dua tangan. Ulut ngejapri ngajakin odt-an (one day trip) ke Curug Cikuluwung. Kondisinya itu udah kayak orang yang lagi ngiler pengen es tong-tong, ehh di depan kontrakan ada suara gong tong-tong gituu. (Disini ada yang tau es tong-tong ga ya? Kayaknya aku salah kasih perumpamaan deh. HeuHeuHeu)

Aku yang nyatanya ngangenin gampangan ini langsung aja mengiyakan ajakan tersebut. Ga pake waktu lama, aku langsung terhempas ke grup yang isinya orang-orang yang mau ke Curug Cikuluwung.

Oemji ternyata yang mau ikut banyak juga wkwk. Yaaa walau dipikir-pikir emang wajar juga sih, lah wong sharecostnya aja cuma Rp.80.000 udah termasuk sewa angkot dari Stasiun Bogor ke lokasi PP, tiket masuk 2 curug, dan biaya parkir. Wagelaseh itu murah banget yee kan?


***

Jam 08.10 WIB aku udah di Stasiun Bogor, bertemu teman-teman yang lain, berkenalan dengan beberapa orang karena ada sebagian yang belum kenal, kemudian sarapan bareng sambil nunggu personil yang masih di kereta.

Aku sebenarnya lagi off naik gunung, off ngetrip, off olahraga, jadii ngerasa kalo fisik lagi bener-bener ga bagus. Naik tangga JPO ke kantor aja engapnya naudzubillah. Aku ngebayangin kalo Curug Cikuluwung itu berada di hutan entah barantah yang kudu trekking, sedangkan kondisi fisik lagi letoy se letoy-letoynya. Alhasil aku bawa trekking pole lipat, terus aku masukin ke daypack yang aku pake.

"Hah, serius kamu bawa trekpol?"
"Lah iyaaa, takut ga kuat aja."
"Ihh, orang curugnya ga jauh kok!"

Karena aku tetap mau ambil aman, apalagi ga ada dia yang bisa nyemangatin aku saat lagi capek, aku mutusin untuk tetap bawa trekpol.

Itin yang sudah dirilis berubah jadwal. Dari rencana awal jalan jam 8 pagi, akhirnya kami jalan jam 9 pagi karena ada teman yang jalannya dari planet lain, kudu melintasi Jakarta dulu, baru memasuki kota hujan ini.

Ohh iya, di perjalanan ini kami menggunakan angkotnya Ulut. Sebelumnya memang sudah biasa menyewa angkotnya doi sih, seperti perjalananku saat camping di Suaka Elang Loji beberapa waktu lalu.

Alasan menggunakan angkot Ulut selain karena menggunakan angkot cenderung lebih murah, juga karena Ulut mengetahui berbagai lokasi wisata hingga ke pojok-pojok Bogor. Buktinya saja aku bisa explore Cikuluwung hanya dengan sharecost 80ribu. Gilaaa anak kost mah tau banget yang mana trip hemat kantong. HeuHeuHeu lagi.


***

Dua angkot beriringan melaju meninggalkan Stasiun Bogor menuju Kampung Suka Asih, Desa Cibitung Wetan, Kecamatan Pamijahan, Bogor. Curug Cikuluwung ini berada tidak jauh dari rumah-rumah warga. Setelah angkot yang kami tumpangi tiba di parkiran, kami turun dan berjalan kaki melewati rumah-rumah warga hingga akhirnya kami melihat gerbang selamat datang di Curug Cikuluwung 1.

Walaupun melewati gang-gang rumah warga, tetapi petunjuknya jelas, warganya juga ramah-ramah. Jalur yang berupa jalanan datar membuat trekpolku ga berfungsi disini. Bahkan hingga pulang, trekpol justru enggak aku gunain sama sekali. Kok yaa aku jadi nyesel bawanya, ngeberat-beratin tas aja wkwk.

Kami tiba di gerbang selamat datang saat waktu sudah hampir mendekati Dzuhur. Yaudah akhirnya kami memutuskan untuk ishoma terlebih dahulu. Di sekitar loket curug terdapat gazebo-gazebo untuk beristirahat, juga warung dengan berbagai pilihan makanan.

Karena makan tidak termasuk dalam sharecost, aku dan Wiwit memutuskan untuk membeli makan siang disini. Awalnya aku mikir harganya akan mahal. Secaraaa... ini daerah wisata yang lagi famous gituu kannn. Ehh ternyata enggak cuy. Harganya masih sesuai dompet.

Setelah selesai ishoma, kami mulai meniti menuruni anak tangga menuju Curug Cikuluwung 1. Biaya tiket yaitu Rp.10.000/orang, ini sudah termasuk sharecost. Sebenarnya dari gerbang pembelian tiket menuju curug tidak jauh, hanya turun tangga saja. Karena tangganya tinggi dan lumayan licin, jadi kami memang harus berhati-hati. Untungnya ada pengelola curug yang berjaga-jaga, memastikan kami ga terpeleset atau terjatuh.

"Curugnya bagusss." Itu penilaianku saat pertama memijakkan kaki ke bebatuan curug. Bebatuan besar nan eksotis semakin mempercantik keindahan curug. Air terjun dengan tinggi sekitar 10 meter jatuh ke kolam alami yang biasa warga sekitar sebut leuwi, airnya yang jernih bener-bener nyegerin mata.

Pesona Curug Cikuluwung 1
Sumber foto : akun ig @dede_ulut

Kemudian bebatuan tinggi seolah membelah serupa cekungan, dan kamiii berada di antara dua bebatuan besar yang cantik. Bebatuan tersebut bersusun dari pangkal air terjun memanjang hingga berpuluh-puluh meter ke belakang menjadi pelengkap kecantikan Curug Cikuluwung 1.

Sayangnya (dikit-dikit pake sayang eaaa), leuwi yang berada persis di bawah air terjun ini tidak boleh digunakan untuk berenang karena cerita masyarakat yang beredar. Cerita ini aku tahu dari Pak Musa, warga yang juga menjadi pengurus curug. Di saat makan siang di warung tadi, aku berkenalan dengan beliau, kemudian sempat mengobrol dan mencari tahu berbagai informasi tentang curug ini.

"Disini pernah ada warga yang bernama Pak Idas. Ia ingin masuk ke gua yang berada di balik curug. Saat akan masuk ke dalam gua, Pak Idas justru terjatuh ke leuwi di bawahnya, kemudian meninggal dunia. Hal ini juga yang menjadi alasan beberapa orang menyebut curug ini dengan nama Curug Idas."

Selain karena alasan bahwa kolam air tersebut dalam dan memiliki pusaran air yang berbahaya, kejadian itu juga menjadi salah satu alasan supaya pengunjung tidak berenang di leuwi yang berada persis di bawah air terjun.

Untung saja leuwinya ga cuma satu. Air terjun mengalir ke sela-sela batu, kemudian berkumpul di leuwi selanjutnya. Nah di leuwi selanjutnya ini pengunjung boleh mandi tanpa khawatir, karena ada pengelola curug yang mengawasi dan siap sedia membantu para pengunjung.

Di leuwi ini kita bisa berenang tanpa khawatir,
karena tetap dalam pengawasan pengelola curug.
Sumber foto : akun ig @tommy_pramuditya


***

Sayang sekali kami tiba saat sudah siang, dimana pengunjung sudah banyak berdatangan. Mungkin lain kali kami akan kesini lebih pagi, supaya bisa leluasa berfoto tanpa ada cendol di background. Apalagi aku yang ga terlalu pede foto, tambah merasa kesulitan mencari gaya berfoto di tengah kepadatan pengunjung.

Setelah puas foto dan menikmati keindahan Curug Cikuluwung 1, team memutuskan untuk naik dan beralih ke curug satunya. Tempat pembelian tiket masuk Curug Cikuluwung 2 berada sekitar 20 meter sebelah kiri dari Gerbang Curug Cikuluwung 1. Harga tiket masuknya juga Rp.10.000/orang, dan ini juga sudah termasuk ke dalam sharecost.

Pesona Curug Cikuluwung 2
Sumber foto : akun ig @dede_ulut

Disini aku dan Wiwit memutuskan tidak ikut ke Curug Cikuluwung 2. Tadi saat makan siang, selain menceritakan tentang curug, Pak Musa juga menceritakan tentang banyak hal terkait Cikuluwung. Kami yang terlanjur penasaran dengan arti kata "Cikuluwung" ini akhirnya mencari tahu.

Saat team sedang trekking menuju Curug Cikuluwung 2, aku dan Wiwit menuju bendungan yang menjadi hulu dari sumber air terjun yang tadi kami gunakan untuk mandi atau sekedar main air. Bendungan tersebut tidak jauh dari tempat kami memarkirkan angkot. Jalurnya juga sudah berupa tangga semen, dan terlihat jelas.

Menyusuri anak tangga hingga ke bawah, kami tiba di tanah milik PLN, Sub unit PLTA Kracak. Disana aliran sungai dibendung lalu dibagi menjadi 2 aliran. Aliran pertama mengarah ke Curug Cikuluwung 1 dan 2 yang kami kunjungi. Wajar saja debit air curug tidak terlalu besar, ternyata itu karena adanya bendungan di hulu curug.

Aliran kedua mengarah ke sisi lain curug, melalui aliran air buatan, atau yang biasa warga sebut kuluwung. Panjang kuluwung dari bendungan yang kami lihat hingga ujung kuluwung di hilir sana sekitar 300 meter.

Kuluwung berada pada kedalaman 30 meter di bawah tanah, dengan diameter sekitar 2,5 meter. Kuluwung berakhir di basengkom atau penampungan di hilir. Sayang sekali kami tidak sempat melihat basengkom yang dimaksud.

"Ci dalam bahasa Sunda berarti air, sedangkan Kuluwung merupakan saluran air besar yang dibuat pada zaman penjajahan. Yang membuat tentunya adalah warga pribumi atas perintah penjajah." Itu kesimpulan dari obrolanku dengan Pak Musa.


***

Karena khawatir kelamaan, aku dan Wiwit memutuskan kembali ke parkiran. Ternyata teman-teman belum ada yang nongol.

"Mereka masih ada di curug bawah, Mbak." Kata pengunjung lain saat aku menanyakan keberadaan team kami. Curug bawah yang dimaksud adalah Curug Cikuluwung 2, bagian hilir Curug Cikuluwung 1.

Karena mereka masih di bawah, aku dan Wiwit akhirnya menghabiskan waktu mengobrol bersama Pak Musa di teras rumah yang tidak jauh dari parkiran.

"Tadi di perjalanan turun ke curug (Cikuluwung 1), mbak lihat ada toilet ga?" Tanya Pak Musa

Aku dan Wiwit mengingat-ingat, sebelum akhirnya ngeh "Iya ingat Pak. Yang di sebelah kiri sebelum turun tangga."

Beliau mengangguk mengiyakan. "Dulu, tempat yang sekarang dijadikan toilet di tangga curug adalah jembatan menuju seberang curug."

"Ohh berarti di seberang curug itu ada perkampungan, Pak?" Aku penasaran, karena tadi aku tidak melihat tanda-tanda kehidupan di seberang curug. Yang aku lihat hanyalah kerapatan hutan.

"Di seberang curug sana adalah perkampungan, juga sekolah. Saat itu warga sini yang sekolah di seberang melewati jembatan untuk menuju sekolah."

"Sekitar 70 tahun yang lalu, persis tanggal 17 Agustus, serombongan anak sekolah yang akan mengadakan upacara 17-an melintasi jembatan tersebut jatuh ke bawah. Dari semua korban yang jatuh, hanya 3 orang yang selamat, selebihnya meninggal dunia. Salah satu korban yang selamat adalah bibi saya." Ucap Pak Musa melanjutkan ceritanya.


***

Menjelang jam 4 sore, team kami sedikit demi sedikit sudah berkumpul di angkot yang kami gunakan. Aku dan Wiwit yang menyadari kedatangan teman-teman kami pun akhirnya pamit ke Pak Musa untuk kembali bergabung bersama team, dan bersiap-siap pulang.


Sumber foto : dokumen pribadi



Minggu, 15 Juli 2018

Hidup penuh dengan kejutan bukan?

Rasanya... baru kemarin kita berada di suatu daerah yang tenang dengan bebek-bebek bebas berenang, lalu esoknya kita terhempas di sebuah kota yang hiruk-pikuk. Sepertinya baru kemarin kita menjadi anak kecil yang terbata-bata menyebut kata ayah ataupun ibu, lalu sekarang menjadi orang yang bisa mengucapkan banyak kalimat dengan terburu-buru. Rasanya... baru kemarin kita melakukan banyak hal, dan waktu terus berlalu hingga semuanya berlari menjadi masa lalu.

Di sebuah kedai kopi, menatap jalanan Tb Simatupang yang selalu ramai lalu-lalang kendaraan, juga ditemani lagu Maroon 5 hingga lagu Andra & The Backbone, aku ingin mengajakmu ke masa aku kecil. Cerita sederhana ini dimulai antara Tahun 1998 hingga 2002 (Jujur aku tidak bisa mengingat jelas tahun berapa. Aku hanya mengingat bahwa cerita ini terbentuk saat aku masih SD), melanjutkan episode kenangan kecil tentang sungai yang sudah ku ceritakan di tulisanku sebelumnya.

Anggap saja cerita sederhana ini aku tulis untuk menemanimu minum kopi atau dongeng pengantar tidurmu malam ini.


Kemarau

Siang saat itu teramat terik. Musim kemarau di kampungku membuat sawah kekurangan air. Jalanan lebih mudah berdebu. Di musim kemarau seperti itu biasanya anak-anak lebih suka menghabiskan waktu di sungai. Selain air yang sangat jernih, sungai juga menjadi lebih dangkal.

Aku dan teman-teman akan berjalan ke arah hulu sungai hingga pangkalan Perantuan. Pangkalan Perantuan adalah pangkalan mandi yang dekat dengan pemakaman umum kampung, juga dekat dengan satu-satunya sekolah di kampungku. Di pangkalan itu ada pohon kemiri tua yang dahannya meneduhkan jalan setapak saat siang, tetapi mencekam saat malam. 

Jika sudah tiba di Pangkalan Perantuan, kami akan berjalan meniti ke tengah sungai. Kemudian berhanyut-hanyutan melewati kebun kopi, rumpun bambu kuning, pohon ara besar, melewati pangkalan depan rumah dan terus berhanyut-hanyutan jauh hingga ke pangkalan Dayat.

Dayat adalah salah satu teman masa kecilku. Dulu pangkalan Dayat merupakan batas kami berhanyut-hanyutan. Aku tidak mau berhanyut-hanyutan melewati pangkalan Dayat. Selain karena sudah terlalu jauh yang lebih dari 2 km, juga karena arusnya sudah terlalu deras untuk anak-anak kecil seumuranku.


Belajar Memanjat

Selain bermain di sungai, panasnya hari saat kemarau membuat dogan (orang-orang di kampungku menyebut kelapa muda dengan sebutan dogan. Di Jakarta lebih sering disebut "degan") terlihat sangat menyegarkan. Biasanya setiap minggu akas (Di suku Daya Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Akas dan Ajong adalah sebutan untuk kakek) memanjat pohon kelapa. Kelapa-kelapa yang sudah tua dikupas kulitnya kemudian dijual. Tidak semua kelapa tua dijual, sebagian buah kelapa diolah menjadi minyak kelapa yang digunakan untuk keperluan memasak sehari-hari.

Saat memanjat kelapa, biasanya akas juga menjatuhkan beberapa buah dogan untuk di nikmati bersama-sama. Aku sangat menyukai dogan pemberian dari akas. Airnya manis walaupun tanpa gula ataupun susu, dan ketebalan dagingnya juga pas. Akas sepertinya ahli dalam memilih dogan.

Biasanya setelah akas memanjat kelapa dan menjatuhkan hasil panennya, aku dan adikku akan membantunya membawa kelapa-kelapa tersebut ke halaman rumah untuk dikupas. Aku terkadang membantu mengupas kelapa, dari yang awalnya menghabiskan setengah jam untuk mengupas satu buah kelapa, hingga hanya membutuhkan sekitar 5 menit untuk membuat rambut kelapa menjadi plontos.

Sayangnya akas tidak setiap hari memanjat kelapa, dan persediaan dogan tidak selalu ada. Belakangan aku baru tahu jika akas tidak sering-sering mengambil dogan karena ingin menjadikan kelapanya tua. Hanya saja, saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti. Yang aku fikirkan hanyalah keinginanku untuk menikmati dogan yang segar. Keinginan itulah yang menyebabkanku akhirnya nekat memanjat kelapa.

Memanjat kelapa itu sangaaattt susah. Jauh lebih susah dibandingkan memanjat pohon duku, sawo, atau manggis sekitar rumah. Jika pohon-pohon lain memiliki banyak dahan yang bisa dijadikan tumpuan tangan maupun kaki, pohon kelapa tidak memiliki cabang. Jika di pohon-pohon lain aku bisa beristirahat dengan menyandarkan tubuh di dahan, aku tidak bisa melakukannya di pohon kelapa.

Pohon kelapa di kampungku biasanya memiliki lubang kecil di sisi kiri dan kanan pohon. Kedalaman lubang hanya 3 cm hingga 5 cm. Mana cukup untuk menopang kaki. Jarak antara lubang satu dan lubang di atasnya adalah sekitar 1 meter. Saat itu usiaku belum cukup 10 tahun, kakiku masih terlalu susah untuk menjangkau lubang satu ke lubang lainnya.

Di percobaan-percobaan pertama, aku hanya bisa naik seperempat dari tinggi pohon kelapa. Tubuhku belum terlalu besar untuk bisa memeluk pohon kelapa secara utuh.

Saat kecil adalah masa-masa tanpa pikir panjang. Asalkan itu menyenangkan, maka aku lakukan. Permasalahannya semua hal terasa menyenangkan, termasuk memanjat pohon kelapa. Aku hanya ingin bisa minum dogan sesuka hati tanpa menunggu akas memanjatnya.

Pernah suatu waktu aku menangis karena ingin dogan, tetapi akas sedang ke kebun. Tidak ada yang bisa memanjat dogan, termasuk ayah. Bahkan hingga aku dewasa, belum pernah kulihat ayah memanjat pohon kelapa. Aku menangis hingga sesenggukan. Jika sudah begitu, umak lah (Umak adalah panggilanku untuk nenek. Sebenarnya di Suku Daya, nenek biasa disebut Maju atau Mbay) yang akan sibuk menenangkanku.


Proses

Bulan berganti tahun, dari yang awalnya hanya sanggup memanjat seperempat pohon, akhirnya aku bisa memanjat setengah dari seluruh ketinggian pohon. Kakiku sudah kuat, sudah terbiasa menahan tubuh untuk berdiri lama di pohon. Tapi aku punya masalah baru, takut ketinggian. Aku takut jika terjatuh dari pohon kelapa yang tinggi itu.

Karena ketakutan tersebut, aku dan adikku menggunakan buluh bambu yang panjang. Ujung buluh bambu di belah dua sepanjang 10 cm. Di antara belahan akan di letakkan ranting kecil supaya ujung bambu menganga. Ujung bambu yang menganga itu berguna untuk menjepit tangkai buah lalu memilinnya hingga buahnya terjatuh.

Bukan hal sulit jika buah tersebut memiliki tangkai yang kecil seperti duku, sawo, ataupun manggis. Hanya dengan dipilin sedikit, maka buah akan langsung rontok dari tangkai. Tetapi dogan? Tangkainya besar dan serat tangkainya kuat. Aku kesulitan untuk meremukkan tangkainya.

Aku bekerjasama dengan adikku. Aku memanjat hingga setengah dari ketinggian pohon kelapa. Kemudian dari bawah, adikku menjulurkan buluh bambu yang ujungnya buluhnya sudah menganga. Untuk selanjutnya aku berjuang memasukkan tungkai dogan diantara buluh. Tangan kanan berusaha memegang buluh, tangan kiri memeluk pohon.

Jika tangkai buah sudah berhasil di jepit oleh buluh bambu, aku akan memutar-mutarkan buluh hingga tangkai menjadi remuk dan akhirnya dogan jatuh ke tanah atau kubangan sawah. Aku biasanya berusaha untuk menjatuhkan dogan di kubangan sawah, karena kontur tanah sawah yang lebih lembek jika dibandingkan dengan tanah di daratan, membuat dogan jatuh tanpa harus pecah.

Aku dan adikku melakukan itu secara bergantian. Terkadang aku yang memanjat, terkadang adikku. Jika adikku yang memanjat, tugasku adalah menjulurkan bambu dan mengambil dogan dari kubangan sawah.


Bisa karena Biasa

Semakin lama aku dan adikku semakin terbiasa. Jika sebelumnya menggunakan bambu untuk mendapatkan hanya satu atau dua buah dogan, kali ini aku bisa mendapatkan dogan sebanyak yang aku inginkan. Tidak ada lagi aku yang beraninya memanjat hanya setengah dari ketinggian kelapa, aku bahkan bisa menjatuhkan kelapa tanpa alat bantu.

Aku memanjat tanpa kendala hingga ujung pohon, kemudian memilin tangkai dogan hingga remuk. Jika tangkai dogan sudah remuk, hanya dengan menariknya, dogan akan jatuh ke tanah. Jika aku tidak ingin dogan jatuh ke tanah, sebelum jatuh, aku akan memegang lalu melempar dogan ke arah sawah.

Sejak itu, keluargaku tahu aku bisa memanjat kelapa. Mereka yang awalnya melarangku karena takut aku jatuh, akhirnya hanya bisa pasrah. Terlebih saat aku membawa beberapa dogan ke rumah, antara cemas dan bangga ibu menerimanya. Cemas karena takut anaknya kenapa-kenapa, juga bangga karena diantara sekian banyak laki-laki yang tidak bisa memanjat bahkan seperempat saja dari ketinggian pohon kelapa, anak wanita satu-satunya justru bisa mengambil kelapa dengan tangan kosong. 

Tetapi, diluar dari itu, ada kebahagiaan besar dari ibu, yaitu kakiku yang sebelumnya tidak bisa berjalan hingga berumur 4 tahun justru bisa memanjat kelapa tanpa kendala. Aku yang memiliki history kaki lemah justru membuktikan ke ibu bahwa aku bisa jika aku mau berusaha. Ini baru aku ketahui saat aku dewasa, di sela-sela obrolan santai aku dan ibu.


Seperti Pisau, Jika Tidak Diasah Akan Tumpul

Sekarang aku ajak kamu melompat ke Tahun 2013 - sekarang dimana usiaku bukan kanak-kanak lagi.

Belakangan ini jika aku pulang ke kampung, Maju Nuri (saudara / adik kandung akas) biasanya akan memintaku untuk mengambil dogan. Sudah lama tidak makan dogan katanya. Atau jika aku sedang rindu kampung dan suasana kecil, aku akan melakukan hal-hal yang menjadi kenangan kecil tersebut. Salah satunya mengambil dogan lalu menikmatinya di pondok sawah atau di tepian sungai.

Kemudian saat melewati pematang sawah menuju ke salah satu pohon kelapa, akan ada ibu-ibu atau bapak-bapak yang menyapaku.

"Mau manjat dogan, Kalena?"

Yapp, mereka sudah mengetahui jika aku bisa memanjat. Dulu mereka sering melihat sendiri saat aku memilin dan menjatuhkan dogan dengan mudah. Sayangnya, keahlianku sekarang tidak bisa lagi disamakan dengan saat dulu.

Dulu aku melakukannya hampir setiap minggu, hingga cengkraman tanganku kuat, hingga pijakan kakiku mantap. Dulu aku memanjat dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa kesulitan. Dulu aku bisa memilih dogan yang airnya manis, berdaging tebal dan lembut seperti pilihan akas.

Sekarang telapak kakiku lebih cepat sakit, tubuhku lebih cepat lelah, dan lebih sering beristirahat. Baru seperempat ketinggian pohon kelapa sudah istirahat, kemudian setengan pohon istirahat lagi. Belum lagi telapak kaki yang semakin memerah karena menahan tubuh terlalu lama.

Jika dulu aku bisa berada lama di atas pohon kelapa dan menjatuhkan dogan sesuai keinginan, sekarang aku hanya menjatuhkan dogan semampuku saja.


Menjadi Tua itu Pasti

Iya... menjadi tua itu pasti, aku rasa kamu juga setuju dengan istilah ini. Berbagai hal remeh maupun besar pernah menetap lalu pergi, namun tidak semuanya layak dilupakan. Itulah sebagian kenangan kecil yang kali ini ku ceritakan kepadamu. Mungkin nanti aku akan menceritakan kenangan-kenangan lainnya.

By the way guys, kopiku sudah habis nih, sudah larut malam juga. Sampai jumpa di ceritaku selanjutnya yaaa! Semoga saja kamu tidak bosan atau mengantuk lalu meninggalkanku yang sedang asik-asiknya bercerita.

Atau kamu mau gantian cerita kenangan masa kecil di blogmu? Okee! Kurasa diammu pertanda setuju. Berarti, next gantian kamu yang cerita yaa! 😊


Nyiur hijau... di tepi pantai sawah
Sumber foto : Dok. Pribadi

Baca juga : Episode Kenangan Kecil : Sungai


Follow Kal di @kalenaefris