Selamat sore dari |
Banyak yang bilang Surabaya itu kota yang panas. Tapi dari pertama menginjakkan kaki di Surabaya, aku dan Meta disambut oleh gerimis. Semakin lama gerimisnya makin ramah, dari yang awalnya datang hanya rintik-rintik kecil nan manja, ehh makin kesini rintik yang datang makin banyak, dan puffff... jadilah hujan. Khusus puffff itu plesetan Choco Crunch. Ga lucu tapi boleh ketawa, selow.
Motor basah, carrier basah, bedak luntur, kaki buluk, muka lecek, hati kosong (aiihhh) kami lalui dengan semangat 45.
"Met, kita stop makan yuk!" Semangat 45-ku kalah oleh lapar.
"Hayok, aku juga udah lapar."
Motor jalan pelan-pelan. Kami melihat ada beberapa warung di sebelah kiri jalan. Kami awalnya memilih-milih warung makan. Tetapi makin lama hujan semakin deras, kacamataku semakin buram.
"Yang mana aja deh, Met. Warteg juga ga apa-apa." Kacamataku masih nempel, tapi aku turunkan ke lubang hidung. Kaca helm juga sudah ku buka. Aku melihat tanpa kacamata, kabur di kejauhan. Intinya, mataku ga nyaman.
"Itu warkop, Kal. Warkop aja ga apa-apa ya!" Tangan Meta menunjuk warkop yang jaraknya sekitar 20 meter di depan.
Meta melihatnya jelas. Sedangkan aku hanya melihat bangunan dengan atap di kejauhan. Kursi, jendela, pintu semuanya blur. Apalagi chiki-chiki yang digantung, semuanya blur. Semakin dekat aku baru tahu kalo itu warkop lengkap dengan kursi dan meja panjangnya, dengan seorang bapak sedang duduk memunggungi jalan, sendirian. Juga dengan keripik, torabika, serta keluarga chiki-chikian berjejer rapi minta dibeli.
Aku memarkir motor persis di depan warkop.
"Kita makan di dalam aja ya Kal. Biar sekalian nanya-nanya." Aku mengangguk.
Aku dan Meta masuk ke dalam warung. Di dalam sudah ada 3 orang separuh baya sedang menonton dengan kopi (ga tau hangat atau enggak) di atas meja.
Setelah memesan makan, aku dan Meta mulai nanya-nanya spot wisata di Malang. Kami memang sudah memiliki tujuan, itupun referensi dari Hasfi di Alfamart tadi pagi. Tapi bertanya ga ada salahnya, kan?
"Waduh, apa ya Pak?" Si ibu bingung, menatap Si Bapak di depannya. Ask the audience bahahaha.
"Anu, di Malang ada museum Mbak'e." Ujar si bapak dengan logat Jawanya.
"Ke alun-alun Malang saja, mbak." Si ibu mulai ada ide.
"Di Malang ada kolam pemandian, Mbak'e."
Aku cengok. Meta cengok.
Pelajaran baru yang aku dapat untuk saat ini adalah bertanya ke orang itu sah-sah saja. Tetapi pastikan kita bertanya ke orang yang tepat. Jika ingin mencari tempat wisata keluarga, tanya ke ibu-ibu atau bapak-bapak. Jika ingin mencari tempat wisata yang hits, tanya ke anak-anak muda yang penampilannya nampak matching dari atas hingga bawah. Walaupun ini tidak menjadi patokan 100% benar, tetapi 80% mendekati benar. HeuHeuHeu.
"Mbak-mbak ini dari mana ya?" Si ibu mulai kepo eaaaa.
"Kami dari Jakarta, Bu. Tujuan sih Surabaya. Tapi ga taunya di Surabaya ga ada tempat wisata. Tadi ada yang nyaranin kami buat ke Malang, makanya kami ke Malang." O em ji, Meta aktif sekali. Tanpa ditanya Meta dengan senang hati menceritakan perjalanan kami ke mereka.
Aku cuma mendengarkan, sambil melanjutkan makan.
* * *
Hujan menyisakan gerimis. Kami sudah melanjutkan perjalanan ke Malang.
Tadi aku sempat mendengar obrolan mereka di warkop bahwa arah Malang itu macetnya panjang.
Sekarang kami memasuki daerah macet.
"Met, macetnya masih panjang atau enggak?"
"Wait, aku liat dulu."
Tangan Meta krasak-krusuk di belakang. Tadi Meta memang sempat melihat Maps untuk memastikan jalan.
"Kalo disini sih merah, Kal." Merah berarti macet.
"Merahnya panjang." Lanjut Meta.
"Oke, Met." Terima kasih cantik, kamu jujur sekali.
"Disini ada jalan alternatif, Kal. Kita mau lewat jalur alternatif ga? Agak lebih jauh sih, tapi ga macet."
"Boleh, Met."
"Gangnya ada di depan." Motor melaju pelan-pelan.
"Gangnya ada di depan." Motor melaju pelan-pelan.
"Yaaahh... Gangnya kelewat, Kal."
Di depan ada gang kecil.
"Kita coba lewat sini, ya!"
Motor masuk ke gang kecil, keciiill banget. Cukup satu motor lewat teras rumah orang, lewat jemuran orang, terus ketemu gang gedean, ga lama ketemu gang kecil lagi.
"Liat di Maps, Met. Jalannya udah dekat belum?"
"Disini sih dikit lagi gangnya."
Ga menunggu lama kami sudah berada di jalur alternatif. Jalannya aspal yang cukup buat 2 mobil berpapasan.
Sepanjang jalan kami membahas tempat wisata yang akan kami datangi. Awalnya kami memutuskan mau ke Museum Angkut Malang. Kemudian setelah Meta searching biaya tiket masuk yang ternyata mahal, akhirnya kami beralih ke Museum Malang Tempo Doeloe saja.
"Di depan belok kanan, Kal!"
"Oke!"
"Belok kiri, terus luruuss aja ikutin jalan!"
Dari yang sebelumnya jalan macet, kemudian jalan aspal kecil yang ramai rumah penduduk, hingga kami masuk persawahan, lalu hutan, lalu persawahan lagi.
"Ini jalannya benar, Met?"
"Kalo di Maps sih benar, Kal."
"Ohh, okee."
Setelah melewati sawah, hutan, lapangan, kampung kecil, sawah lagi, hutan lagi, tapi lapangan enggak lagi bahahahaa, akhirnya kami menemukan peradaban jalanan yang lumayan ramai.
"Di depan belok kanan, Kal!"
Di depan ada gapura yang inti tulisannya menginfokan bahwa kami memasuki wilayah militer. Tapi kami cuek aja, toh banyak motor lewat.
Hingga di depan ada beberapa laki-laki berseragam melambaikan tangan ke tengah meminta kami berhenti. Ternyata jalan di depan hanya boleh dilalui oleh anggota.
"Tapi itu ada orang pake kaos biasa boleh masuk, Pak?"
"Itu mereka anggota, ada stiker juga di motornya, Mbak."
"Tapi petunjuk di Maps lewat sini, Pak!" Kami kekeuh.
"Disini orang umum ga boleh masuk, Mbak."
Kami malu. Ehh salah, aku ga tau Meta malu atau enggak. Aku ralat : aku malu.
Aku memutar balik motor.
"Mbak sekarang balik lagi ke jalan tadi, kemudian ambil kiri. Ada pertigaan ambil kiri lagi, kemudian mbaknya lurus aja!"
Kami manut. Kami mengikuti petunjuk dari si Bapak. Petunjuk di Maps otomatis berubah.
"Kok di Maps ada jalannya ya, Kal?"
Terus kami tertawa. Menceritakan ulang kejadian barusan, kemudian tertawa lagi.
"Di depan belok kanan, Kal!"
Jalan berubah menjadi jalan kecil yang cukup dilalui 1 mobil. Jadi kalo ada mobil dari arah berlawanan, berarti masing-masing mobil harus menurunkan sebelah rodanya di pinggir aspal.
Jalanan sepi, hanya motor kami saja. Hutan dan langit-langit diatas kami rimbun. Suasana berubah dingin. Jalanannya adem... Adeemm banget kayak tatapan matanya. Elah nih bocah.
"Ini jalannya benar, Met?" Aku nanya lagi.
"Kalo di Maps sih benar, Kal!"
Setelah sekitar 1 kilometer melalui jalan yang sepi, akhirnya kami beralih ke jalan batu bata yang disusun rapi. Jalan perumahan.
Huahahahaha.
Huahahahaha.
Huahahahaha.
Kami sebenarnya lewat jalan mana sih?
Aku dan Meta cuma bisa ketawa.
"Kita dimana, Met?"
"Ga tau, Kal. Huahahahaha orang ngikutin Maps kok."
* * *
Setelah hampir 1 jam melewati jalur alternatif berupa gang kecil, jalanan sepi, persawahan, perumahan, hingga beralih ke jalan ramai penduduk, akhirnya kami masuk ke jalan utama, Malang kota. Yeaayyyyy!!!!!!!
"Di depan ambil kanan ya, Kal!"
"Oke." Aku membelokan motor ke kanan.
Tiba-tiba motor oleng.
Tiba-tiba motor oleng.
"Kal!!"
"Kal!!"
"Kallll!!!"
Tanganku refleks mencengkram stang, mengendorkan gas. Kakiku turun mencari keseimbangan. Tanganku memegang stang kuat-kuat. Semuanya refleks.
"Astagfirullah Kal!!"
Motor sudah di pinggir. Aku dan Meta masih di atas motor.
Kami berdua baik-baik saja.
Kami turun melihat ban motor. Pecah ban!
Di seberang kami ada tempat cuci motor, tetapi tidak bisa isi angin, apalagi nambal ban.
"Tempat nambal ban-nya jauh ga, Mas?"
"Engga kok Mba, kalo jalan paling 15 menit nyampe. Kalo naik motor paling 5 sampe 10 menit."
Aku melihat jam, sekarang sudah jam 4 lewat.
"Motornya kita naikin aja, Met. Yang pecah kan ban depan."
Akhirnya aku dan Meta menuju tambal ban dengan naik motor. Aku duduk agak mundur, meta duduk di besi belakang motor. Motor jalan pelan-pelan. Ga sampe 10 menit, kami sudah tiba di tambal ban.
"Ini ban dalamnya mending ganti saja, Mbak" kata si Bapak tambal ban.
"Loh kenapa, Pak?"
"Ban-nya sudah ndak layak, Mbak."
Meta melihat aku, mengangkat alis, meminta pendapat tanpa bertanya. Aku mengangguk pelan, mengedipkan mata, tanpa berucap. Meta mengerti.
"Yaudah ganti aja, Pak." Ujar Meta.
* * *
"Pak, Museum Malang Tempo Doeloe jauh ga dari sini?"
"Museum? Itu mah dekat Mbak, paling 300 meter dari sini." Aku dan Meta saling pandang, senyum.
Kami berjalan mengikuti petunjuk dari si Bapak. Selagi ban di tambal, kami mau menikmati tempat wisata yang bisa dijangkau. Siapa sangka tempat yang akan kami tuju justru dekat dari sini.
Benar saja, ga lama kami sudah berada di depan Museum Malang Tempo Doeloe.
Tapi... Loh loh kok ga ada tulisan "Museum Malang Tempo Doeloe"?
Bentuknya seperti rumah yang bangunannya di dominasi kayu klasik. Sebelah kiri bangunan ada toko souvenir berupa gelang dan kalung etnik, tas batik, pakaian batik, hingga oleh-oleh bertuliskan Malang. Sebelah kanan ada bangunan dengan 1 sisi terbuka sedangkan 3 sisi dindingnya tertutup. Disana ada beberapa ABG sedang duduk dengan mangkuk-mangkuk berisi makanan.
"Inggil" tulisan besar yang di ukir ada di beberapa tempat. Aku dan Meta kembali saling pandang.
"Ini warung kuliner?" Pikirku dalam hati. Mungkin Meta memikirkan hal yang sama tetapi aku tidak menanyakannya. Terlalu sepele, nanti juga tahu.
Kami masuk ke toko berisi oleh-oleh Malang. Setelah melihat-lihat dan mencoba, Meta tergoda untuk membeli rok batik.
Setelah selesai transaksi, kami keluar toko kemudian melihat ke arah teras bangunan.
"Ayok masuk, Met." Kami udah kepalang disini.
Kami disambut oleh bunga sedap malam di tengah teras, kursi dan meja jati yang kelihatan sudah berumur, mesin tik di sebelah kiri teras, kemudian sebuah spanduk berwarna cokelat kayu bertuliskan Museum Malang Tempo Doeloe.
Okee, berarti ini benar Museum. Lalu, Inggil itu apa? Rumah makan?
"Bunga ini ngingetin aku waktu masih kecil tau Met." Celotehku sambil memegang bunga sedap malam.
Meta sedang duduk di kursi teras. Kepalanya setengah terangkat ke samping, matanya melihatku setengah terpicing seolah bilang "masaa?"
"Jadi dulu waktu kecil, ibuku selalu beli bunga ini untuk di rumah. Sekarang sih enggak lagi." Aku tersenyum kecil. Aku jadi kangen ibuk.
"Masuk yuk!" Aku mengajak Meta masuk ke dalam museum.
Suasana di dalam sepi, hanya beberapa ABG yang tadi kami lihat duduk di depan. Mungkin karena kami tiba disini sudah sore. Dinding bangunan dihiasi begitu banyak barang-barang tempo dulu. Mulai dari kumpulan mesin jahit, radio-radio, telepon jaman dulu yang nomornya mesti diputar-putar, foto bangunan-bangunan jaman dulu, hingga kumpulan uang jaman dulu.
Bangunan di dalam sini sudah semi permanen. Sebelah kanan bangunan ada beberapa pintu dan tiap-tiap pintu ada ruangan dengan tempat makan.
Semakin masuk ke dalam bangunan, kami melihat kumpulan topeng bertingkat tersusun rapi yang membentuk setengah lingkaran. Di belakangnya terdapat ruangan luas dengan meja dan kursi tertata rapi.
Tetapi kosong, tidak ada orang.
Setelah puas melihat sekeliling, kami kembali keluar.
Tanya sendiri dia lagi mikirin apa. Aku cuma moto, suerr! |
Jadi kesimpulan dari apa yang aku lihat adalah tempat ini merupakan tempat kulineran dengan nama "Inggil" yang mengambil tema museum, atau Museum Malang Tempo Doeloe yang juga ada tempat untuk kuliner di dalam dan luar bangunannya.
Apapun itu, jika kamu ingin merasakan kulineran di Malang sekaligus wisata sejarah, tetapi dengan suasana tempo dulu yang kuat, serta bisa langsung beli oleh-oleh khas Malang, tempat ini bisa dijadikan referensi.
* * *
Sekarang sudah jam 5 sore. Aku dan Meta memutuskan keluar museum dan mencari tempat wisata lain sekitar sini.
"Coba kita searching Google, Met!" Aku dan Meta sama-sama disibukkan dengan handphone.
"Disini itu dekat kampung warna-warni, Kal!!" Ujar Meta bersemangat, matanya membulat, berbinar.
Aku cengok. Cengok senang. Aku sering melihat kampung warna-warni di Google, di Instagram, ataupun dari cerita teman. Tapi saat di Malang kami justru lupa, bahkan ga masuk dalam list perjalanan kami.
Anggap saja bonus.
Kami tiba kembali di tempat tambal ban. Motor telah pindah tempat pertanda sudah sudah siap digunakan.
"Pak, Kampung warna warni dimana ya?" Meta to the point nanya.
"Disitu, Mbak!" Beberapa orang disitu kompak menunjuk ke satu arah.
"Deket kok, ndak sampe 5 menit."
Aku dan Meta saling pandang. Senyum yang berarti "Kita kesana!". Motor tetap kami titip di tambal ban. Ga pake ba bi bu kami langsung jalan ke arah yang ditunjuk oleh si bapak.
Benar saja, jaraknya sangat dekat. Malah lebih dekat jika dibandingkan dengan jarak antara tempat tambal ban ke Museum Malang Tempo Doeloe.
Setelah berjalan sekitar 200 meter, warna warni rumah terlihat dari seberang. Kampung Jodipan!
Jadi, kampung ini sama seperti kampung-kampung pada umumnya. Ada anak-anak kecil yang bermain, rumah padat dengan kehidupan sehari-harinya, juga gang-gang kecilnya.
Bedanya, kampung ini di cat berwarna-warni, dinding yang dilukis dan dipenuhi graffity, langit-langit gang yang dihiasi payung-payung, bunga-bunga sintetis bergantungan, tangga yang di cat berwarna warni, serta warga kampung yang ramah. Kampung warna warni ini juga ramai wisatawan, sangat berbanding terbalik dengan museum tadi yang sepi pengunjung.
Kami keliling kampung dari pojok satu ke pojok satunya, dari gang satu ke gang lainnya. Keluar dari gang ini, muncul lagi ke gang tadi.
"Aduh ini gimana sih?" Meta bingung.
"Itu gang yang tadi, cuy."
"Ke jembatan lewat gang satunya!" Kalo ga salah sih. Kalopun salah, paling aku dinyinyirin sama Meta bahahahaa. Untungnya aku benar. Kami kemudian menyeberangi sungai melalui jembatan yang berwarna kuning.
Jadiii... Aku dan Meta disini ngapain? Kami menghabiskan sore disini. Ga munafik sih, disini banyak banget spot foto Hahahaha. Lalu kami disibukkan dengan keliling, foto, keliling, foto, keliling, foto sampe langit perlahan gelap.
"Udah Magrib, Kal. Yuk, cuss!"
Apa bedanya kampung ini dengan kampung yang lain? Kreatifitasnya! |
* * *
Langit mulai gelap. Kami sudah di atas motor. Kami belum mandi, belum makan, dan dekil. Aku dan Meta terakhir mandi itu hari Jum'at pagi, dan sekarang Sabtu malam.
Tapi bukan itu yang kami fikirkan. Kami memikirkan malam ini.
"Malam ini kita tidur dimana?"
~ Bersambung. Kelanjutannya klik di sini ~
Hidup ini dipenuhi kejutan. Menyenangkan! |