Minggu, 29 April 2018




Dalam berpetualang, kebanyakan traveler akan mengharapkan perjalanan yang sesuai rencana. Berjalan dari destinasi satu ke destinasi lainnya tanpa kendala, tidur di tempat yang nyaman, hunting foto, kemudian pulang dengan segudang foto-foto apik.

Semua itu membuat perjalanan  terasa menyenangkan, bukan? Disaat begitu banyak orang memimpikan sebuah liburan tetapi harus menahan diri karena berbagai pertimbangan, ada banyak traveler justru menganggap liburan ke tempat wisata sebagai penghilang penat yang bisa ia lakukan sebulan sekali, sebulan dua kali, bahkan bisa setiap minggu. Lhuar bhiasa.

Yang akan aku ceritakan kali ini bukan perjalanan menyenangkan dengan hotel, motel, ataupun homestay seperti perjalanan-perjalananku biasanya. Kali ini aku ingin membagikan kelanjutan sebuah cerita perjalananku ke Malang bersama Meta. Perjalanan yang bukan hanya menyenangkan, tetapi juga mengenangkan. Duileh so swit.

Ambil yang baiknya, buang yang buruknya. Okehh! 😉


***


Langit kota Malang perlahan gelap. Aku dan Meta masih di atas motor, belum mandi, belum makan, dekil, dan buluk. Emang dari sononya buluk hahaha. Terakhir mandi itu Jumat pagi, sekarang Sabtu malam.

Jalanan kota Malang ramai orang-orang malam mingguan. Ada yang malam mingguan sendirian, malam mingguan sama pacar, malam mingguan sama teman, malam minggu disuruh emak belanja ke minimarket kemudian balik lagi. Malam minggu itu milik siapa saja, bukan? Termasuk milik dua wanita semi cantik yang sisa-sisa kecantikannya tergerus sedikit demi sedikit oleh debu yang menghempaskan bedak dan lisptik yang bertahta di wajah ini. HeuHeuHeu.

Kami memutari kota Malang berkali-kali mencari tempat untuk tidur. Dari awal perjalanan, aku dan Meta sudah sepakat untuk backpackeran. Jadi tempat tidur malam ini juga menjadi salah satu seni dari backpackeran kami kali ini.

Kami melewati masjid, tetapi dipagar tinggi. Ada juga masjid tetapi sedang ramai kegiatan rohani. Aku lalu mengendarai motor ke arah stasiun, stasiun juga salah satu pilihan untuk menunggu pagi.

"Stasiun pilihan terakhir saja ya Met!" Sekarang kami sudah di depan stasiun Malang.

Kami membawa motor yang kami sewa di Surabaya. Itu alasanku menjadikan stasiun sebagai pilihan terakhir. Kan ga lucu kalo beli enggak, ganti iya. Belakangan aku mikir kalo stasiun kan ada tempat parkir motor yang aman? Kenapa harus khawatir? Ahhh bodoh kali aku.

Entahlah Meta sepaham juga sama aku atau manut-manut saja. Yang jelas aku kembali mengendarai motor, meninggalkan stasiun, melewati alun-alun berkali-kali.

"Disini bisa pasang tenda ga ya?"

Aku juga tidak tahu bisa pasang tenda atau tidak di alun-alun. Yang jelas alun-alun sangat ramai. Dalam perjalanan akhirnya tercetus untuk ke Kantor Polisi. Tadi sepanjang perjalanan di salah satu jalan utama Malang, ada gapura yang menuliskan kantor polisi. Karena berkali-kali melewatinya, kami sampai mengingat gapura tersebut.

Aku membelokkan motor ke arah kantor polisi. Setelah tiba dan memarkirkan motor, kami masuk ke dalam kantor polisi. Polsek Klojen, itu yang tertulis di slide show merah di depan pintu Polsek.

Kami masuk ke ruangan depan Polsek, menanyakan tempat yang diperbolehkan untuk memasang tenda di sekitaran kota Malang kepada seorang polisi yang berjaga, tetapi pak polisinya terlihat bingung mau jawab apa.

"Saya tanya pimpinan dulu ya!" Kemudian Pak Polisinya masuk. ia terlihat muda, sekitar 35 tahunan dengan perawakan tinggi.

Polisi muda itu kembali keluar.

"Disini ga ada tempat itu, mbak." Jawaban yang kurang memuaskan menurut kami. Masa ga ada tempat untuk nenda di sebuah kota wisata.

"Sebenarnya di belakang ada musholla kecil kalo mbak berdua mau istirahat. Tapi saya tanya ke pimpinan dulu ya!" 

Tanpa menunggu jawaban, polisi muda itu kembali masuk. Kali ini lumayan lama. Setelah beberapa lama menunggu akhirnya polisi muda itu keluar bersama dengan seorang paruh baya, mungkin ini pimpinan yang dimaksud oleh si polisi muda.

"Ada yang bisa saya bantu?" Pertanyaan bapaknya dingin banget, dengan wajah dingin juga. Dari pertama bapak tersebut nongol, aku langsung menangkap aura terganggu di raut wajahnya. Seorang polisi yang terganggu dengan 2 wanita backpackeran yang ujuk-ujuk datang ke Polsek.

Aku dan Meta kembali menjelaskan tujuan awal yang aku yakin beliau sudah tahu dari polisi muda tadi. 

"Ga ada. Kalo mau yang sewa penginapan, disini banyak penginapan."

"Selain penginapan, Pak? Kalo penginapan tanpa bapak beritahu juga kami sudah tahu." Ahh entah kenapa mulutku tiba-tiba menjawab seperti ini. 

"Yaaaa ga ada, mbak."

"Disini ga ada orang backpackeran yang nenda gitu?"

"Ga ada."

"Jadi selama ini belum ada backpacker yang nanyain ini selain kami?"

"Selama ini ga ada."

Fix. Beliau benar-benar dingin. Dingin dan berwibawa itu beda. Yang aku tangkap saat itu adalah sikap dinginnya beliau. 

"Tadi bapak itu bilang di sini ada musholla. Boleh ga kalo kami numpang istirahat di musholla itu?" Bapak yang kumaksud adalah polisi muda yang tadi menawarkan musholla.

Beliau menolak.

"Misalkan nih pak. Kami numpang istirahat disini sampe pagi kemudian besok pagi baru melanjutkan perjalanan boleh? Kami mau ke Turen tapi sudah malam."

Beliau tetap menolak. Walaupun kami sudah jelaskan tetap saja beliau tidak mengizinkan kami.

"Turen kan Malang Kabupaten. Jam segini masih ramai kok, Mbak. Bisa istirahat disana."

"Ohh jadi Malang Kabupaten lebih memberi solusi ketimbang Malang Kota ya, Pak?" Aku ikut merespon dingin jawaban beliau.

"Iya kalian lebih baik kesana saja, Mbak."

"Yaudah makasih ya, Pak. Kami mau ke Malang Kabupaten saja. Mungkin Malang Kabupaten ngasih solusi yang lebih baik ketimbang Malang Kota. Permisi!" Aku kembali mengulangi kata-kataku barusan. 

Beliau dan polisi muda sempat bertatapan. Mungkin mereka berusaha mencerna ucapanku barusan. Entahlah! Aku malas memikirkan itu terlalu jauh. Polisi muda yang dari tadi masih ada disitu hanya diam saja sejak tadi.

Aku dan Meta bergegas meninggalkan Polsek Klojen. Jujur sih sedih, tapi kami ga bisa berbuat apa-apa. Mungkin memang ketentuan disana seperti itu. Hanya saja kami sama sekali tidak menyangka akan mendapat jawaban-jawaban penolakan super dingin, seolah traveler hanya memiliki satu pilihan : penginapan. Seolah kami tidak layak mendapatkan jawaban-jawaban hangat, atau penolakan-penolakan yang disampaikan dengan baik. 


***


Aku dan Meta kembali berada di jalanan Kota Malang. Bahkan kami hampir mengingat jalanan dan perempatan sana.

"Kita ke Toko Oen aja yuk! Aku mau nyobain kopinya. Sekalian kita mikir-mikir mau tidur dimana!" Kami bahkan hampir melupakan rencana ke Toko Oen.

"Hayuk!"

Bermodalkan Google Maps, motor melaju ke arah Toko Oen. Ternyata Toko Oen itu ada di sekitar Alun-Alun Malang hahahahaha. Berarti kami sudah berkali-kali lewat sekitar Toko Oen.

WELKOM IN MALANG. Toko Oen die sinds 1930 aan de gasten gezelligheid geeft

Sebuah spanduk putih dengan tulisan kapital berwarna merah menyambut kedatangan kami. Sejak pertama datang, suasana klasik bangunan tuanya membawa kami ke suasana tempo doeloe. Memasuki toko, fikiran seolah diajak untuk menikmati masa lampau, mundur berpuluh-puluh tahun ke belakang. Lumayan mengusir kekesalan di polsek tadi.

Kami mengambil tempat duduk kosong di bagian dalam. Ada kursi klasik berwarna biru tosca dan cream menghiasi ruangan. Saat duduk, aku bisa mencium aroma cat dari kursi yang aku tempati. Mungkin baru di cat ulang, fikirku.

Aku memesan segelas kopi dan Meta memesan segelas es krim. Sambil menunggu pesanan tiba, kami memilih untuk beristirahat setelah seharian berada di jalan raya. Aku menyukai kaki kursi Toko Oen yang rendah, juga suasana tempo doeloe yang menaungi toko membuat tubuhku menjadi rileks. Bahkan Meta sempat tertidur hahahaha.

Lama ditunggu, akhirnya pesanan kami datang juga.

Sambil menikmati pesanan, aku dan Meta membahas kejadian di polsek tadi. Hanya saja kali ini kami sudah tidak kesal seperti saat mendengar jawaban-jawaban beliau tadi.

"Mungkin mereka berhati-hati." Itu alasan paling klasik yang ada di fikiran kami, setidaknya supaya malam ini tidak berlalu dengan kekesalan.

Apalagi mengingat perjalanan yang sudah kami lewati dengan cerita-cerita perjalanan yang penuh kejutan, sambutan beliau di Polsek tadi aku anggap seperti seni sebuah perjalanan. Mau gampang tinggal ke penginapan. Sesederhana itu. Tidak mau melewati perjalanan yang sederhana? Yaudah nikmati saja pengalaman-pengalaman unik di perjalanannya.


***


Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam di Toko Oen, kami melanjutkan hunting. Hunting tempat tidur hahaha.

Ke rumah sakit aja yuk!" Kami sudah berkali-kali melewati rumah sakit, tapi sama sekali tidak terpikirkan untuk tidur di rumah sakit. Entah ada angin dari mana, Meta mencetuskan ide tersebut.

"Yaudah hayuk!"

Motor melaju pelan menuju rumah sakit yang dimaksud. Lihatlah! Kami bahkan ingat dimana lokasi rumah sakit. Memasuki wilayah rumah sakit, kami memarkirkan motor kemudian mencari tempat yang sekiranya layak untuk menjadi tempat tidur.

"Supaya security ga curiga, kita harus hati-hati, Kal!"

What? Hati-hati yang seperti apa? Berjalan mengendap-endap di tepian dinding? sedikit merunduk? atau merayap?

Hahaha enggak-enggak. Kami bukan seorang buronan atau maling. Kami tetap berjalan seperti biasa dengan carrier besar di punggung. Maksud Meta adalah masuk seperti pengunjung lain, walaupun pengunjung lain jelas-jelas tidak menggendong carrier di punggungnya.

Sejujurnya aku jaraaaannnggggg banget ke rumah sakit. Aku ke rumah sakit hanya saat menjenguk jika ada keluarga atau kerabat sakit. Jadi aku tidak memiliki bayangan apapun tentang menumpang tidur di rumah sakit.

Aku hanya mengintil Meta dari belakang. Tidak mau mikir yang aneh-aneh dulu.

"Kita ke situ, Kal!" meta menunjuk ke gedung sebelah kiri. Aku manut saja. Setelah dekat aku baru tahu ternyata gedung yang dimaksud adalah gedung Instalasi Gawat Darurat.

"Serius Metaaa?" Rasanya aku ingin menanyakan ini ke Meta, tetapi Meta juga sama sepertiku, tidak menyangka akan ada ide untuk tidur di rumah sakit. Hanya saja bedanya Meta pernah menginap di rumah sakit atau di ruang tunggu IGD sebelumnya. Tapi bukan di IGD Malang tentu saja.

Kami masuk ke ruang tunggu. Disana terdapat ruangan besar dan keluarga pasien yang menginap di ruang tunggu IGD. Aku dan Meta menuju tempat kosong yang luas, di samping seorang wanita muda yang berumur sekitar 30 tahunan. Kami memutuskan untuk menghabiskan malam disana.

Setelah mengobrol sebentar dengan mbak-mbak disampingku, aku baru tahu ternyata mereka adalah keluarga pasien yang memutuskan menunggu keluarganya dengan menginap di IGD. Aku melihat sekeliling, ada yang membawa kasur lipat, ada juga yang hanya melapisi lantai dengan tikar.

Setelah mengeluarkan perlengkapan tidur dan mencuci muka di toilet ruang tunggu, aku dan Meta membeli nasi goreng di depan IGD. Rencananya aku dan Meta ingin makan di tempat jual nasi goreng saja. Tetapi setelah tadi sempat mengobrol dengan mbak-mbak disamping tempat tidur dan tahu ternyata dia belum makan, jadinya aku dan Meta membeli nasi goreng lebih dan memutuskan makan bareng di ruang tunggu.

Sambil makan bareng, kami mengobrol banyak hal. Dari pertanyaan-pertanyaan mereka seputar perjalanan kami hingga akhirnya memutuskan tidur di IGD, hingga mengobrol tentang mbak tersebut. Tenyata mbak tersebut sudah tidur di ruang tunggu selama beberapa minggu, menunggu salah satu keluarganya yang sudah berminggu-minggu dirawat.

Tidur di IGD malam itu membuat kami belajar banyak hal, termasuk mensyukuri kesehatan yang kami miliki hingga akhirnya kami bisa melakukan perjalanan-perjalanan tanpa dipenuhi banyak kekhawatiran. Kami bersyukur karena ternyata dari sekian banyak warga Malang bahkan belum menikmati keindahan wisata di daerahnya sendiri, kami justru memiliki waktu dan rejeki untuk mengeksplore daerah orang lain.

Mata sudah berat. Setelah cukup lama mengobrol dengan mbak-mbak di samping kami, kami mulai menyelonjorkan badan di matras yang memang kami bawa, kemudian masuk ke dalam sleeping bag untuk beristirahat. Besok jam setengah 6 pagi kami sudah harus melanjutkan perjalanan ke Turen.


***


Rencana jalan jam setengah 6 hanyalah rencana. Kami bangun hampir jam 6. Itupun karena suara riuh di kiri dan kanan. Meta menuju kamar mandi yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk pengunjung atau keluarga pasien, sedangkan aku bergegas packing.

"Cuss sana mandi, Kal!" Ucap Meta setelah keluar dari kamar mandi.

"Iyaa. Nitip barang yaa!" Ucapku seraya menunjuk carrier yang sudah dipacking rapi.

Aku bergegas ke kamar mandi. Tubuhku sudah lengket sana-sini. Mandi dan keramas pasti sangat menyegarkan.

Aku tidak ingat berapa lama aku mandi, hingga ada panggilan dari luar kamar mandi.

"Kall!!! Kall!!! Buruan. Kita diusir."

What? Diusir? Aku sudah selesai mandi. Tinggal membereskan peralatan mandi. Setelah aku keluar, aku melihat tempat yang tadi malam ditiduri oleh sekian banyak keluarga pasien ternyata kosong. Tidak ada tikar-tikar ataupun kasur-kasur. Hanya tinggal carrier kami. Kami bergegas menggendong carrier dan keluar gedung.

"Itu kenapa, Met?"

"Kirain tadi kita diusir-usirin. Ternyata itu cleaning service mau bersih-bersih, makanya dibuat kosong. Nahhh... Tadi security datang gara-gara ngeliat carrier kita."

"Terusss??"

"Ya dia heran kok ada tas gunung segala, kayak bukan keluarga pasien. Akhirnya aku di tanya-tanyain. Untung securitynya baik."

Aku lega mendengar penjelasan Meta barusan. Kami berjalan ke arah parkiran, mengambil motor, lalu melanjutkan perjalanan ke Turen.

IGD yang telah menyelamatkan malamku dan Meta




Jumat, 20 April 2018


Akhirnyaaaaaa... 30 hari itu terlewati juga. 30 hari melakukan hal yang tidak pernah terfikirkan olehku sebelum akhirnya aku memutuskan untuk melakukannya. Aku ingat bagaimana aku membangun mood menulis untuk setoran tulisan hari pertama. Aku memantapkan niatku untuk mengikuti 30 Day Writing Challenge.

Hari pertama berlalu. Yaaaaaa... tulisan kubaca berkali-kali, kuperbaiki jika ada typo, kutata kembali kalimat demi kalimat supaya lebih indah dibaca. Hari kedua dan ketiga aku menulis dengan tenang, aku menceritakan bagian hidupku saat masih kecil. Aku merasakan bagaimana tanganku mengalir di atas keypad handphone, untuk kemudian malamnya aku post di blog dan ku perbaiki di depan layar laptop. Hari demi hari aku merasakan bahwa mengetik di laptop terasa jauh lebih nyaman, membuat aku lebih memilih menulis langsung di laptop dan tidak mencicilnya di draft handphone.


Otak yang begah

Berhari-hari kemudian aku merasakan kesulitan dalam menulis. Ide yang buntu, jenuh, juga sifat malas yang aku yakini bisa aku hilangkan kembali mengganggu. Aku menulis di 2 jam terakhir dengan total 24 jam yang dimiliki dalam sehari. Seandainya Tuhan benar-benar mengabulkan permintaanku untuk membulatkan waktu menjadi 30 jam perhari sekalipun, aku tidak yakin akan memanfaatkannya.

Yang membuatku tetap menulis adalah niat yang besar. Sedikit lebih banyak dibanding perasaan malas, setidaknya sifat malas menulis ini. Saat aku lelah, aku memaksakan tubuhku untuk duduk di depan laptop, memaksakan tanganku untuk menyentuh keyboard, memaksa kepalaku untuk memuntahkan isinya kemudian meramunya menjadi tulisan.

Aku merasakan tulisanku yang semakin hari semakin tidak bernyawa, aku memposting tulisan yang sekarat, tanpa kuobati, juga tanpa kujenguk. Esoknya aku kembali melakukan hal yang sama. Betapa banyak tulisan yang tidak kujenguk atau kuobati. Aku hanya menulis sebentar, tanpa mengendapkannya, juga tanpa menjadikan diri sebagai editor untuk tulisan sendiri. Yang penting aku menulis, kemudian setor. Selesai!

Pernah di beberapa tulisan saat aku sedang dalam perjalanan ke Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan yang berada di ujung Denpasar. Sulit sinyal, baterai yang sekarat, perjalanan yang membuatku tidak bisa menulis dengan leluasa. Saat itu aku memaksakan diriku menulis, aku mencicilnya di sela-sela waktu kosong, Luar biasa! aku berhasil melakukannya. Bahkan sebelum naik pesawat, aku mencicil tulisanku di mobil, di KFC bandara, di ruang tunggu, dan aku memposting tulisan persis setelah aku meletakkan tasku di kabin, hanya beberapa menit sebelum handphone beralih ke mode pesawat. Betapa berartinya waktu saat itu. Aku bisa menikmati pergantian tanggal di atas ketinggian dengan tenang.


Ilmu baru dan kerit(p)ik pedas manis

Ada banyak ilmu baru yang aku dapatkan di challenge ini. Selain dilatih untuk membentuk kebiasaan, challenge ini mempertemukan aku dengan penulis-penulis yang hebat. 100 orang dibagi menjadi 10 squad. Aku masuk ke squad terakhir, Squad 10. Setiap minggu, akan ada 2 hingga 3 kali materi-materi tentang dunia kepenulisan. Benar-benar diluar ekspektasi. Aku hanya membayangkan menulis 30 hari nonstop. Ternyata tidak sesederhana itu.



Ada begitu banyak aktifitas selain menulis. Omaigat!

Selain menyantap materi yang terkadang membuat otakku terasa kembung dan begah, ternyata ada feedback tulisan. Feedback yang random membuat tulisan semestinya dibuat dengan tidak asal-asalan. Feedback dari Squad sendiri, feedback dari Squad sebelah, dan feedback dari mentor sama-sama mendebarkan. Ada feedback yang memuji, ada juga yang mengkritik.

  • "Gaya bahasa sederhana. Mudah dipahami. Perlu ditambahi showing, Kak. Biar pembaca bisa merasakan keadaan disana."
  • "Pengembangan dialog sudah bagus. Cuma penataan kalimat ada yang kurang efektif, jadi kesannya datar."
  • "Masih ada beberapa typo. Tulisan yang tidak ada di KBBI seharusnya dimiringkan."
  • "Tulisannya sudah bagus. Mengalir saat dibaca. Penulisan yang menunjukkan tempat diperhatikan lagi."
  • "Jujur tulisan ini sepertinya mundur. Lebih bagus tulisan kakak yang saya feedback tentang Waktu Part 2 kemarin."
  • "Bingung dengan alurnya, kurang ngalir. Seakan perpindahan dari paragraf ke paragraf lainnya terkesan memaksa. Membacanya terasa flat. Pesannya kurang nyampe."
  • "Ini mau dijadikan buku atau bagaimana, kok sampai part 9? Menurut saya temponya lambat. Banyak yang saya skip. Jika memang mau dibuat naskah panjang, berikan setiap makna berbeda dalam setiap partnya. Sehingga tidak hanya bercerita yang bukan menjadi isi pesannya. Coba bikin outline atau mind mapping dulu."
  • "Waktu sudah berjalan ke Part 18 yaaa. Keren banget untuk konsistensi sama day sekarang. Tulisan lama-lama makin berkembang. Cuma kemarin belum dapat feel, disini juga."
  • "Masih biasa saja. Tidak ada kisah atau narasi juga dialog yang berkesan pada part ini. Mungkin itu tantangan tulisan bersambung. Semangat, Kak Kal!"
  • "Boleh tanya? Apa perbaikan yang telah dilakukan dari feedback yang saya sampaikan sebelumnya? Jujur saya belum melihat ada yang berbeda. Ada yang tidak sepakat dengan feedback saya? Atau tidak dibaca?"


Begitu banyak semangat dan kritikan pedas yang datang pada tulisan-tulisan yang ku buat. Aku sadar, jelas. Aku sudah tidak percaya diri pada tulisanku bahkan sebelum mereka melihatnya. Pernah di satu titik aku lelah, lelah fikiran, lelah hati, juga lelah fisik. Di satu sisi aku ingin mengabaikan challenge ini, tetapi disisi lain aku menyadari bahwa fikiran inilah yang harus aku musnahkan. Semua kritikan itu benar, semua kritikan itu betul-betul membangun. Ada banyak ilmu baru dalam dunia kepenulisan yang sebelumnya tidak pernah masuk ke dalam fikiranku.

Aku akan berusaha memperbaikinya. Aku berjanji akan meluangkan waktu menjenguk tulisan-tulisanku selama 30 hari belakangan ini. Mengevaluasi tulisanku sendiri, kemudian aku akan mengobatinya satu persatu.


Finally. Yeaayyyy!

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tulisan ini adalah tulisan ke 30 di 30 Day Writing Challenge. Aku merasa bahagia karena berhasil meyakini diriku sendiri. Aku bahagia pada diri sendiri yang mampu menulis tiada henti, berhasil menyelesaikan challenge ini tanpa melewatinya satupun. Aku ingat betul saat di hari pertama ada 100an penulis yang ikut challenge ini, yang kemudian berguguran satu persatu di tengah jalan.

Hingga akhirnya 30 hari terlewati juga, walaupun tulisan ini juga ku buat jam 10 malam hahaha. Masuk di dunia yang sama sekali tidak pernah terbayangkan, berusaha hidup di dalamnya hingga 30 hari ke depan jujur saja membuat otakku menciut. Maklumi saja jika beberapa hari ke depan tidak ada tulisan yang kubuat. Mungkin beberapa hari ke depan aku akan istirahat menulis dulu hahaha.

Ada banyak hal yang aku evaluasi, terkait diri sendiri. Ternyata menulis itu susah, dan butuh konsistensi. Aku membayangkan penulis-penulis luar biasa diluar sana. Mereka sudah menerbitkan buku-buku yang memiliki nyawa. Mereka hebat.

Tulus dari hati aku mengakui bahwa aku mengagumi mereka.

Pertanyaan untuk diri sendiri "Kal, setelah selesai 30 DWC Jilid 12 ini, kamu masih mau ikut challenge ini lagi ga?" Jawabannya Masih. Masih ada begitu banyak ilmu kepenulisan yang harus aku pelajari. Aku masih ingin dipecut dengan kritikan-kritikan. Aku masih ingin belajar melahirkan nyawa dalam tulisan. Aku masih memiliki impian.

Kamis, 19 April 2018

Hari ini Jodie enggan keluar kamar. Perasaan kesalnya pada ayah belum reda, kalimat-kalimat yang semalam ayah ucapkan masih membekas. Jodie banhun saat matahari menyibak tirai jendela yang tidak ditutup secara keseluruhan. Jodie memang membiarkan tirai jendela kamarnya sedikit terbuka. Semalam sesaat setelah ayahnya keluar kamar, ia membuka sedikit tirai jendela untuk menyegarkan fikirannya yang kusut.

Tadi ibu mengetuk pintu berkali-kali, mengajak Jodie sarapan. Tetapi ia hanya membuka mata, tidak menyahut, kemudian kembali memejamkan mata. Fikirannya berlarian kesana-kemari. Ia tidak menyangka ayahnya akan begitu marah dan menyalahkan Gilang.

Jodie memang tahu ayahnya tidak menyukai Gilang karena penampilannya yang urak-urakan terlihat seperti laki-laki nakql dimata ayah. Apalagi semenjak Gilang memanjangkan rambut, semenjak itu ayah menjadi begitu anti dengan Gilang. Sungguh berbanding terbalik dengan ibu yang justru menganggap Gilang seperti anak sendiri.

Ahhh... andai saja ayah tahu jika Gilang yang sering membantu ibu di rumah saat ayah kerja di luar kota berbulan-bulan. Andai saja ayah tahu jika Gilanh yang jaik ke atap rumah saat genteng rumah bergeser dan menyebabkan rumah dimasuki berember-ember air hujan. Andai saja ayah tahu jika Gilang yang membantu Jodie merenovasi teras depan rumah menjadi lebih bagus, sehingga membuat ayah memuji-muji teras depan tersebut saat ayah baru pulang dari luar kota  beberapa waktu yang lalu.

Jodie geram pada ayah yang terlalu terobsesi menjadikan semua orang seperti dirinya. Air matanya kembali menetes. Jodie kembali mengingat kejadian tadi malam. Ia menatap keluar jendela, tetapi fikirannya tidak disana.

Rabu, 18 April 2018

Jodie dan ibunya menikmati makan malam berdua tanpa banyak mengobrol. Ia melahap makanan seperti orang yang berhari-hari tidak bertemu makanan enak. Biasanya tidak begitu. Ibu menasehati supaya makan dengan tidak terburu-buru, tetapi Jodie yang hanya mengangguk dengan mulut dipenuhi makanan dan lalapan.

Setelah menyelesaikan makan malamnya, Jodie berjalan pelan-pelan menuju kamar, melanjutkan istirahat yang tertunda karena perut keroncongan. Langkahnya kaku saat melangkah seperti tidak memiliki engsel lutut, paha dan betisnya terasa kencang saat ia berdiri dari kursi meja makan. Baru saja ia akan membuka pintu kamarnya, terdengat ketukan dari pintu depan.

"Assalamu'alaikum, Buuu, Jod!!!" Ketukan kembali terdengar. Jodie mendengar suara orang yang begitu ia kenal.

"Aduhhh gimana nih? Ketahuan gue!" Bukannya membuka pintu depan, Jodie justru terlihat panik. Ia bingung antara bergegas membuka pintu kemudian menyalami ayahnya yang baru pulang setelah 2 bulan bekerja di luar pulau, atau justru masuk ke dalam kamar dan berpura-pura tidur.

"Siapa Jod?" Ibu berteriak dari dapur.

"Ayah, Bu!!!"

Terdengar pintu kembali diketuk, kali ini lebih keras dari sebelumnya.

"Kenapa ga dibuka, Jod? Kan kasihan ayah diluar baru pulang kerja." Ibu mengomeli Jodie sambil berjalan tergesa-gesa menuju ruang depan, membuka pintu, lalu menyambut suaminya.

"Maaf lama ya, Mas. Saya tadi sedang mencuci piring di dapur." Ucap ibunya seraya mengiringi suaminya berjalan masuk ke dalam rumah dengan tas besar di tangan kanan.

"Jodie mana, Bu?" Tanya sang ayah saat menyadari Jodie tidak menyambut kedatangannya, sambil meletakkan tas besar di samping kursi ruang tamu.

"Tadi sih ada disini, Mas. Mungkin sudah masuk ke kamar untuk istirahat."

"Ahhh, tumben sekali Jodie tidak menyambut saya."

"Maklumi saja, Mas. Jodie itu baru turun gunun, bisa saja ia keletihan. Jadi biarkan Jodie istirahat. Mas istirahat dulu, saya mau buatkan minuman. Mas pasti lelah kan?" Ucap ibu seraya berjalan hendak menuju ke dapur.

"Apa? Turun gunung katamu? Sang ayah terkejut. Bagaimana bisa ia tidak tahu jika anak satu-satunya naik gunung tanpa sepengetahuannya. Ibu yang awalnya mau ke dapur terperanjat, membalikkan badan melihat suaminya yang mendadak marah.

"Anak itu naik gunung tanpa izin dari saya maksudmu? Nada sang ayah mulai meninggi. Ia melempar secara kasar jaket kulit yang sejak tadi bergelantungan di bahu kanannya, kemudian berjalan ke kamar Jodie.

Jodie yang berada di kamar mendengar secara jelas obrolan ibu dan ayahnya, juga saat ayah marah sambil menyebut-nyebut dirinya. Ia tidak menyangka ayahnya akan kembali malam ini. Bukankah seharusnya ayah kembali minggu depan? Kenapa harus malam ini? Apa yang harus ia katakan tentang perjalanannya yang tanpa diketahui ayah? Apa yang akan ayah lakukan jika tahu ia mendaki gunung bersama Gilang, sahabat terbaik Jodie satu-satunya yang justru tidak disukai oleh ayah.

Pintu kamar digedor dengan keras. Membuat Jodie panik.

"Jodie!!! Buka pintu!!! Pintu digedor semakin keras. Dengan ragu-ragu Jodie berjalan menuju pintu kemudian membuka pintu kamar. Ia melihat ayahnya berkacak pinggang dengan mata memerah yang sedang menatapnya tajam seolah ingin memakannya bulat-bulat.

"Kemana kamu saat ayah tidak ada???" Tanya ayahnya tajam membuat Jodie bingung harus menjawab apa. Di satu sisi ia ketakutan menghadapi ayahnya yang sedang marah, tetapi di sisi lain ia merasa yang ia lakukan bukanlah hal yang salah.

"Jo...die ke gunung, Yah." Jawab Jodie tanpa berani menatap wajah ayahnya. Iya tahu ayah akan sangat marah.

"Ayah tidak pernah sekalipun mengizinkan kamu naik gunung!!!" Ucap ayahnya dengan suara yang sangat berat, ucapan yang disampaikan dengan penuh penekanan. Tangan ayahnya memukul-mukul pintu lemari dengan geram.

"Kamu anak satu-satunya. Siapa yang akan bertanggung jawab jika kamu kenapa-kenapa di gunung, HAH?" Pertanyaan itu meluncur tajam dengan suara yang terdengar semakin berat. Ada kekhawatiran sekaligus kemarahan di dalamnya.

Jodie terdiam, fikirannya kacau. Seperti ayah, Jodie merasakan kemarahan karena tidak terima atas ucapan-ucapan ayahnya, juga ketakutan karena ucapan ayahnya seperti menjelma pisau tajam.

"Kamu jalan sama siapa? Gilang? Temanmu yang tidak berguna itu?"

Dada Jodie panas, kepalanya merasakan gemuruh. Ia tidak terima dimarahi ayahnya seperti ini.

"Jodie sudah besar, Yah!!! Jodie punya dunia sendiri!!! Jodie bukan anak kecil lagi yang bisa mengikuti semua kemauan ayah!!!"

KAMUUUUUUUU!!!" Dalam sekejap tangan ayahnya melayang di udara, hendak tertuju ke wajah Jodie. Jodie menutup mata dengan kedua telapak tangannya, tidak berani melawan ayah lebih dari itu. Ia sudah pasrah jika pukulan itu mendarat di wajahnya.

"CUKUP MAS!!! CUKUPPP!!!" Teriakan itu menahan gerakan tangan ayah. Sekejap Jodie membuka matanya yang sudah basah oleh air mata. Ia melihat ibunya jongkok di belakang ayah. Ibunya menarik-narik lengan ayah sambil menangis.

"Jangan pukul lagi anak kita!!!" Ibu menarik-narik tangan ayah. Ayah tidak bergeming. Tangannya sudah turun, berada di genggaman ibu. Tetapi hatinya kacau. Ia begitu marah kepada Jodie, tetapi ia juga menyesali emosinya yang meledak secara tiba-tiba.

"Saya yang salah, sudah mengizinkan Jodie pergi ke gunung bersama Gilang." Ucap ibunya sesenggukan. Jodie merasa sakit sekali saat melihat ibunya menangis seperti itu. Dengan posisi duduk, tangan ibu tidak pernah melepaskan genggamannya dari tangan ayah, begitu takut tangan tersebut akan menyentuh Jodie.

"Kamu tidak seharusnya mengizinkan Jodie berjalan dengan anak tidak berguna itu!!!" Ucap ayah dengan tajam dan penuh penekanan, melepaskan paksa tangannya dari genggaman ibu, kemudian berjalan keluar kamar.

Jodie yang melihat ayahnya keluar langsung mendekati ibunya kemudian menangis dalam pelukan. Jodie sesenggukan menjelaskan semua yang ia rasakan. Jodie memiliki dunia sendiri yang tidak bisa diatur semaunya oleh ayah. Jodie bebas berteman dengan siapa saja, termasuk Gilang. Gilang tidak seburuk yang ayah fikirkan. Gilang menjaga Jodie, Gilang yang memastikan Jodie selalu baik-baik saja. Gilang adalah teman yang baik buat Jodie. Hanya karena tampilan Gilang yang urak-urakan dan rambut setengah gondrongnya, bukan berarti Gilang anak tidak berguna seperti yang ayah ucapkan.

"Nanti jika ayahmu sudah tenang, ibu akan coba jelaskan." Ibu mengusap matanya yang basah, kemudian menenangkan Jodie yang dari tadi memeluk erat ibunya.

"Sekarang sudah larut malam, Nak. Kamu istirahat, ya!" 

Ibunya melepaskan pelukan kemudian berjalan keluar dari kamar Jodie. Jodie membaringkan tubuhnya. Air mata kembali menetes. Hatinya sakit, bahkan lebih sakit dari kedua kakinya. Ia memikirkan banyak hal hingga tertidur. Ia tertidur dengan mata sembabnya. 

Selasa, 17 April 2018

Jodie membuka pintu kamar, kemudian berjalan menuju dapur. Langkah kakinya terlihat kaku, terlihat sekali menahan sakit di penjuru kakinya. Pahanya terasa sakit jika disentuh, betisnya kencang seperti betis pesepakbola. Belum lagi bahu dan punggungnya yang rasanya seperti ingin rontok.

Sudah seharian ini ia tidur. Sejak tiba di rumah dini hari tadi, kemudian menyelesaikan urusan dengan pertanyaan-pertanyaan ibunya yang memastikan bahwa Jodie pulang dalam keadaan sehat dan baik-baik saja, Jodie langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, kemudian tertidur. Ia baru bangun saat sore, itu pun karena perutnya lapar. 

Ibunya yang sedang mengiris-iris sayuran di dapur melihat ke arah Jodie sebentar, melihat Jodie yang berjalan pelan-pelan dan kaku, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Ibu kira lapar kamu akan kalah sama lelahmu, Nak." Ujar ibunya seraya tersenyum.

"Ya enggak lah, Bu. Kasihan cacing di perut kalo ga Jodie kasih makan." Sahut Jodie. Tangannya membuka kulkas, mengambil minuman dingin, puding, ice cream, dan beberapa buah pear. Semua itu ia tumpuk di tangan kiri. Dengan agak kesusahan ia menutup pintu kulkas, lalu berjalan pelan ke arah meja makan.

"Itu semua ga ada di gunung ya?" Ibunya dari tadi memperhatikan Jodie yang kewalahan mengambil dan membawa isi kulkas ke atas meja makan.

"Ga ada, Bu. Malahan nih yaa, Jodie pengen banget makan bakso, mie ayam, dan sop buah. Tapi namanya di hutan kan ga ada sama sekali, Bu. Ya udah deh Jodie tahan-tahanin. Bahkan untuk makan saja kami mengatur logistik supaya cukup hingga turun." Fikiran Jodie kembali melayang ke saat-saat dimana ia dan team memilih-milih logistik yang akan dimasak saat itu dan logistik mana yang dipisah untuk masak esok hari.

"Jadi anak ibu tahu kan gimana rasanya ingin makan tapi susah atau justru makanannya ga ada?" Tanya ibunya sambil mencuci tangan, kemudian berjalan menuju meja makan, tempat dimana Jodie sedang disibukkan dengan memotong buah pear.

Jodie tidak menyahut. Dalam hati ia menebak-nebak maksud ucapan ibunya.

"Selama ini apapun yang kamu mau selalu ada. Bahkan sering banget makanan ga di habisin dan akhirnya mubazir." Ibu menghentikan pembicaraannya sebentar, menatap Jodie yang duduk di hadapannya.

"Kamu tahu kenapa ibu mengizinkan anak ibu naik gunung?"

Jodie mengangkat kepala, setengah berfikir atas pertanyaan ibunya tersebut. "Karena ada Gilang yang jagain Jodie kan, Bu?"

"Itu sudah pasti. Kalo bukan Gilang yang pamitin kamu, belum tentu ibu mengizinkan. Tetapi bukan itu alasannya."

Jodie mengerutkan kening, tidak tahu arah pembicaraan ibunya. Mulutnya mengunyah buah pear pelan-pelan. Otaknya mencari beberapa kemungkinan. Jodie mengira Gilang adalah alasan ibu mengizinkannya, ternyata bukan itu. Jadi karena apa?

"Karena ibu ingin anak perempuan ibu menjadi perempuan yang mandiri, tidak manja seperti perempuan-perempuan pada umumnya. Naik gunung itu bukan hal mudah. Sebelum naik harus ada pemanasan-pemanasan yang dilakukan. Kemudian saat berada dalam pendakian akan ada emosi yang diatur, kerjasama team, termasuk di dalamnya mengesampingkan keegoisan diri sendiri."

Jodie tertegun pada penjelasan ibunya. Ia ingat pada kebiasaannya yang sering membuang-buang makanan, sedangkan di gunung ia justru harus mengatur-atur makanan. Ia yang biasanya bisa memenuhi begitu banyak keinginan tanpa usaha yang sulit, di gunung ia belajar bahwa ada hal-hal yang harus diperjuangkan.

"Loh, kok anak ibu melamun?"

Jodie terkesiap. Sadar dari lamunannya.

"Kamu mandi sana! Setelah itu kita siap-siap makan malam."

"Iya, Bu." Jodie berdiri lalu dengan susah payah berjalan mengambil handuk, kemudian menuju kamar mandi. Setelah masuk ke kamar mandi, ia menutup pintu dan kembali membenamkan dirinya ke dalam kalimat-kalimat yang ibunya ucapkan barusan. Tujuannya ke gunung sebenarnya hanya ingin menikmati pemandangan pegunungan yang tidak bisa ia nikmati dari wilayah perkotaan. Selain itu ia ingin kenal lebih dekat dengan Mahendra, sosok lelaki yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Ucapan ibunya benar. Ia merasa telah menyia-nyiakan banyak hal.

"Naakkk!!! Kok ibu ga dengar suara air? Kamu tidur di kamar mandi ya?" Teriakan ibunya ditambah suara gedoran dibalik pintu sukses membuyarkan lamunannya.

"Jodie udah mau mandi kok, Bu!" Jodie menyahuti ibunya, kemudian langsung mandi, sebelum pintu kamar mandi kembali di gedor oleh ibunya.



Minggu, 15 April 2018

"Kita istirahat disini 2 jam ya, guys!" Ucap Acen sambil menurunkan carrier yang sejak tadi bersandar manis di punggungnya.

2 jam waktu yang cukup untuk istirahat. Jodie kembali memejamkan matanya. Naik dan turun gunung membuat staminanya berkurang. Ia melipat kaki, juga melipatkan kedua tangannya. Desa ini terkenal dengan udaranya yang dingin. Walaupun warga desa sudah menggunakan jaket, mereka tetap menggunakan sarung di setiap aktivitas mereka.

Jodie berusaha untuk tidur. Tetapi dingin menembus pakaiannya, lalu menembus kulitnya. Ia menggigil di siang hari.

"Jod!!!" 

Jodie menbuka matanya. Ia melihat Gilang yang sedang memperhatikannya.

"Jangan samakan desa ini dengan suasana di kota. Walaupun disini siang, desa ini tetap dingin." Gilang mengomeli Jodie sambil menutupi tubuh Jodie dengan sleeping bag yang ia bawa.

"Apalagi pakaian elo sekarang basah oleh keringat, itu juga mempengaruhi dingin yang elo rasakan."

Jika saja Jodie dalam kondisi yang baik, mungkin ia akan kembali bertengkar, atau setidaknya adu mulut dengan Gilang. Jodie sebenarnya senang dipedulikan oleh sahabat kecilnya tersebut, tetapi tetap saja ia tidak mau disalahkan. Walaupun terkadang ia memang terlihat mengesalkan dan manja, terutama kepada Gilang.

"Bawel ihhh!"

"Dari pada gue diemin, tau-tau elo mati kedinginan disini, mau?" Ucap Gilang sembari tangannya seolah ingin mengambil kembali sleeping bag yang tadi ia berikan untuk menutupi tubuh Jodie yang kedinginan.

Jodie yang menyadari sleeping bag mau ditarik oleh Gilang, langsung menahannya. Gilang terlihat senang sekali menjahili Jodie. Jodie juga tidak mau kalah, maka terjadilah tarik-menarik sleeping bag. Adegan tarik-menarik tersebut berhenti saat Mahen menghampiri mereka dengan tubuh yang terlihat segar.

"Kamu udah mandi, Jod?"

"Boro-boro, seharusnya aku sekarang sedang tidur nyenyak seandainya cowok nyebelin ini ga ngisengin!" Sahut Jodie sambil tangannya mencubit bahu Gilang. Untuk sesaat Gilang berpura-pura meringis kesakitan, membuat Jodie tertawa. Hingga tiba-tiba Gilang menggetok kepala Jodie kemudian langsung bergegas meninggalkannya yang menggerutu sambil mengelus-elus kepala.

"Hey, sudah-sudah! Mending sekarang kamu mandi, biar badanmu segeran."

"Mandi di tempat sedingin ini, Hen? Ini aja aku udah menggigil..."

"Hahaha kamu kira aku mandi pake air sedingin es batu itu? Ya enggaklah, Jod. Kamar mandi umum disini sudah pake pemanas air. Jadi kamu ga akan kedinginan. Percaya sama aku."

Jodie berfikir lama, menimbang-nimbang perlukah ia mandi. Desa ini sangat dingin. Bahkan di musim kemarau, rumput-rumput akan ditutupi oleh embun yang bertransformasi menjadi butir-butir es.

"Udah, ga usah kelamaan mikir. Sekarang waktu istirahat kita tinggal sejam lagi."

Akhirnya Jodie memutuskan untuk mandi. Toh airnya hangat, fikirnya. Tubuhnya juga sangat kotor. Terakhir mandi itu sebelum mereka naik gunung, 3 hari yang lalu. Ia akhirnya ke kamar mandi umum membawa pakaian ganti dan peralatan mandi seadanya. Setelah mandi, tubuhnya terasa segar. Ketakutannya akan kedinginan tidak terbukti.

Satu jam berlalu, mereka meninggalkan desa dengan awan yang seolah bisa mereka sentuh. Semakin jauh, sayup-sayup dinginnya desa mulai menghilang. 
Fisik Jodie mulai melemah, itu terlihat dari ia yang meminta untuk istirahat berkali-kali. Jalanan menurun tidak membuat Jodie merasa nyaman, lututnya gemetar. Awalnya ia mengira turun gunung itu mudah, toh tinggal turun. Ternyata ia salah, ia kewalahan.

Jodie tetap kekeuh pada pendiriannya untuk membawa carrier sendiri, jika bahunya mulai terasa panas, maka ia hanya butuh mengistirahatkan bahunya saja. Tidak terasa sedikit-demi sedikit jalan setapak ia lalui. Jalan yang sebelumnya tanah sudah beralih ke jalan beton.

Jodie senang bukan kepalang. Ia seolah menemukan oase di padang tandus. Ia sudah tiba di basecamp. Teamnya sudah sibuk menyelonjorkan kakinya masing-masing. Ia yang baru tiba langung meletakkan carriernya di tempat kosong samping Gilang. Kemudian meluruskan kaki dan  menyandarkan tubuh di carriernya sendiri.

"Gimana?"

"Gimana apanya?" Jodie memalingkan wajahnya sekilas ke arah Gilang, kemudian kembali menghadap ke depan. Ia lelah, ingin tidur sebentar saja.

"Yaaaa... gimana naik turun gunungnya, capek ga?"

"Mmmmmmmm..."

Gilang mendapat jawaban seperti itu langsung menggetok kepala Jodie menggunakan jarinya.

"Ihhhhhh Gilaaanggg!!! Jangan ganggu gueeee... gue capek, pengen tidur!" Jodie yang kepalanya digetok langsung refleks terbangun dan mencubit bahu Gilang.

"Awwww... awww... iyaaa iyaaaa sana tidur!" Jodie melepaskan cubitannya. Gilang meringis kesakitan mengusap-usap bahunya.

"Kapan coba kalian berdua ga berantem?" Acen yang menyaksikan kelakuan kedua temannya tersebut hanya menggeleng-geleng sambil tertawa.

"Ga berantem? Mungkin entar nunggu Jodie udah jadi nenek-nenek dan  udah keriput. Gerak dikit aja udah encok, apalagi buat berantem sama gue hahaha!" Gilang menjawab asal. Ia hanya ingin menggoda Jodie.

Jodie mendengar mereka membicarakannya, tetapi ia hanya diam saja. Sedang malas menanggapi keisengan Gilang. "Awas lo Lang, tunggu aja!" Jodie menggerutu dalam hati. Ia membalikkan tubuhnya, memunggungi Gilang.

Sabtu, 14 April 2018

Jodie berjalan dengan sisa-sisa daya yang ia miliki. Ia merasa kakinya sudah gemetar. Turun gunung ternyata tidak semudah yang ia fikirkan.

"Lo yakin ga apa-apa?"

"Gue beneran ga apa-apa, Hen."

"Ya udah. Pokoknya kalo capek kita istirahat, kalo elo ga kuat ngomong!"

"Iyaa baweelll" sahut Jodie sambil menatap Mahen yang berdiri di depannya. Ia melihat ada kekhawatiran di mata Mahen. Ia senang saat Mahen menawarkan diri untuk membawa carriernya, juga menggandeng tangannya. Tetapi ia tidak menerima tawaran Mahen walaupun Jodie bisa melihat ketulusan dari matanya. Ia tidak mau merepotkan Mahen.

Tiba-tiba Mahen menggenggam tangan Jodie. "Gue khawatir Lo kenapa-kenapa, Jod."

Jodie tertegun. Mereka terdiam cukup lama. Nafasnya naik turun. "Khawatir bu... at... aa... pa...?" Lidahnya tercekat.

"Iya! Aku khawatir kamu kenapa-kenapa."

Barusan Jodie dengar apa? Mahen memanggilnya dengan sebutan kamu. Hal yang belum pernah Mahen lakukan sebelumnya.

"Makasih lo ehh... kamu udah khawatirin aku. Tapi aku beneran ga kenapa-kenapa." Ucapan itu mengalir dari mulut Jodie.

Jodie dan Mahen kembali melanjutkan perjalanan. Mereka baru saja melewati Pos 1, itu artinya tidak lama lagi mereka tiba di basecamp. Gilang dan Acen sudah di depan bersama Jessica. Sedangkan Mahen dan Agung di belakang menemani Jodie.

Jumat, 13 April 2018

Mereka tiba di puncak lebih lambat dari biasanya. Matahari sudah terlihat, mereka tadi menikmati keindahan matahari terbit dari jalur terbuka. Sekitar 300 meter sebelum puncak. Tetapi namanya gunung, 300 meter itu sungguhlah berat, apalagi dengan jalur menanjak, dan oksigen yang semakin sedikit.

"Yeaayyyyy!!! Puncak guyyysss...!!!" Teriak Acen pertama kali menyemangati teman-temannya. 

Tidak lama kemudian Gilang yang menggandeng Jessica melepaskan gandengannya, sesaat setelah Jessica tiba di puncak.

"Terima kasih, Gilang!" Jessica langsung memeluk Gilang. Gilang tertegun. 

"Iya sama-sama, Jess." Tangannya menggapai punggung Jessica kemudian mengusapnya secara tulus. Gilang tidak menyadari bahwa ada kehangatan di hati Jessica.

Jodie yang tiba belakangan melihat mereka berpelukan, kemudian terperanjat.

"Widiihhhh... udah ada yang deket aja nih!!!" Ucapnya dengan sisa nafas yang hanya setengah. Nafasnya naik turun kelelahan. Ia tertawa melihat ekspresi wajah Gilang yang terlihat canggung.

Mereka melepaskan pelukannya. Kemudian bergabung dengan team untuk beristirahat di sebuah batu besar. 

Dari atas sini mereka bisa melihat keindahan pemandangan 360 derajat. Langit yang bersih tanpa awan yang mengganggu di atasnya. Awan justru berbaris rapi beberapa ratus meter di bawah mereka. Agung tadi terlihat bersujud sesaat setelah tiba di puncak. Katanya ini adalah hal yang selalu ia lakukan setiap tiba di puncak sebuah gunung.

"Gue mengagumi keindahan ciptaan Tuhan ini. Gue bersyukur memiliki tubuh yang masih sehat kayak gini." Itu alasan yang ia berikan setiap ada yang bertanya.

Setelah puas menikmati keindahan puncak hingga beberapa jam ke depan, mereka memutuskan untuk turun. Acen turun lebih dulu, kemudian disusul oleh Gilang dan Jessica. Sejak itu Jessica sudah di back up oleh Gilang bahkan hingga turun ke basecamp. Kemudian Jodie berjalan bersama Mahen dan Agung. Jodie di back up oleh Mahen. Mereka lebih banyak bercanda sepanjang perjalanan.

"Hati-hati Jod, entar lo jatuh lagi!" Mahen mengingatkan. Tangannya menawarkan bantuan. Jodie menyambutnya. Hap! Jodie melewati sebuah batu besar dengan sedikit pijakan kaki.

"Bisa dimarahin Gilang gue kalo sampe elo jatuh lagi!" Ucap Mahen sesaat setelah Jodie memijakkan kakinya dengan mulus.

"Hahaha lo kayaknya takut banget sama Gilang?"

"Bukan gitu. Lo kan jalan bareng sama Gilang. Orang tua lo juga nitipin lo ke Gilang, bukan gue. Nah kalo lo kenapa-kenapa saat lo sama gue, bisa-bisa gue yang dihabisin oleh Gilang."

"Iyaaaaa, baweelll... Sekarang lo liat kan? gue ga kenapa-kenapa?" Jodie berjalan sambil membuka tangan seolah memperlihatkan tubuhnya yang baik-baik saja.

"Iyaa sih. Udah ahh, yuk lanjut! Kita udah kehilangan jejak mereka." Jodie tertawa mendengar jawaban Mahen. Kemudian melanjutkan perjalanan. Jodie mempercepat langkahnya, kemudian diikuti oleh Mahen dan Agung. Tidak berapa lama, ia melihat Gilang dan Jessica dari kejauhan, mereka berjalan sambil bergandengan tangan. Jessica sebenarnya berjalan pelan. Hanya saja karena Jodie dan Mahen kebanyakan bercanda di jalur, jalan mereka juga menjadi pelan.

Mereka tiba di tempat camp saat matahari sudah naik tinggi. Saat mereka tiba, terlihat Acen sedang mengikatkan hammock di pohon-pohon sekitar tenda. Semalam Acen sengaja memilih memasang tenda di dekat pohon. "Supaya angin tidak terlalu kencang." Katanya.

"Kalian ga nyasar kan? Gue udah dari sejam yang lalu sampe." 

"Biasa, Cen. Gue nemenin orang pacaran. Tau sendiri kan kalo orang pacaran jalannya pelan." Canda Agung sambil matanya memberi kode supaya Acen melihat ke arah Jodie dan Mahen.

"Ohhh... elo ngomongin kita?" Jodie yang geram berlari hendak menggetok Agung. Agung yang sadar langsung berlari menjauh sambil tertawa. Jodie yang awalnya berlari mengejar Agung akhirnya balik kanan, kembali ke sekitar tenda.

"Ahhhh... capek gue!" Ujarnya dengan nafas ngos-ngosan.

"Hahahaha lagian lo ngejar Agung, ya ga kekejar lah. Dia kan suhu gunung, larinya aja cepat!" Mahen gantian menyahuti Mahen.

"Bodo ahh!!!" Jodie dengan nafas ngos-ngosan memilih masuk ke tenda untuk mengistirahatkan tubuhnya, hingga akhirnya ia tertidur.

Jodie tidak tahu berapa lama ia tertidur. Saat Jodie terbangun, ia melihat makanan berada di dalam tenda, persis di sampingnya. Mereka sengaja meletakkan makanan yang sudah selesai dimasak ke dalam tenda supaya tertata rapi dan tidak terkena debu saat angin kencang.

Jodie membuka resleting pintu tenda. Di depan tenda hanya ada Gilang dan Jessica yang sedang mengobrol sambil menunggu masakan terakhir, yaitu nasi. Jodie memilih membiarkan Gilang dan Jessica berdua. Ia keluar tenda dan menuju hammock yang sudah dipasang tidak jauh dari tenda. Ada tiga hammock yang dipasang, Acen di hammock paling ujung sudah tertidur pulas, kemudian di tengah si Agung sedang hammockan sambil membaca buku, dan hammock terakhir ada Mahen yang sedang memandang langit dari balik daun-daunan pohon di atasnya.

Menyadari ada orang yang berjalan ke arah mereka, Mahen seketika menoleh.

"Ehhh lo uda bangun?" Mahen mengubah posisinya menjadi duduk. "Duduk sini!" Ucapnya sambil tangan kanannya menepuk-nepuk hammock pertanda meminta Jodie untuk duduk di sampingnya.

Jodie berjalan mendekati Mahen dan duduk berdua di satu hammock. Awalnya ia takut hammocknya tidak kuat menopang beban mereka berdua. Tetapi setelah Mahen menjelaskan bahwa hammock yang ia duduki aman untuk 2 orang, ia akhirnya mau juga. Maka jadilah hingga 1 jam ke depan dua orang duduk berdua di satu buah hammock besar. Mereka mengobrol perihal apa saja. dari rasa makanan semalam, dinginnya suasanan diluar tenda saat malam, hingga merk sepatu gunung yang merek gunakan.

Satu jam berlalu hingga Gilang memanggil semuanya untuk makan siang. Setelah makan siang dan beres-beres tenda selesai, mereka kembali mencari suasana senyaman mungkin. Ada yang memilih beristirahat di tenda, ada yang berjalan-jalan menikmati suasana di sekitar tempat mereka camping, kemudian ada yang kembali tidur-tiduran di hammock.

Siang berganti sore, langit nampak kemerah-merahan pertanda malam akan segera tiba. Setelah puas menikmati keindahan langit, mereka menghabiskan malam bersama-sama di tenda. Malam ini mereka habiskan dengan bercerita tentang kehidupan masing-masing. Besok pagi mereka sudah harus kembali turun. Berjalan kembali menuju ke kehidupan sehari-hari mereka.

Malam berlalu begitu cepat, pagi mengintip dari balik bukit. Setelah mereka selesai sarapan, mereka bersiap-siap untuk turun. Tenda mulai dibongkar, carrier mulai dipacking, peralatan mulai dirapikan.


Kamis, 12 April 2018

Dingin menusuk tulang. Jaket yang Jodie gunakan tidak bisa menghalau dingin secara menyeluruh. 8 derajat celcius, bahkan sarung tangan dan kaos kaki tebal yang ia gunakan tidak bisa menutupi dingin yang menggerogoti tubuhnya. Jodie sudah masuk ke dalam tenda saat para lelaki memutuskan untuk bermain domino. Ia memilih beristirahat demi fisik yang fit untuk summit beberapa jam ke depan.

Dengan tubuh yang sedikit bergetar karena dingin, ia membuka carrier kemudian mengeluarkan sleeping bag. Setelah masuk ke dalam sleeping bag, perasaan hangat sedikit demi sedikit mulai mengalahkan dingin yang sebelumnya ia rasakan. Ia melihat Jessica yang sudah menutupi seluruh tubuhnya dengan sleeping bag. Tidak ada satu bagian tubuh pun yang terlihat. Seperti Jessica tidak mau ada celah dingin masuk ke dalam sleeping bag kemudian mengganggu kehangatannya.

Jodie menatap langit-langit tenda, fikirannya sudah beralih ke sosok diluar tenda yang sekarang sedang bermain domino bersama Gilang, Agung, dan Acen. Sayup-sayup ia bisa mendengar apa yang dibicarakan oleh mereka di depan tendanya. Ia ikut tertawa dalam hati saat mereka tertawa. Ia tahu siapa yang kalah dalam permainan domino tersebut. Ingin rasanya ia ikut menertawakan kekalahan salah satu dari mereka walaupun dari dalam tenda, tetapi itu tidak ia lakukan karena ia yakin 100% Gilang akan mengomelinya jika tahu bahwa ia ternyata belum istirahat.

Tiba-tiba telinga Jodie berdengung panas, ia mendengar Mahen menanyakan perihal Jodie ke Gilang. Dadanya gemuruh, nafasnya naik turun. Kenapa Mahen menanyakan tentangnya? Apakah Mahen... Ahh, Jodie menutup wajahnya dengan kedua tangan, tidak berani memikirkan lebih jauh, ia takut perasaannya justru akna menyakitinya nanti. 

Ia membuka telinganya lebar-lebar. Sayup-sayup suara mereka mulai menghilang. Permainan domino selesai.

Jodie memiringkan tubuhnya, memunggungi Jessica. Diluar angin gunung sudah mulai mengguncang-guncangkan tenda, di dalam tubuhnya diguncang-guncangkan oleh perasaannya sendiri.

Jodie tidak ingat kapan ia tidur. Ia terbangun mendengar Gilang menyebut-nyebut namanya. Ia melihat ke samping, tidak ada Jessica di sampingnya. Ia membuka sleeping bag. Brrrrrrrr... dingin menyerobot kasar masuk melalui pori-pori kulitnya. Untuk sejenak ia masih berada di dalam tenda untuk menyesuaikan dingin. Setelah ia merasa dingin tidak setega pertama membuka sleeping bag, ia langsung keluar tenda.

"Nih susu. Lo minum mumpung masih hangat!" Gilang memberikan segelas susu ke Jodie.

Jodie meraih minuman tersebut tanpa menyahut. Kemudian ada kehangatan masuk ke dalam tubuhnya tepat sesaat setelah susu tersebut ia minum.

Jodie menatap sekeliling dengan gelas di dalam genggaman. Di sebelah kanannya ada Jessica yang sedang memperhatikan Gilang dan Acen mengobrol sambil mempersiapkan kebutuhan untuk summit, sesekali Jessica terlihat ikut dalam obrolan. Kemudian di hadapan Jessica ada Agung dan Mahen yang sedang memasak air dan makanan selama summit nanti.

"Nih!" Mahen memberikan sebungkus roti cokelat untuk Jodie. "Setengah jam lagi kita summit, kamu harus menyentuh kalori walaupun sedikit. Supaya fisikmu kuat, Jod."

"Terima kasih." Jodie mengambilnya, kemudian langsung memakannya.


***


Mendaki di jam seperti ini terasa sangat dingin. Jodie sudah mengenakan celana berbahan polar, jaket polar, sarung tangan, dan mengenakan kaos kaki dua lapis. Tetapi dingin rasanya tetap saja mampu menembus hingga ke dalam kulit. Sesekali tangannya memperbaiki letak headlamp. Tetapi lebih sering ia meletakkan tangan di dalam saku jaket.

Ia berjalan di tengah-tengah team. Mahen di depannya dan Gilang di belakangnya. Ia merasa dilindungi oleh dua orang yang menurutnya penting, tetapi dengan perasaan berbeda. Di summit ini Jodie berbunga-bunga. Mahen memperlihatkan perhatiannya ke Jodie. Awalnya Jodie merasa canggung saat Mahen menjulurkan tangannya saat ada jalur menanjak yang curam ataupun pohon besar melintang. Tetapi semakin lama Jodie merasa nyaman. Ia justru senang.

Jalur pendakian semakin lama semakin menanjak. Team beberapa kali berisitirahat dan memastikan jarak antara yang satu dan yang lain selalu rapat. Acen yang berada di paling depan barisan selalu menghitung. Jessica yang terlihat paling kepayahan diantara yang lain.

"Semangat, Jess. Kita berjalan pelan-pelan saja. Tidak usah terburu-buru. Kita ga akan saling meninggalkan, kok!" Acen menyemangati Jessica yang sedang bersandar di sebatang pohon besar.

"Makasih ya guys, kalian udah mau nuungguin gue. Gue ga enak. Gara-gara kalian nungguin gue, jadinya kita ga keburu menikmati sunrise di puncak."

"Ga usah di fikirkan, Jess. Yang penting kita tiba di puncak bersama-sama. Ada kok yang ga kalah indah dibandingkan dengan sunrise. Lo ga usah khawatirin itu."

"Emang ada? Bukannya pendaki selalu nargetin buat dapat sunrise di puncak ya?"

"Ada donk. Kamu sepertinya lupa dengan samudra awan yang akan terlihat seperti permandani. Kamu bisa memandang samudra awan tersebut sepuas hatimu."

Teman-teman  yang lain mengamini ucapan Acen barusan. Mereka meyakinkan Jessica bahwa ada hal lain yang teramat indah sudah menunggu di atas sana, samudera awan. Hal yang membuat Jessica terharu. Semangatnya kembali tumbuh.

Jessica kemudian berdiri, lalu melanjutkan pendakian. Ia berjalan di belakang di belakang Acen dan di depan Gilang.

Langit perlahan-lahan mulai terbuka, pepohonan sekarang sudah berada di bawah mereka, begitupun dengan samudera awan. Jodie marasakan bahwa mereka berada di atas samudera awan tersebut.

"Break ya guys!" Jodie berteriak.

"Oke!" Sahut yang lain.

Kiri kanan dipenuhi batu-batu besar. Sisa pendakian mereka sekarang adalah jalur pasir. Pucak sudah terlihat dari sini, tetapi mereka tidak mau memaksa diri. Mereka memutuskan istirahat sebentar sambil menikmati samudra awan di belakang mereka yang nampak berwarna kemerah-merahan.

Rabu, 11 April 2018

Acen, Gilang dan Agung langsung memasang tenda dan merapikan carrier. Ada 2 tenda yang dipasang, satu tenda kapastitas 2 orang untuk wanita, kemudian satu lagi tenda kapasitas 4-5 orang untuk laki-laki.

Jodie dan Jessica sedang sibuk dengan perlengkapan memasak dibantu oleh Mahen.

"Lebih baik lo istirahat di dalam tenda, Jess! Supaya fisik lo lekas membaik." Saran Mahen kepada Jessica.

"Gue ga apa-apa kok, Guys." Yang dituju berkilah.

"Iya Jess! Mending lo masuk tenda gih! Lo istirahatin badan lo." Acen tiba-tiba sudah berada di samping Jessica, mengambil posisi duduk.

"Nah cakep tuh, biiar besok lo bisa ikut kita summit. Yaaa kecuali kalo lo ga mau summit bareng kita." Sahut Gilang dengan santai.

Ancaman Gilang seperti membuat Jessica menurut. Ia tidak mau gagal summit karena fisiknya yang lemah. Jessica berdiri pelan-pelan kemudian memasuki tenda di belakangnya.

Jodie diam saja. Pertama karena ia merasa bersalah karena tadi egois berjalan terlebih dahulu tanpa memperhatikan teamnya. Kedua karena ada Mahen di hadapannya.

"Gung, lo kan jago masak nasi pake nesting nih. Lo bantuin masak nasi yaaa!!"

"Siaappppp!!! Gampang masak nasi mah." Agung menjawab santai. Agung bukan pendaki pemula, ia sudah sering mendaki gunung. Hanya saja baru kali ini ia mendaki bersama teamnya Acen. Ia gabung ke team ini karena ajakan Mahen.

Mahen menyerahkan nesting dan beras ke Agung. Tugas diambil alih.

"Lo bisa masak, Jod?" Mahen menatap Jodie. Sebenarnya Mahen sedang membuka obrolan. Dari tadi ia memperhatikan Jodie yang sedikit bicara.

Jodie yang ditanya mengatur suara, setidaknya supaya terlihat tanpa kecanggungan. "Bisa donk, gini-gini gue suka masak di rumah." Jodie mengangkat kepalanya, melihat Mahen yang menatapnya. Jodie bisa memandang wajah Mahen dengan jelas.

"Iya, masak mie doank!"

Jodie melihat ke sumber suara. Gilang sedang asyik memakan kacang. Ia tahu Jodie melihatnya, tapi ia bertingkah seolah tidak tahu apa-apa.

"Awas lo makan masakan gue!" Ucap Jodie sembari melempar sebungkus mie instan ke Gilang.

Gilang melihat Jodie, menahan tawa. "Apaan sih? masin lempar-lempar makanan aja!" 

"Yaudah, entar bantu lo masak deh!" Mahen yang dari tadi senyam-senyum melihat pertengkaran kecil mereka, kemudian menawarkan bantuan ke Jodie.

Jodie hanya mengangguk. Tidak menjawab apapun. Nampaknya jatuh cinta membuat Jodie menjadi aneh. Yang biasanya riuh, kali ini Jodie begitu pendiam.

Maka sibuklah Jodie, dan Mahen memasak untuk makan malam. Jodie yang awalnya kaku, semakin lama mulai mencair. Ia sudah bisa tertawa tanpa canggung di depan Mahen. Sesekali terlihat Gilang menjahili Jodie, dan terlihat Jodie yang membalas kejahilan Gilang.

Setelah masak, mereka melihat sunset bersama-sama. Jessica yang tadi isitrahat juga tidak mau melewatkan langit keemasan.


***


Setelah makan malam, Jodie dan Jessica memilih langsung masuk tenda untuk beristirahat.

Gilang, Acen, Mahen, dan Agung memilih menghabiskan waktu hingga beberapa jam ke depan dengan bermain domino. Hukumannya yang kalah akan jongkok hingga menemukan sosok kalah kembali. Saat itu yang jongkok adalah Agung.

"Lang!"

"Hmmmm!!"

"Lo sama Jodie kelihatannya dekat banget, ya?"

"Yaaa gitu deh, Hen. Orangtua kami udah saling kenal. Namanya juga tinggal deketan, walaupun jarak rumah kami ga deket-deket banget sih. Gue kenal sama Jodie itu karena sama-sama sering main di taman waktu kecil. Dari situ akhirnya jadi dekat sampe sekarang. Btw kenapa lo nanya-nanya Jodie?"

"Ya gue ngerasa kayaknya Jodie orangnya asyik deh." Tanpa disadari Mahen menghentikan permainannya.

"Weeeyyy!! Yeeee Mahen ngelamun."

Mahendra terkesiap. "Ehh sorry-sorry. Gue yang main yaa?"

Suara mereka riuh. Mereka bisa saja lupa waktu jika saja Acen tidak mengingatkan mereka bahwa besok jam 3 pagi mereka sudah harus bangun untuk bersiap-siap summit.

Selasa, 10 April 2018

Langit sangat terik siang itu. Untung saja jalur dipenuhi oleh pohon pinus yang menjulang tinggi, membuat terik matahari menjadi tidak begitu tega menimpa mereka berenam.

"Untung gue pemanasan sebelum naik. Kalo ga, mampus gue!" Jodie membatin. Langkah kakinya pelan, tetapi jauh lebih baik dibanding pendakian sebelumnya yang tanpa olahraga. Di pendakian pertama, Jodie muntah saat baru mendaki selama satu jam. Di pendakian kali ini, Jodie tidak mau hal itu terjadi.

Jalur yang dilewati masih termasuk ringan, jalur jelas dengan lebar 2 meter, juga belum terlalu menanjak. Jodie dan team hanya istirahat untuk mengatur nafas, kemudian melanjutkan perjalanan lagi. 

"Post 1, Guys!!!" Teriak Acen dari atas, suaranya terdengar jelas di telinga Jodie.

Jodie yang saat itu sedang berhenti untuk mengatur nafas kembali bersemangat. Mereka kembali melanjutkan pendakian. Sebenarnya jarak mereka tidak jauh, tidak lebih dari 20 meter. Antara anggota team paling depan dan belakang masih bisa saling melihat, hanya saja karena jalur di gunung yang tidak melulu lurus membuat team terlihat seperti berjauhan.

"Welcome di Pos 1!!!" Acen menyambut teman-temannya.

Jodie mengambil posisi duduk di sebuah pohon mati besar yang berada di sisi jalur.

"Nih!" Mahen mengeluarkan cokelat chocky-chocky kemudian memberikannya ke Jodie.

Jodie yang baru saja mengambil botol minum di samping carrier tertegun, perasaan gugup itu hinggap "Ehh, terima kasih, Hen." Jodie mengambil chocky-chocky tersebut.

Baru saja hati Jodie berbunga-bunga karena Mahen memberi Jodie chocky-chocky, bunganya seolah rontok seketika saat Mahen menawarkan chocky-chocky ke yang lain. Jodie mendengus sebal, sambil menyobek paksa ujung chocky-chocky tersebut menggunakan giginya. 

Jodie berdiri dari duduknya. "Ayo, guys! Kita lanjut!"

"Widih, belum capek, Jod?" Tanya Acen setengah bercanda.

"Belum!" Sahut Jodie ketus.

Kemudian Jodie berjalan paling depan tanpa memperdulikan teamnya di belakang.

Acen langsung berjalan di belakang Jodie. "Jodie belum pernah ke gunung ini, ia tidak tahu jalur." Pikir Acen.

Jadilah Acen dan Jodie, diikuti Gilang dan Jessica, kemudian Mahen dan Agung.


***


"Ambil minyak kayu putih!!!" Pinta Gilang ke Mahen dan Agung seraya memijit-mijit leher Jessica.

Fisik Jessica sudah lemah sejak pertama mendaki. Awalnya ia berjalan paling depan untuk lebih awal tiba, kemudian lebih lama istirahat. Ternyata teknik yang ia gunakan tidak berhasil membuat tubuhnya kuat. Padahal Jessica hanya membawa tas ransel kecil.

Agung menyerahkan minyak kayu putih ke Gilang. "Maaf ya, Jess!" Pamit Gilang, kemudian oleh Gilang minyak kayu putih tersebut diusapkan ke kepala dan leher Jessica.

"Lo abisin ini! Biar fisik lo enakan." Agung memberikan madu sachet ke Jessica. Jessica mengambil madu tersebut kemudian menghabiskannya.

"Lo kenapa, Jess?" Tanya Jodie melihat Jessica yang bersandar di pohon dalam keadaan semrawut. Rambut acak-acakan dan aroma minyak kayu putih yang kuat.

"Gue ga apa-apa." Jawab Jessica seraya tersenyum ke Jodie, kemudian pandangan beralih ke Acen yang berada di belakang Jodie. "Jarak ke tempat camp masih jauh ga, Cen?"

"Ga kok, kalo normal sih sekitar 30 menit lagi kita udah sampe di tempat camp." Jawab Acen jujur. Ia tidak mau membohongi Jessica yang sudah kelelahan tersebut. 

"Atau gimana kalo kita ngecamp disini aja, Guys?" Tanya Acen ke team.

"Ga usah. Gue ga apa-apa kok. Ini juga udah enakan." Jessica langsung menyahut ucapan Acen. "Kita ngecamp di tempat yang udah di tentuin di awal aja!"


***


Fisik Jessica sudah membaik. Tadi selain diberi asupan madu, Jessica juga memakan roti yang diberikan oleh Gilang.

"Ayo, Guys! Sebentar lagi kita tiba di tempat camp." Ucap Acen menyemangati team.

"Jess, lo kalo capek ngomong ya! Jangan sampe lo tau-tau pingsan!" Acen mengajak bercanda Jessica, yang langsung disahut Jessica dengan melempar ranting kecil yang berada tidak jauh dari kakinya. Yang lain tertawa melihat kejahilan Acen.

Mereka berjalan pelan, sesekali istirahat. Setelah 30 menit berjalan, mereka sudah berada di sabana yang luas.

"Kita sudah tiba di tempat camp, Guys!!!" Ujar Acen bersemangat, yang disambut riuh team.

Follow Kal di @kalenaefris