Kamis, 14 Maret 2019


Memiliki finansial sehat adalah hak segala bangsa, ehh keinginan segala umat manusia yang ada di muka bumi ini deng. HiyaHiyaHiya


Bahkan nih ya, pemerintah jorjoran berusaha menargetkan pendapatan perkapita. Kita dalam skala sempit juga sama. Sedari kecil, sebagian besar kita sudah memiliki standarisasi sejahtera yang rata-rata kriterianya tidak jauh berbeda, yaitu finansial sehat. Karena dengan finansial sehat akan menghasilkan senyum sumringah tanpa degdegan adanya hutang yang mengetuk dompet sewaktu-waktu.

Oh iya Hallo!! Kenalin aku Kal. Aku perantau asal pinggiran Sumatera Selatan yang memutuskan merantau ke ibukota karena alasan klise. Uang.

Seperti perantau-perantau pada umumnya, aku mengejar jodoh mimpi di Jakarta. Berharap bahwa Jakarta adalah rumah baru dimana gompelan-gompelan berlian bisa terkumpul dengan cepat. Aku tidak muluk-muluk berharap seperti crazy rich Surabaya dengan uangnya yang bergelimang, apalagi menyerobot gelar crazy rich Jakarta. Beneran deh! Suer!

Mauku Cuma bisa ngumpulin uang yang banyak untuk melanjutkan renovasi rumah orangtua di kampung yang pernah mangkrak, memiliki beberapa asset bergerak maupun asset tidak bergerak, memiliki tabungan yang membuat dompetku selalu kenyang tanpa terlihat gendut seperti perut buncit berisi sampah lemak, serta dana pensiun yang cukup untuk anak, cucu, serta keponakan-keponakan. Ga banyak kan? HeuHeuHeu

Semangat 45 tanpa Tombak adalah Rela Sekarat

Semangat 45 sebagai perantau ternyata tidak selalu berada di jajaran klasemen teratas hidup. Terkadang badan justru malas untuk ngapa-ngapain. Otak begah untuk mikir yang berat-berat. Dari yang awalnya mau fokus sama kerjaan, ehh malah nyelip-nyelip godaan untuk berperilaku konsumtif yang mengatasnamakan “silaturahmi or ngumpul or nongkrong”.

Dari yang awalnya cuma ikut-ikut ngumpul, jadinya ikut-ikut makan padahal di rumah sudah makan, jadinya ikut beli kopi di cafe padahal kopi sachet di rumah numpuk, jadinya kepengen punya barang yang dipunyai oleh teman entah itu sekedar topi, pakaian, sepatu, hingga ke gadget. Ujung-ujungnya pengeluaran membengkak. Oh Tuhan! Dan disini mulai ngerasa kalo Tuhan enggak adil. Ngomel-ngomel ke Tuhan protes karena merasa memiliki gaji kecil.

Bertahun-tahun hidup dalam ketidakstabilan keuangan membuat rencana awal kembali dirubah, sedangkan resolusi dari tahun ke tahun tetap jalan di tempat. Gaji hanya numpang lewat tanpa ada yang melekat. Lalu lupa pada tujuan awal merantau.

Nafas dompet yang mulai sekarat sedikit demi sedikit membuat aku melihat ke belakang. Mengecek kesehatan keuangan, kemudian mengobatinya sedikit demi sedikit pada titik-titik yang digerogoti penyakit. Dari yang awalnya memfollow akun-akun online shop, aku mulai beralih memfollow akun-akun konsultan keuangan seperti MoneySmart, hingga menonton video-video inspiratif tentang kiat-kiat mengatur finansial sedini mungkin. Dari #MoneySmartMenginspirasi inilah aku seolah disentil. Semakin banyak artikel yang kubaca, semakin aku sadar bahwa kondisi finansialku selama ini carut-marut.

Namun buat apa terus menerus terpuruk? Masih banyak kesempatan untuk memperbaiki finansial menjadi lebih sehat, dan inilah yang aku lakukan belakangan ini, dan pastinya akan aku share ke kalian.


1. Mengatur Alokasi Keuangan

Demi keuangan yang sehat, aku mengelola keuangan dan membaginya ke dalam beberapa pos pengeluaran, seperti pengeluaran pokok, dana darurat, life style, asuransi, dan tabungan. Untuk tabungan sendiri aku sudah melirik-lirik investasi. Jika dulu aku begitu menggebu-gebu untuk belanja pakaian hampir setiap bulan, kali ini aku hanya belanja sesuai dengan alokasi keuangan. STOP jika sudah limit!


2. Mencari penghasilan tambahan

Sebagai seorang perantau, mau tidak mau pengeluaran sudah harus dialokasikan secara rutin setiap bulan. Biaya kostan, listrik, air, transportasi, makan, hingga pulsa menjadi pengeluaran rutin yang tidak bisa dihindari. Belum lagi kiriman untuk orangtua di kampung yang masuk dalam kategori prioritas membuat menabung rasanya menjadi sulit. Uang cukup hingga akhir bulan saja rasanya sudah syukur. Disitu aku mikir “Kalo seperti ini terus, lalu apa gunanya aku merantau?”

Dari sinilah aku akhirnya mencari penghasilan tambahan. Aku memanfaatkan hobby dan teknologi menjadi mata air rejeki. Aku yang suka menulis akhirnya menerima job-job menulis atau menerima tawaran job di sosial media.

Untuk kamu yang ingin mencari penghasilan tambahan juga jangan khawatir. Kamu tekuni hobimu, kemudian cari peluang rejeki di dalamnya. Contohnya : menjadi instruktur yoga buat kamu yang menyukai olahraga yoga, membuat open trip untuk kamu yang suka travelling, menjadi seorang graphic design untuk kamu yang kreatif, atau menawarkan jasa perawatan kucing buat kamu yang mencintai hewan nan lucu bersuara “meowww” ini.

Namun, kerja sampingan tidak semudah yang difikirkan, walaupun sesuai hobi sekalipun. Karena ketika kita berniat untuk menyemplung ke dunia kerja sampingan, artinya akan menambah kesibukanmu selain pekerjaan utama. Kamu bisa baca tips ini supaya kerja sampingan tidak mengganggu pekerjaan utama.

3. Jadikan Tujuan Awal sebagai Kaca yang Besar

Sifat moody benar-benar mengganggu semangatku. Terkadang semangatku hanya sampai depan pintu. Belum juga keluar pagar, ehh udah nyerah hanya karena mendung. Begitupun perihal mengejar mimpi sebagai seorang perantau ini. Kadang suka merasa capek. Untungnya aku memiliki kaca besar yang selalu menjadi cermin, yaitu orangtua di kampung.
Mereka benar-benar menjadi obat dari segala obat.

4. Selalu Percaya Pada Proses

Mungkin nama Bob Sadino sudah tidak asing bagi kita, terlebih di era digital seperti ini dimana kata-kata inspiratif dari beliau bertebar di dunia maya. Sebelum Bob Sadino sukses seperti sekarang, beliau sempat menjadi kuli hingga berdagang telur ayam.

Ada juga Susi Pudjiati, Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia yang hanya lulusan SMP. Lulusan SMP tidak membuat beliau rendah diri dan patah semangat. Nyatanya, berkat kegigihannya dalam berdagang, beliau berhasil mendirikan sejumlah bisnis, salah satunya bisnis penerbangan Susi Air.


Baca Juga : Gak Tamat SD, Ini Crazy Rich Pariaman yang Punya Ferrari, Harley, dan Aston Martin



5. Masa Lalu adalah Masa Lalu, Masa Depan Ditentukan dari Sekarang

Masa lalu yang suram, hutang yang menumpuk, atau kerugian jujur saja sedikit banyak akan membuat kita kecewa pada diri sendiri, tertekan, dan terpuruk. Namun apakah akan terus terpuruk atau justru kembali bangkit itu tergantung ke masing-masing orang.
Ada salah satu kutipan yang aku suka :
“Kita memang harus menerima kekecewaan, tapi jangan sampai kita kehilangan harapan” – Martin Luther King Jr.

Dari salah satu artikel yang aku baca di Money Smart, aku mendapatkan pencerahan.
Kecewa itu wajar dan hal itu memang pasti kita alami. Akan tetapi, jangan lantas kekecewaan itu membuatku kehilangan harapan. Jika harapan kita untuk jadi lebih baik atau sukses di masa depan hilang begitu saja, maka hancurlah kita.





Rabu, 13 Maret 2019



Dulu pernah ada seseorang yang menjatuhkan bait-bait pesan ke dasar jurang. Ia menjatuhkannya jauuuhh sekali, berharap tak ada yang menemukan. Ia berfikir dengan membuang bait-bait pesan sejauh itu akan aman, dan ia akan lekas melupakan kepedihannya lebih cepat. Lalu ia kembali ke kota, menjalani kehidupan seperti yang lain. Hari-harinya ia rasa semakin membaik, tak ada lagi puisi yang ia buat, karena baginya puisi berarti mengingat pedih secara berulang-ulang.

Nyatanya, di ratusan kilometer sebelah timur sana, bait-bait pesan mampu bertahan begitu kuat, mereka beranak pinak sendiri menjadi sekedar prosa ataupun puisi. Mereka berteman dengan angin, bernafas seperti pohon, menari layaknya ilalang.

Semakin hari nyatanya mereka makin riuh. Huruf demi huruf beterbangan di udara meminta dipungut. Mereka akan kegirangan saat ada pendaki yang datang dengan bersungut-sungut. Mereka masuk ke fikiran-fikiran pendaki yang bersedih ditinggal kekasih, lalu menyusup meramu bait-bait sedih.

— Kalena Efris
Tanjung Barat, Oktober 2017


***


Aku ingin mengungkapkan satu atau dua buah kata dari mulutku, namun di depanmu semua kelu.

Maka aku menyeduh perasaanku menjadi kopi yang kita minum bersama-sama; bersama dingin; bersama diam; dan tatapan mata yang mencuri-curi pandang.

Atau — maka aku menulis puisi lalu menerbangkan setiap lariknya ke udara; menjadi angin yang membelai wajahmu; juga menjadi dingin yang memeluk tubuhmu.

— Kalena Efris
Tanjung Barat, 8 Maret 2019



***


Banyak hal akan berubah dari apa saja yang pernah kamu tinggalkan. Di bawah langit-langit berawan, kamu mengatakan bahwa tidak ada lagi yang layak bertahan dari kita. Harapan-harapan telah menjadi mendung, langit biru menjadi layu sejak kakimu perlahan maju meninggalkanku.

Kamu pernah mengajarkanku bahwa cinta itu seperti lebah yang terus menerus membuat sarang, walaupun tahu suatu saat madunya akan diidamkan banyak orang. Sekarang aku mengerti, bahwa cinta itu memperjuangkan... sekaligus merelakan.

Di suatu petang, pada tempat dimana kakiku menjadi letih, aku merelakan ketika kamu mengatakan bahwa cerita yang selama ini kita buat sudah tiba di akhir halaman.

— Kalena Efris
Tanjung Barat, Januari 2019



***


Aku daun
Separuh rapuh menggantung
Mengantri gugur

Anak gembala
Menikmati rimbunku
Tapi waktu
Tega menghitung mundur

Aku daun
Bertahan menggantung
Demi larik puisi
Demi mimpi yang menggunung

— Kalena Efris
Tanjung Barat, April 2017



***


Pada tempat dimana kopi hitam menjadi lebih puitis, pagi menjadi lebih romantis, juga obrolan menjadi lebih hangat — aku menatap ulang 2018 yang semakin jauh dipunggungi kenyataan-kenyataan.

Banyak hal sudah berlalu. suka-duka-luka-lupa dengan cepat berganti posisi seperti lembar-lembar buku yang tanpa terasa dibaca hingga habis, atau seperti tanjakan-tebing curam-turunan yang dilalui dalam sekali perjalanan. Ada kalanya tubuh lelah kemudian sejenak rehat, mengambil sesachet madu lalu duduk bersandar batu besar, memikirkan kepayahan-kesalahan-kelalaian yang terus menerus aku lakukan.

Selamat datang tradisi menulis resolusi. Semoga kamu menjadi teman baik, juga semoga aku menjadi lebih baik.

— Kalena Efris
Tanjung Barat, Januari 2019

Follow Kal di @kalenaefris