Rabu, 13 Maret 2019

Teruntuk Kamu : Kotak Kaca Merah Jambu



Dulu pernah ada seseorang yang menjatuhkan bait-bait pesan ke dasar jurang. Ia menjatuhkannya jauuuhh sekali, berharap tak ada yang menemukan. Ia berfikir dengan membuang bait-bait pesan sejauh itu akan aman, dan ia akan lekas melupakan kepedihannya lebih cepat. Lalu ia kembali ke kota, menjalani kehidupan seperti yang lain. Hari-harinya ia rasa semakin membaik, tak ada lagi puisi yang ia buat, karena baginya puisi berarti mengingat pedih secara berulang-ulang.

Nyatanya, di ratusan kilometer sebelah timur sana, bait-bait pesan mampu bertahan begitu kuat, mereka beranak pinak sendiri menjadi sekedar prosa ataupun puisi. Mereka berteman dengan angin, bernafas seperti pohon, menari layaknya ilalang.

Semakin hari nyatanya mereka makin riuh. Huruf demi huruf beterbangan di udara meminta dipungut. Mereka akan kegirangan saat ada pendaki yang datang dengan bersungut-sungut. Mereka masuk ke fikiran-fikiran pendaki yang bersedih ditinggal kekasih, lalu menyusup meramu bait-bait sedih.

— Kalena Efris
Tanjung Barat, Oktober 2017


***


Aku ingin mengungkapkan satu atau dua buah kata dari mulutku, namun di depanmu semua kelu.

Maka aku menyeduh perasaanku menjadi kopi yang kita minum bersama-sama; bersama dingin; bersama diam; dan tatapan mata yang mencuri-curi pandang.

Atau — maka aku menulis puisi lalu menerbangkan setiap lariknya ke udara; menjadi angin yang membelai wajahmu; juga menjadi dingin yang memeluk tubuhmu.

— Kalena Efris
Tanjung Barat, 8 Maret 2019



***


Banyak hal akan berubah dari apa saja yang pernah kamu tinggalkan. Di bawah langit-langit berawan, kamu mengatakan bahwa tidak ada lagi yang layak bertahan dari kita. Harapan-harapan telah menjadi mendung, langit biru menjadi layu sejak kakimu perlahan maju meninggalkanku.

Kamu pernah mengajarkanku bahwa cinta itu seperti lebah yang terus menerus membuat sarang, walaupun tahu suatu saat madunya akan diidamkan banyak orang. Sekarang aku mengerti, bahwa cinta itu memperjuangkan... sekaligus merelakan.

Di suatu petang, pada tempat dimana kakiku menjadi letih, aku merelakan ketika kamu mengatakan bahwa cerita yang selama ini kita buat sudah tiba di akhir halaman.

— Kalena Efris
Tanjung Barat, Januari 2019



***


Aku daun
Separuh rapuh menggantung
Mengantri gugur

Anak gembala
Menikmati rimbunku
Tapi waktu
Tega menghitung mundur

Aku daun
Bertahan menggantung
Demi larik puisi
Demi mimpi yang menggunung

— Kalena Efris
Tanjung Barat, April 2017



***


Pada tempat dimana kopi hitam menjadi lebih puitis, pagi menjadi lebih romantis, juga obrolan menjadi lebih hangat — aku menatap ulang 2018 yang semakin jauh dipunggungi kenyataan-kenyataan.

Banyak hal sudah berlalu. suka-duka-luka-lupa dengan cepat berganti posisi seperti lembar-lembar buku yang tanpa terasa dibaca hingga habis, atau seperti tanjakan-tebing curam-turunan yang dilalui dalam sekali perjalanan. Ada kalanya tubuh lelah kemudian sejenak rehat, mengambil sesachet madu lalu duduk bersandar batu besar, memikirkan kepayahan-kesalahan-kelalaian yang terus menerus aku lakukan.

Selamat datang tradisi menulis resolusi. Semoga kamu menjadi teman baik, juga semoga aku menjadi lebih baik.

— Kalena Efris
Tanjung Barat, Januari 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Kal di @kalenaefris