Ditakdirkan sebagai anak pertama
dari 4 bersaudara secara tidak langsung membentuk aku menjadi pribadi yang memikirkan
banyak hal. Semua dikaitkan dengan keluarga. Nenek (almarhum), ibu, ayah, juga
ketiga adikku.
Selain merasa memiliki tanggung jawab, pribadiku terbentuk karena ombak-ombak maskulin yang menggerus sisi feminim melalui aktifitas sehari-hari. Sejak kecil aku sudah jauh dari boneka. Wajar memang karena aku anak wanita satu-satunya. Semua adikku laki-laki ditambah orangtua yang tidak mendidikku manja.
Keuangan keluarga yang naik turun sejak kecil membuat aku terbiasa menghadapi pasang surut kehidupan. Makan enak hingga hanya minum teh hangat untuk menunjang lapar bukan hal baru. Rumah yang direnovasi orangtua saat memiliki banyak tabungan hingga akhirnya pembangunan mangkrak di tengah jalan karena suatu kemalangan menjadi sejarah kelam keuangan keluarga. Adalah hal biasa ketika aku menyaksikan beberapa baskom besar dilapisi lap (pakaian bekas yang dipotong) berbaris rapi menampung air hujan yang masuk ke dalam rumah melalui seng-seng yang bocor.
Keadaan itulah yang membuatku memutuskan untuk merantau, memutuskan memperbaiki rumah di kampung halaman, juga membangun harapan-harapan untuk masa depan.
Seperti perantau-perantau pada umumnya, aku menaruh mimpi di Jakarta. Dengan membawa ijazah berisi nilai-nilai cantik menyerupai segitiga bermuda di semester-semester awal, lalu beralih ke senyum miring sempurna di barisan buncit nilai (setidaknya IPK yang tertulis tidak membuat garis di jidat berlipat-lipat). Juga berbagai piagam penghargaan olympiade, wall climbing, dan SK saat menjabat sebagai ketua umum di salah satu organisasi kemahasiswaan di kampus. Siapa tahu berguna, fikirku saat itu.
Selain merasa memiliki tanggung jawab, pribadiku terbentuk karena ombak-ombak maskulin yang menggerus sisi feminim melalui aktifitas sehari-hari. Sejak kecil aku sudah jauh dari boneka. Wajar memang karena aku anak wanita satu-satunya. Semua adikku laki-laki ditambah orangtua yang tidak mendidikku manja.
Keuangan keluarga yang naik turun sejak kecil membuat aku terbiasa menghadapi pasang surut kehidupan. Makan enak hingga hanya minum teh hangat untuk menunjang lapar bukan hal baru. Rumah yang direnovasi orangtua saat memiliki banyak tabungan hingga akhirnya pembangunan mangkrak di tengah jalan karena suatu kemalangan menjadi sejarah kelam keuangan keluarga. Adalah hal biasa ketika aku menyaksikan beberapa baskom besar dilapisi lap (pakaian bekas yang dipotong) berbaris rapi menampung air hujan yang masuk ke dalam rumah melalui seng-seng yang bocor.
Keadaan itulah yang membuatku memutuskan untuk merantau, memutuskan memperbaiki rumah di kampung halaman, juga membangun harapan-harapan untuk masa depan.
Seperti perantau-perantau pada umumnya, aku menaruh mimpi di Jakarta. Dengan membawa ijazah berisi nilai-nilai cantik menyerupai segitiga bermuda di semester-semester awal, lalu beralih ke senyum miring sempurna di barisan buncit nilai (setidaknya IPK yang tertulis tidak membuat garis di jidat berlipat-lipat). Juga berbagai piagam penghargaan olympiade, wall climbing, dan SK saat menjabat sebagai ketua umum di salah satu organisasi kemahasiswaan di kampus. Siapa tahu berguna, fikirku saat itu.
Tentang Mimpi yang Tidak Muluk-Muluk
Singkat cerita aku bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa pembiayaan, sebuah bidang pekerjaan yang sebelumnya tidak aku harapkan, hingga akhirnya aku memutuskan mensyukuri dan menikmatinya. Fokusku saat itu hanya ingin bekerja dan mendapatkan uang.
Ada satu yang aku ingat saat
wawancara kerja beberapa tahun lalu, ketika pewawancara menanyakan apa mimpiku
dalam beberapa tahun ke depan. Dengan polosnya aku mengatakan bahwa aku ingin
menabung untuk merenovasi rumah ibu dan ayah di kampung. Ucapan layaknya doa. Siapa sangka ucapan
itu justru semakin membayangi hari-hariku, juga memotivasiku untuk semakin
bersikukuh mewujudkannya.
Semua Tidak Mudah
Beberapa tahun belakangan aku mengesampingkan bahwa aku adalah wanita yang nantinya akan berumah tangga. Setiap bulan aku mengirim uang ke kampung untuk dibelikan bata, semen, besi, juga keperluan renovasi lainnya. Semua bahan bangunan dikumpulkan dengan cara dicicil. Kemudian aku menabung sedikit-demi sedikit hingga akhirnya aku merasa tabunganku cukup untuk memulai renovasi. Ternyata yang aku bayangkan tidak semulus kenyataannya. Masalah keluarga kembali datang. Aku tersendat, tabungan terpecah, tabungan semakin menipis lalu habis. Akhirnya tukang bangunan dilepastugaskan, hanya dipanggil saat dibutuhkan saja.
Bulan berganti tahun, renovasi
akhirnya selesai walaupun kondisi rumah masih belum 100% rapi. Masih ada
beberapa dinding yang belum di plester, namun itu bisa di urus belakangan.
Atap seng tipis yang bocor saat hujan sudah beralih menjadi semen cor setebal tidak kurang dari 30 cm. Aku lega karena ibu
dan ayah tidak harus menadah air hujan lagi, ibu dan ayah bisa tidur siang
dengan nyenyak tanpa harus kepanasan karena beratapkan seng lagi.
Keinginan ibu dan ayah yang ingin memiliki teras belakang rumah dimana terasnya langsung menghadap Sungai Komering sudah bukan mimpi lagi. Mereka bisa menghabiskan sore bersama dengan segelas teh hangat, menatap matahari terbenam yang memantulkan pias-pias warna emasnya ke Sungai Komering, sungai ikonik di kampungku.
Mimpi Kecil yang Belum Tercapai
Beberapa tahun belakang saat aku memperhitungkan banyak hal tentang merenovasi rumah, aku pernah mengatakan ini ke orang-orang terdekatku“Aku pengen buat kamar mandi sendiri di dalam kamar ibu dan ayah. Kemudian di dalamnya aku mau pasang kloset duduk dan water heater untuk mereka. Aku juga ingin pasang kloset duduk di kamar mandiku, supaya saat pulang kampung aku tidak harus ke kamar mandi ibu untuk sekedar buang air kecil."
Hal yang wajar jika aku
menjadikan kloset duduk dan water heater sebagai salah satu barang yang sangat
aku inginkan. Nenekku sudah menderita stroke sejak aku masih duduk di bangku
SD. Separuh tubuhnya tidak berfungsi, bahkan hingga beliau meninggal dunia. Aku menyaksikan sendiri betapa susahnya hari tua
nenek saat itu. Kloset kamar mandi masih menggunakan kloset jongkok yang rendah, tidak user friendly untuk seorang manula, terlebih manula yang menderita stroke. Saat mandi, kloset jongkok nenek dilapisi papan kecil supaya nenek bisa duduk. Aku tahu nenek kesulitan saat mandi dan buang air, tetapi ketika itu nenek (dan kami) tidak punya pilihan.
Saat itu aku belum mengerti banyak hal. Kloset duduk juga baru aku tahu saat tinggal di Jakarta. Lingkungan dan kondisi keuangan keluarga saat kecil mempengaruhi wawasanku, termasuk wawasan sepele seperti itu. Bagiku, cukup nenek yang merasakan. Aku tidak mau ibu, ayah, dan aku merasakan masalah-masalah sepele yang justru dihadapi setiap hari seperti itu.
Saat itu aku belum mengerti banyak hal. Kloset duduk juga baru aku tahu saat tinggal di Jakarta. Lingkungan dan kondisi keuangan keluarga saat kecil mempengaruhi wawasanku, termasuk wawasan sepele seperti itu. Bagiku, cukup nenek yang merasakan. Aku tidak mau ibu, ayah, dan aku merasakan masalah-masalah sepele yang justru dihadapi setiap hari seperti itu.
“Sekarang aja aku udah sering kesemutan kalo jongkok di toilet, dan rematikku udah sering kumat kalo mandi air dingin. Gimana nanti kondisiku berapa tahun ke depan? Gimana ibu dan ayah yang sekarang usianya sudah 50an?” Fikiran itu terus menghantuiku.
Aku sudah memimpikan akan
membeli kloset duduk dan water heater tahun ini, tetapi tahun ini hanya
tersisa satu bulan lagi.
Impian aku untuk bisa bawa pulang kloset duduk dan water heater ke kampung halaman Pict : by me |
Lazada 11.11 adalah Jalan Keluar
Bagi penggila belanja, tentunya sudah mengetahui istilah 11.11, moment dimana diskon belanja bertebaran pada tanggal 11 bulan 11 tersebut. Dari yang awalnya istilah 11.11 merupakan sebutan Single Day di Cina karena pada tanggal tersebut para jomblo memberi hadiah kepada dirinya sendiri, hingga akhirnya istilah tersebut semakin meluas maknanya lalu merambah ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.Buat sebagian orang, 11.11 adalah waktunya mereka belanja sebanyak mungkin, mumpung lagi diskon besar-besaran. Biasanya teman-teman kantorku akan kalap belanja dan sibuk bolak-balik ke mesin ATM. Yang memiliki mobile banking lebih praktis lagi, karena bisa bebas belanja tanpa harus meninggalkan meja.
Kemarin, saat makan siang aku mendengar mereka ingin membeli parfum, kamera, hingga handphone. Aku pun tidak luput dari euforia 11.11, karena buatku, 11.11 adalah jalan keluar dari keinginan untuk membeli kloset duduk dan water heater yang terkendala budget.
Lazada, toko online tempatku
membeli springbed tahun lalu, juga tempatku membeli perlengkapan dapur beberapa bulan lalu ternyata ikut mengadakan Lazada 11.11.
Kabar baiknya juga diskon besar tersebut berlangsung selama 24 jam. Aku yang awalnya sudah putus asa
karena uang yang aku kumpulkan tidak cukup untuk membeli kloset jongkok dan
water heater tahun ini, seperti diberi jalan keluar oleh Lazada melalui diskon besar-besaran tersebut.
Semoga saja ada diskon besar di kloset jongkok dan water heater yang aku mimpikan, sehingga aku bisa membeli, sekalian membawanya pulang ke kampung halaman. Sudah berapa tahun ini aku menahan diri untuk tidak pulang ke kampung halaman, tidak bertemu ibu dan ayah. Rasanya rindu sekali.
Semoga saja ada diskon besar di kloset jongkok dan water heater yang aku mimpikan, sehingga aku bisa membeli, sekalian membawanya pulang ke kampung halaman. Sudah berapa tahun ini aku menahan diri untuk tidak pulang ke kampung halaman, tidak bertemu ibu dan ayah. Rasanya rindu sekali.
Waw, sangat menarik yuk, emang sdh aku tunggu2 Dr kmrn2 hahahha
BalasHapusTgl yg cantik buat shoping2, dengan harga yg ngebanting pst nyo, asikkkkk
Memang dek. Kapan lagi biso belanjo dengan hargo miring 😊😊
Hapusah, ini bukan mimpi yang sederhana. ini mimpi yang cantik. moga terkabul ya :)
BalasHapusAamiin. Makasih yaa Farida 😇
Hapus