Senin, 26 Maret 2018

W a k t u

Sumber foto : Google


Di sebuah kedai kopi, seorang wanita mengaduk-aduk malas kopinya yang tinggal setengah gelas. Wanita itu sebenarnya sudah tidak berminat meminumnya. Bukan karena dia sudah memesan dua gelas kopi, tetapi karena fikirannya sedang berkecamuk.

Sudah dua jam dia duduk disana. Rambutnya yang dikuncir kuda memperlihatkan raut wajahnya dengan amat jelas. Wanita itu mengenakan kemeja flanel berwarna maroon berpadu dengan abu-abu, sneakers maroon senada dengan pakaiannya, dan jeans putih yang bagian bawahnya dilipat hingga atas mata kaki.

Raut wajahnya masam. Wanita tersebut berkali-kali melihat jam, kemudian mengalihkan pandangan ke jalanan di luar kedai.

Kedai di dominasi oleh dinding kaca. Di luar sana adalah jalanan yang tidak terlalu ramai, sekitar 300 meter dari jalan utama. Hanya sedikit kendaraan yang berlalu-lalang. Tidak ada jalan pintas di sekitar jalan tersebut. Jalanan di depan kedai hanya dilalui oleh orang-orang yang kebetulan memiliki keperluan di sekitar situ. Ujung jalan adalah jalan buntu. 

Di seberang kedai adalah area hijau yang luas dengan pohon palem, pinus, juga beberapa pohon asam jawa yang teduh. Di bawah pepohonan tersedia kursi juga meja yang ditata secara unik oleh pemilik kedai. Saat malam tiba, lampu-lampu berwarna kuning dan putih akan menghiasi langit-langit. Lampu-lampu tersebut menjuntai dari pohon satu ke pohon lainnya.

Awalnya kedai itu hanyalah kedai kopi biasa. Tetapi karena kegigigan pemilik kedai, dalam waktu kurang dari dua tahun, kedai yang dulunya kecil menjadi dikenal luas oleh remaja-remaja ibukota. Pemilik kedai sangat paham dengan peluang-peluang. Terbukti dengan pelanggan setia yang dari waktu ke waktu terus saja bertambah.

Andai saja tidak hujan sejak sore, kursi-kursi di seberang kedai pasti sudah di penuhi oleh anak-anak nongkrong, dan wanita tersebut tidak akan duduk berlama-lama menatap jalanan dari dalam kedai itu.

***

Pintu kedai dibuka perlahan oleh seorang laki-laki. Wanita itu melihat laki-laki tersebut tanpa senyum. Dia sudah menunggu selama hampir tiga jam lamanya.

"Sorry, Jod. Tadi hujan deras." Nama wanita itu adalah Jodie. Gilang langsung duduk di bangku kosong depan Jodie.

Jodie hanya memutarkan bola mata lalu melemparkan pandangan ke luar jendela.

"Ya kali gue hujan-hujanan kesini." Gilang berucap santai, sambil mengeluarkan handphone dari saku lalu meletakkannya ke atas meja.

"Terus menurut lo, gue ga hujan-hujanan gitu?" Mata Jodie menatap Gilang dengan penuh kekesalan.

"Bukan sekali ini aja lo kayak gini, Lang. Lo ga ngehargain waktu gue tau ga?"

"Loh, kok lo jadi marah-marah? yang penting kan gue datang." Gilang tidak terima dimarahi seperti ini. Alisnya berlipat. Dia yang awalnya mau berdiri untuk memesan kopi, lalu menahan diri. Gilang melihat Jodie yang melipat tangan di pinggang.

"Mungkin lo punya banyak waktu luang. Jadi lo bisa ngulur-ngulur waktu sesuka lo. Tapi banyak orang yang waktunya udah di jadwalin, Lang. Ga semua orang mesti ngikutin waktu lo!!!"

Jodie membuka lipatan tangannya, lalu merapatkan kursinya ke meja.

Jodie mendekatkan wajahnya ke Gilang.

"Gue punya kesibukan, Lang. Kalo aja gue tau lo bakal telat kayak gini, mending gue ngerjain kerjaan gue yang lain."

Gilang emosi, dia tidak terima dimarahi hanya karena kesalahan yang menurutnya hanyalah kesalahan kecil. 

"Jod, lo tau kan di luar hujan? Gue nunggu hujan reda dulu lah." 

"Kan ada jas hujan." Jodie menatap tajam.

"Kok lo ngatur-ngatur gue? Kalo lo ga terima ya lo tinggal pulang aja, atau ga usah datang sekalian. Hidup lo terlalu ribet, Jod." Gilang mulai emosi. Dari tadi Gilang berusaha menahan diri, tetapi Jodie selalu memojokannya.

Orang-orang di seberang meja diam-diam memperhatikan mereka. Gilang menyadari itu. Gilang menatap mereka penuh marah. Orang-orang di seberang meja gelagapan melihat tatapan tajam Gilang.

"Gue commit sama ucapan gue ya, Lang. Kalo gue bilang datang, gue akan datang. Hujan bukan alasan buat gue." Jodie menjawab dengan penekanan ucapan. 

Gilang tidak menjawab, hanya melihat Jodie sekilas lalu memalingkan wajah ke arah luar jendela.

"Mending lo cari kesibukan deh, Lang. Biar hidup lo dipenuhi jadwal-jadwal. Biar lo tau gimana rasanya ngebuang waktu sia-sia kayak gini." Jodie sudah geram dengan cara berfikir Gilang. Bukan sekali ini saja Gilang terlambat. Gilang sudah berkali-kali melakukannya. Tetapi untuk kali ini Jodie sudah terlalu kesal.

Gilang hanya mengangkat bahu, malas berdebat lebih jauh. Tidak lama kemudian Gilang memesan dua gelas minuman dingin.

"Yaudah, gue minta maaf udah buat lo nunggu lama." Gilang memberikan segelas cappuccino dingin ke Jodie.

Jodie menghela nafas melihat kelakuan temannya ini. Bagaimana mungkin Gilang bisa begitu santai menghadapi kemarahan Jodie.

Jodie mengambil gelas tersebut lalu meminumnya. Emosinya perlahan-lahan mulai stabil. Jodie tidak mau larut lama-lama dalam kemarahan. Hari ini ada hal yang lebih penting untuk dibahas oleh mereka.

#30DWCJilid12
#30daywritingchallenge
#Squad10
#Day5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Kal di @kalenaefris