Sabtu, 24 Maret 2018

Episode Kenangan Kecil : Sungai


Sungai di hulu rumah masa kecilku. Dulu belum ada jembatan gantung.
Jika mau menyeberang, harus menaiki rakit atau getek.
Sumber foto : Galeri Kalena.


Rumah Masa Kecil


Aku lahir dan tinggal di desa kecil, di sebuah rumah sederhana bersama nenek, kakek, ayah, ibu, dan kedua adikku. Saat itu si bungsu belum lahir. Rumahku sekitar 1 kilometer dari perkampungan, di bagian hilir kampung. Jika di perkampungan sudah bisa menikmati aliran listrik, rumahku tidak. Jika rumah-rumah lain di kampungku kebanyakan adalah rumah panggung, rumahku tidak. Tetapi aku sangat suka dengan rumahku, rumah masa kecilku.

Rumahku beralaskan semen dengan dinding semi permanen. Di depan rumahku ada rumput jepang yang sangaaatttt rapi. Ibu dan nenek begitu rajin merawatnya. Di depan rumah juga ada 3 pohon sawo yang sering aku dan teman-teman kecilku gunakan untuk bermain rumah-rumahan. Pohon tersebut kami gunakan sebagai rumah, dahannya sebagai ruang tamu, dahan lainnya dijadikan sebagai dapur. Karena ada 3 pohon sawo, jadi ada 3 rumah yang kami gunakan untuk bermain dan berkunjung ke rumah masing-masing.

Di sekitar rumahku sangatlah asri. Di samping kiri rumahku adalah hamparan sawah yang luas, juga pohon kelapa yang berbaris rapi di tepian sawah. Saat itu aku sering ke sawah memancing belut, memetik genjer, menangkap ikan, dan mencari keong.

Kakek dan ayah juga menanam berbagai buah-buahan. Ada sawo, alpukat, sirsak, 3 jenis mangga, durian, duku, manggis, jambu, dan banyak sekali pohon kelapa. Oh iya perihal kelapa, aku bisa memanjat pohon kelapa loh. Bagaimana caranya kok aku bisa memanjat pohon kelapa, itu akan aku ceritakan di bagian lain.

Sungai depan rumah masa kecilku.
Sumber foto : Galeri Kalena

50 meter depan rumahku adalah sungai yang berair dangkal. Airnya sangat jernih saat musim kemarau. Dulu aku suka mencari udang di balik batu, dan entah kenapa dulu aku bisa menangkapnya dengan mudah. Sekarang aku tidak yakin apakah aku masih bisa mencari udang semudah dulu.

Saat masih kecil aku pernah menyeberang sungai yang lebar. Tujuanku saat itu sebenarnya sangat sederhana, ingin mengambil buah jambu monyet yang ada di seberang sungai. Dari sekian banyak buah-buahan yang ditanam oleh kakek dan ayah, entah mengapa mereka tidak menanam jambu monyet juga.

Airnya dangkal untuk ukuran orang dewasa dengan batu-batu yang sangat licin. Aku bisa melihat bebatuan di dalam air walaupun aku berada di permukaan. Karena itu bukan kali pertama aku menyeberang sungai, mencapai seberang sungai bukanlah hal yang sulit buatku. Saat aku tiba di seberang sungai, entah bagaimana ceritanya ibu melihatku lalu kemudian berteriak menyuruhku pulang. Saat aku sudah tiba di rumah kembali, aku langsung dimarahi oleh ibu.

“Siapa yang ngajarin kamu nyeberang sungai?”
"Kalau kamu terhanyut gimana?”
“Besok-besok jangan ulangi lagi!”

Tentu saja esok lusa aku tetap melakukannya. Hanya saja tubuhku sudah tidak sekecil saat ibu mengetahui lalu kemudian memarahiku.


Pindah

Saat kenaikan kelas 2 SD aku dan keluarga pindah ke ibukota kabupaten. Sedangkan nenek dan kakek tetap di kampung mengurus hewan ternak juga kebun. Biasanya setiap weekend kami akan pulang ke kampung. Atau jika tidak, nenek akan ke kota menjenguk cucu-cucunya.

Di kota kabupaten lebih ramai. Ada bioskop walaupun aku tidak pernah menonton di dalam bioskop. Ada banyak kendaraan lalu-lalang di depan rumah. Aku yang biasanya hidup di daerah yang sunyi dan tenang, harus beradaptasi dengan lingkungan yang riuh dengan bunyi knalpot motor. Saat itu jalanan di dominasi oleh motor RX King, Supra, juga Astrea.

Masa itu, orang-orang lebih suka tinggal di pinggiran sungai. Setiap 50 meter akan ada pangkalan. Tiap pangkalan ada rakit. Sungai menjadi bagian penting saat itu. Bukan hal aneh saat aku melihat rakit yang terbuat dari balok-balok kayu melintas di tengah sungai. Orang-orang membawa kayu ke kota melalui jalur air untuk kemudian menjualnya ke depot kayu. Sungai di belakang rumahku jauh lebih besar dibanding sungai di kampung. Jika di kampung aku bisa mandi tanpa takut tenggelam. Sungai disini nyatanya dalam.

Selepas pulang sekolah, aku biasanya memancing di belakang rumah. Terkadang memancing bersama adikku. Jika sedang bosan memancing, kami akan menangkap ikan di pinggiran sungai menggunakan tudung nasi besar berbahan plastik yang ada di dapur.

Sudah sering aku dimarahi ibu karena menggunakan tudung nasi tersebut. Saat itu aku tidak begitu mengerti jika makanan di meja makan tidak ditutup menggunakan tudung nasi, kucing akan berpesta pora. Saat itu aku tidak begitu paham apa hubungan antara tudung nasi dan kucing.

Selepas memuaskan diri mencari ikan, aku dan teman-teman akan ke arah hulu sungai untuk menghabiskan sore dengan lompat air. Lompat air disini adalah mencari tempat tinggi, bisa jembatan kuning, batu besar ataupun beton yang bisa digunakan untuk melompat.

Jika ada gedebong pisang, aku dan teman-teman akan berenang ke tengah untuk berlomba mendapatkan gedebong pisang tersebut. Gedebong pisang adalah pohon pisang yang disusun menjadi rakit. Mendapatkan gedebong pisang ini adalah kebanggaan tersendiri saat itu. Siapa yang berhasil mendapatkannya, gedebong pisang tersebut akan menjadi rumahnya di sungai. Gedebong tersebut akan dibawa ke pangkalannya untuk digunakan bermain air bersama teman-teman yang lain.

Masa itu, jembatan kuning masih berbentuk seperti jembatan biasa,
Di foto ini adalah jembatan kuning yang sudah diganti menjadi lebih bagus.
Kamu coba lihat di pinggiran sungai. Ada rakit?
Sumber foto : Display profil WhatsApp adikku

Ada banyak jenis permainan di sungai. Kami suka melempar batu ke dalam sungai untuk kemudian mencarinya beramai-ramai. Selain melempar batu, aku juga membangun gunung batu di sungai. Batu-batu besar dari pinggir dibawa berenang ke tengah sungai kemudian ditumpuk hingga tinggi. Jika sudah tinggi, aku akan menghabiskan sore berdiri di tumpukan batu tersebut. Berdiri di tengah sungai yang dalam dengan tumpukan batu di bawahnya merupakan salah satu kebanggaan kami waktu itu.

Yang sering kami lakukan juga adalah berenang melawan arus. Siapa yang lebih dulu tiba di pangkalan sebelah hulu sungai, dialah pemenangnya. Sebenarnya tidak ada hadiah dalam kemenangan, hanya saja ada kebanggaan saat berhasil memenangkan permainan.


Takut Sungai

Seperti yang sudah aku katakan, sungai di belakang rumahku ini lebih besar dan lebih dalam dibandingkan sungaiku di kampung. Saat musim sedang kemarau, air di belakang rumah akan berwarna hijau kebiru-biruan. Saat matahari menjelang terbenam, bulir-bulir keemasan seolah melukis sungai. Matahari mengintip lalu bersembunyi di balik jembatan kuning. Indaaahh sekali. Di saat-saat itu banyak anak-anak seumuranku mandi di sungai menggunakan ban dalam mobil, berhanyut-hanyutan ke hilir, juga berenang menyeberang sungai ke kelurahan seberang. 

Tentu saja aku tidak mau melewatkan suasana itu. Aku menyeberang sungai bersama teman-teman yang lain. Menyeberang sungai kali ini tanpa dimarahi oleh ibuku, karena ibuku tahu aku sudah lihai berenang, bahkan dalam beberapa hal aku terlihat lebih lihai dibanding teman-temanku yang laki-laki.

Walaupun sungai itu lebar, tetapi kami masih bisa menebak-nebak siapa yang sedang mandi di seberang, atau berteriak memanggil-manggil orang di seberang. Saat aku menyeberang sungai juga ada ibuku sedang mandi di pangkalan bersama tetangga-tetangga sekitar rumah. Menyeberang sungai juga tidak sering kulakukan, hanya beberapa kali saja. Itupun hanya saat sungai sedang cantik-cantiknya.

Kemarahan ibu dan ayah adalah saat aku berhanyut-hanyutan ke hilir bersama adikku. Itu kulakukan hampir setiap hari. Bahkan terkadang aku berhanyut-hanyutan hingga melewati banyak pangkalan. Pukul 3 sore aku dan adikku mandi di sungai dan baru pulang menjelang magrib. Ayahku benar-benar marah.

Aku tidak terima saat itu. Aku hanya bermain di sungai, apa salahnya? Ayah tidak mengerti. Aku bisa berenang. Apa yang ayah khawatirkan?

Belakangan saat usiaku semakin bertambah, aku semakin paham. Saat aku sudah kuliah, adik bungsuku yang masih SMP sedang gila-gilanya bermain di sungai persis sepertiku. Ia bermain lompat air, lempar  batu, membuat gunung batu, menyeberang sungai, juga berhanyut-hanyutan di hilir. Saat adikku melakukan itu semua, aku khawatir. Aku takut adikku tenggelam ataupun bertemu binatang buas.

Apalagi setiap tahun selalu ada yang meninggal di sungai. Warga sepakat bahwa meninggalnya orang-orang tersebut karena hal mistis. Warga-warga pinggir sungai juga percaya hantu banyu.  Selain itu juga beberapa kali ditemukan adanya buaya muara. Semakin lama aku semakin khawatir adikku kenapa-kenapa.  Aku melakukan banyak hal persis seperti yang ayah dan ibu lakukan. Aku memarahi adikku dan memintanya untuk tidak perlu berlebihan. Aku memintanya untuk mandi seperlunya saja, berenang seperlunya saja.

Saat itu, sebelum aku menyadari kekhawatiran orangtuaku, entah mengapa tidak ada kekhawatiranku di sungai. Aku terkadang mandi hingga langit gelap. Aku mandi jam 7 malam atau jam 5 pagi tanpa perasaan takut.

Jika kamu tanya sekarang apakah aku berani mandi di sungai belakang rumah, apalagi sendirian. Maka aku jawab tidak. Aku rindu mandi di sungai belakang rumah, tetapi aku takut. Ternyata kalimat “Awas jangan sering-sering di sungai, ada hantu banyu” mensugesti diriku.

Selain itu, kehidupan di daerah tempat tinggalku sudah semakin maju. Jika dulu orang mengambil air di sungai menggunakan ember, sekarang rumah-rumah pinggir sungai sudah menggunakan air PDAM atau mengambil air menggunakan mesin penyedot air. Sekarang rakit sudah sulit ditemukan. Pangkalan sudah sepi. Bahkan pangkalan tempatku biasanya mandi sekarang sudah tidak ada lagi.

6 komentar:

  1. Kok hampir sama ya Masa kecilnya sama Masa kecilku.... Hahaha jadi bernostalgia, rumput jepang di halaman rumahku juga sampai sekarang masih Ada.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan-jangan kita saudaraan bang 😂😂. Tapi sekarang rumahku di kampung udah ga berpenghuni lagi 😭

      Hapus
  2. Menyenangkan sekali kenangan masa kecilmu, Kak....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa masa kecil bahagia kak 😂😂

      Hapus
  3. Membaca kisah Kal dengan setting alam desa ini mengingatkan aku pada teks-teks di buku bahasa Indonesia tentang kunjungan ke rumah Nenek di desa. Ah seru sekali yaa masa kecilmu itu

    BalasHapus
  4. Aahh Ka Kalau makasih udah nulis ini. Aku jadi kangen kampung, tahun ini ga ikut pulkam euy aku, kalau mudik mungkin kita ketemu yaa hihi

    BalasHapus

Follow Kal di @kalenaefris